“Jadi itu anakmu?” Andre menatap Alex, mereka saling terdiam beberapa saat, Alex mengendurkan pelukannya, mengedarkan pandangannya sebentar. Menatap langit-langit yang temaram diterangi lampu duduk. Mengalihkan tatapannya ke sudut pandangannya yang tak terjamah oleh Andre.
“Iya.”
Andre mengangguk mengerti, kilas balik sesaat tiba-tiba merasuk kedalam pikirannya. Membayangkan waktu dimana dia mulai masuk dalam kehidupan Alex. Dimana dia mulai menyukai Alex, mulai mencintai Alex, dan dia juga mulai merasakan hal yang sama dari Alex, dan setelah mengetahui siapa jati diri Alex sebenarnya, Andre mulai berani mengungkapkan perasaannya.
“Maaf.” Andre mengangkat dagu sesaat, menatap bekas cukuran keabudan didagu Alex. “Aku nggak bermaksud misahin kamu dengan anak kamu.”
Alex bergeming, “Jangan maksa aku berbuat sesuatu.” Pria kembali merapatkan pelukannya. “…aku nggak menyalahkan kamu. Kita sama-sama tahu apa yang terjadi.”
Andre terdiam, walaupun Alex berkata begitu, namun tatapannya masih gusar.
“Menurutmu, apa Delia tahu tentang ini?”
Alex menggeleng pelan, “Entah, aku juga nggak tahu kenapa dia bisa disini.”
“Erik yang membawanya…” Andre mengelus punggung tangan Alex. “Aku yakin.”
Pria itu mendesah, Alex dan Nata, mungkin mereka sudah saatnya bertemu. Mereka sudah waktunya untuk saling mengenal. Mengekang pada diri sendiri bukan perasaan yang tepat jika harus dipertahankan. Dia harus membuka hati, mengubah pandangan atas dirinya sendiri. Terlebih untuk anak semata wayangnya, dia nggak bisa melakukannya untuk itu.
Pria itu juga tidak yakin, apa Nata masih mau menerimanya. Mengingat banyak kenangan pahit yang diberikan olehnya.
Tapi itu nggak membuatnya merasa putus asa, mereka serumah sekarang. Nggak ada alasan untuk saling berjauhan. Ini kesempatan. Alex nggak tahu berapa lama lagi Nata akan tetap tinggal disini. Jadi, Alex akan memanfaatkan waktu itu dengan sebaik mungkin.
***
“Jadi apa masalahnya?” Nata membuka pintu kecil. Lebih mirip celah. Mengintip dari dalam kamar, nggak mengizinkan siapapun masuk. “Ini kamar gue.”
“Kamar lu?” termasuk Erik.
“Intinya lo nggak boleh masuk! Titik!”
“Lo nggak ada hak atas kamar ini.”
“Gue penghuni kamar ini, jadi gue punya hak!”
“Oh?”
“Iya!”
Erik mendesah, “Minggir.” Mendorong pintunya, tapi Nata buru-buru menahannya dengan kuat.
“Gue bilang nggak boleh!”
Erik menghela napas nggak percaya. Nggak tahu apa yang sedang dilakukan bocah itu. Mungkin dia merahasiakan sesuatu. Apa dia lagi pake daster? Coba pake bikini? Pake kostum mermaid?
Dahi Erik berkerut.
Tangannya mendorong pintu dengan kuat, bahkan lebih kuat dari penahan dibelakangnya. Nggak butuh waktu lama untuk berkulat, cowok penahan itu jatuh ke lantai, terpelanting beberapa langkah. Terduduk di lantai.
Erik mengamati sekitar, nggak ada yang mencurigakkan, Nata juga nggak pake daster, bikini ataupun kostum mermaid. Semuanya normal.
“Ssshhhhh…” Nata mengelus pantatnya.
“Jangan nyembunyiin sesuatu dari gua!” Erik menatapnya curiga.
Bocah itu bangkit, masih mengelus pantatnya sambil meringis sesekali.
KAMU SEDANG MEMBACA
HEART
Teen Fiction[BxB 15+] [END] copyright©2017 ORIGINAL written by Naarenn 29 Oktober 2016 - 15 April 2017 Nata memang enggan membuka "pintu"-nya. Dia lebih suka menguncinya rapat-rapat agar semua orang tidak tahu apa yang ada didalamnya. Jika mereka tahu, Nata bis...