[3] Upik Abu

8.6K 808 41
                                    

Nata terduduk di lantai. Dikerumuni 5 cowok yang notabene anak basket. Di sebelahnya ada si cowok korban bully. Ada lebam biru di mulut bagian kirinya. Nata nggak kenal. Ia baru kali ini melihat anak itu. Dari kelas berapa pun dia nggak tahu.

Di lain sisi, Erik, berlipat tangan di depan dada. Erik nggak sedang memakai kaos basketnya sekarang. Dia memakai jaket baseball biru bertuliskan anggka 86 di dada kirinya. Erik kelihatan lebih cool.

"Apa aja yang udah lu denger barusan?" Erik angkat bicara. Seperti biasanya, nada bicara Erik yang datar membuat Nata ciut.

"Nggak. B-beneran."

Erik menatapnya lurus. Meneliti kesetiap jentik wajah Nata. Erik menemukan sebuah kebohongan. "Hajar dia."

"G-gue ngomong jujur! Gue cuma pipis, kok! Gue nggak denger apa yang kalian omongin! Kalian bahas kompetisi basket juga gue nggak...... tahu."

Kelima cowok itu menatapnya dingin. Termasuk Erik. Lebih dingin malah. Di dalam hati, Nata mengutuk dirinya sendiri. Dari sudut matanya, Nata bisa melihat beberapa dari mereka ada yang sudah mengepalkan tangan. Geram. Siap untuk menghakimi Nata.

"Eksekusi?" Si abang item memandang Erik.

"Do it."

Nata melotot. Gelagapan. Si abang item tersenyum jahat. Senang ada mainan baru. Mereka berempat maju. Sedang Erik diam di tempatnya. Cowok itu enggan mengotori tangan. Empat orang lawan satu sudah lebih dari cukup. Toh juga Erik tahu kalau Nata bakalan pingsan hanya dengan sekali pukul.

Salah satu dari mereka membuat Nata berdiri. Krahnya dicengkram kuat. Nata merasa kalau kakinya mengambang 1 centi dari tanah. Di samping Nata, si Abang Item, siap dengan pukulannya. Mengepalkan tangan erat.

"Gue janji! Gue bakal bungkam! Gue nggak akan kasih tau siapapun! Siapapun! Kalian bisa percaya sama gue! Please... lepasin gue!"

"Jaminan?" Erik mengangkat satu alis.

Nata terkesiap. Jaminan? Jaminan apa? Nata nggak bawa apa-apa sebagai jaminan. Ada sih, uang 20 ribu. Itu pun uang sakunya. Jika Nata memberikan itu sebagai jaminan, istirahat nanti Nata makan apa?

"Gada?" Erik menatapnya. "Jackpot."

"Abis lu!"

Tangan hitam itu terangkat. Nata bisa melihat guratan urat menyembul di sepanjang tangannya.

"Stoooop! St-stoooop! Gue punya jaminan buat Erik!"

Mirip video yang di-pause, tangan itu terhenti. Kepalan itu udah berjarak 5 senti dari muka Nata. Hening. Erik yang sedari tadi diam tampak membuka matanya lebih lebar. Kembali natap Nata.

"Gue... punya jaminan buat lo." Nata menatap Erik. Kali ini dia benar-benar kehabisan akal. Cuma satu yang Nata pikirkan. Selamat. Ia masih ingin hidup dan melihat dunia ini.

"Argh!" Nata tersungkur ke lantai. Cengkraman itu terlepas. Membuatnya bersimpuh. Tubuh ringkihnya kembali menyentuh ubin dengan keras. Aroma pinus dari cairan pembersih lantai seketika menyeruak di hidungnya.

Erik berjalan perlahan. Mendekati laki-laki yang terduduk di lantai itu. Menyamakan tubuhnya. Berjongkok. Dengan lutut kanan sebagai tumpuan.

Nata meneguk ludah. Menatap manik tajam yang menatapnya lurus tepat di hadapannya. Erik menatap dingin. Tatapan itu menusuk relung jiwa Nata.

"Tinggalin gua berdua." titah Erik.

Para senior itu langsung menghambur keluar. Si abang item mencengkram bahu laki-laki yang tadi sempat mereka bully. Membawa serta bersama mereka. Nata menatap kasihan, sekaligus takut.

HEARTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang