“Jadi orang tua kamu koma?” Rava memandang Nata lurus. Menelisik ke manik matanya, mencari sebuah sekepastian. Dia tahu Nata nggak mudah berbohong, dia pasti punya alasan melakukan ini. “Kamu nggak cerita sama aku?”
Nata memandang lantai. “Maaf, aku cuma nggak mau kamu cemas.”
“Jadi kamu menghilang karena itu?”
Nata nggak berkutik. Yang hanya bisa dilakukannya cuma mengangguk. Mengakui kebenaran.
Rava mengembuskan napas. “Tentu aku hawatir, Nat. Apalagi kalo kamu main sembunyi kayak gini,” cowok itu mengerut cemas. “Aku tahu kamu pasti sedih. Tapi kamu nggak harus menghawatirkan perasaan orang lain disaat kayak gini.”
Nata mengangguk mengerti. “Maaf,”
“Kamu nggak salah, aku nggak berhak dimintai maaf.”
Rava membuang napas. Mengusap surai bocah itu lembut. Dia lagi nggak marah. Dia nggak berhak buat marah. Cowok itu hanya memberi nasihat. Dia nggak seharusnya menghawatirkan perasaan orang lain dikala dirinya dirundungi banyak masalah. Terlebih menyangkut kesehatan mamihnya. Bocah itu terlalu peduli, dia masih saja menghiraukan orang lain.
Nata masih termenung. Matanya tetap menatap lantai. Dia enggan menatap mata Rava meskipun hanya mengangkat wajah.
“Nat,”
Bocah itu mendongak perlahan.
“Semua pasti akan baik-baik aja.”
Bocah itu mengangguk. Tersenyum getir. Memaksa dirinya menarik bibir.
Tangan Rava terulur ke tubuhnya. Menariknya dalam dekapan. Menghirup aroma buah dari ubun-ubunnya. Memeluknya erat.
“Percaya sama aku, semua akan baik-baik aja.” Ucapnya lembut.
Tak lama kemudian, cowok itu merasakan sebuah sentuhan dibalik punggungnya. Bocah itu membalasnya. Kian mempererat pelukannya. Menyusupkan wajahnya dalam dada bidang Rava. Seiring bocah itu memeluk, seiring Rava mendengar isakan kecil dari diri bocah itu.
=HEART=
Sepertinya Erik memang sudah mengibarkan pendera merah. Sejak saat itu, sikapnya benar-benar berubah. Dia menjadi tak acuh. Cowok itu selalu berlaku dingin pada bocah itu. Bahkan lebih dingin dari sebelum ia mengenalnya. Dan apa alasannya, Nata nggak tahu.
Dirumah pun, lelaki tinggi itu berlaku demikian. Dia sama sekali nggak menganggap Nata ada. Termasuk ketika berada dimeja makan bersama. Erik tampak diam. Meskipun mereka bersebelahan, Erik tampak enggan membuka mulut. Nata nggak mungkin bertanya kenapa, mungkin itu malah akan memperburuk keadaan.
Nata sama sekali nggak nyaman, seratus persen nggak nyaman. Sikap Erik ini membuat dirinya kembali dirundungi banyak tanda tanya. Kenapa? Apa? Dan Bagaimana bisa dia menjadi seperti itu?
Nata melangkahkan kakinya di koridor. Dia baru saja mengembalikan buku di perpustakaan. Bocah itu berjalan dengan tenang mengikuti derapan lamban langkahnya. Melewati beberapa kelas dalam jam efektif. Pandangannya masih fokus untuk membimbingnya melanjutkan langkah.
Sebelum…
…Erik muncul dihadapannya.
Nata seketika mengerjap. Mendapati Erik berjalan berlawanan arah. Mereka bertatapan singkat. Sebelum Erik lebih dulu membuang muka. Cowok itu tampak berjalan tenang, dengan tangan kanan menggantung mengikuti langkahnya dan tangan kiri tenggelam dibalik sakunya, Erik berjalan mendekat kearah Nata.
Mungkin ini saatnya Nata berbicara. Dia harus menghentikan cowok itu. Bertanya. Dan berbicara tentang apa yang sebenarnya terjadi. Dia nggak bisa terus menunggu cowok itu mengakuinya lebih dahulu. Lebih baik Nata yang memulainya.
KAMU SEDANG MEMBACA
HEART
Teen Fiction[BxB 15+] [END] copyright©2017 ORIGINAL written by Naarenn 29 Oktober 2016 - 15 April 2017 Nata memang enggan membuka "pintu"-nya. Dia lebih suka menguncinya rapat-rapat agar semua orang tidak tahu apa yang ada didalamnya. Jika mereka tahu, Nata bis...