[7] The Second Knock!

6.5K 707 22
                                    

Nata nggak tahu harus kemana lagi. Langkahnya buntu. Dia bingung harus melangkahkan kakinya. Rasanya dia tersesat. Sedangkan lampu jalan udah menguning memberikan penerangan. Dia nggak kunjung menemukan arah kemana dia harus pergi.

Nata nggak punya siapapun sekarang. Untuk seorang Papih sekalipun. Dia nggak kenal siapa papihnya itu. Dia bingung minta bantuan siapa lagi. Mamihnya nggak pernah nujukin apapun tentangnya, selembar foto pun enggak. Yang ada cuma balasan kaku dan sikap nggak peduli tentang apa yang Nata pertanyakan. Seolah Delia selalu menghindar, mengalihkannya dengan yang lain.
Dia tahu papihnya nggak meninggal, untuk alasan apalah itu. Yang pasti dia yakin, papihnya masih ada dibelahan bumi ini.

Dan soal Devan.

Dia nggak mau Devan ikut terlalu jauh dalam masalahnya. Dia nggak mau Devan akan mendapat hal yang sama sepertinya. Rasanya Nata terlalu naïf. Sepanjang Nata mematikan ponselnya, dia yakin Devan udah mengirimkanya banyak pesan.

Nata terus berjalan. Mengikuti kemana langkahnya pergi. Menyeret kopernya yang berisik. Mendapat tatapan aneh orang sekitar. Walaupun dia terus berusaha menghiraukannya, dia belum terbiasa.

Tiba-tiba sebuah cahaya menyorotinya dari belakang. Membuat bayangan dirinya yang jatuh diatas aspal. Ada mobil yang melambat didekatnya. Nata pikir mobil itu akan menepi. Tapi mobil itu justru menghalanginya. Berhenti beberapa meter darinya. Seolah memaksanya untuk berhenti.

Pintu mobil lantas itu terbuka. Lalu muncul seseorang yang nggak asing buatnya.

Seketika sosok itu membuat Nata membulat. Dia sedikit kaget dengan kehadirannya. Apa yang harus dia katakana? Dia harus berasalan apa?

Sosok itu menatap lurus Nata. Seperti yang pernah dia lihat, tatapannya nggak berubah. Datar dan tanpa ekspresi. Nata masih ingat wajah itu. Wajah yang selama ini mengekangnya disekolah karena keteledorannya sendiri.

"E-Erik?"

"Lu mo kemana malem-malem gini, hah?" Erik membekukan tubuh Nata. Melirik sejenak benda belakangnya. Menangkap basah Nata untuk kali ini.

"Bukan urusan lo!"

Nata berusaha langsung melewatinya. Tapi sebuah lengan kuat buru-buru menghalau tubuhnya.

Nata berhenti dibahunya. Tubuhnya tertahan lengan kuat itu. dia nggak bisa bergerak sekarang. Bahkan untuk mundur sekalipun.

"Nat." kode Erik.

Nata menarik napas. Dia bingung harus ngapain. Jujur, kedatangan Erik bener-bener suatu hal yang nggak paling Nata harapkan. Dia nggak pengen itu. Untuk minta bantuannya aja rasanya Nata sangat segan. Apalagi harus jujur tentang apa yang lagi dihadapi sekarang. Erik bukan siapa-siapa Nata. Jadi dia pikir Erik nggak berhak buat tahu.

"Lo nggak perlu tahu. Ini nggak ada hubungannya sama lo." Nata bersikeras. Nata mendongak. Mencoba menyamakan pandangannya dengan Erik. Cowok seratus delapan puluh lima centi itu menunduk membalasnya. Menatap kedua manik hitam yang lebih rendah darinya.

"Gua berhak untuk tahu." Balasnya santai. Tapi tatapannya tegas. "Mungkin lu lupa, gua masih jadi majikan lu."

"Rik!" pekiknya. "Please! Lo ngertiin gue sekarang!"

Nata berusaha mengontrol emosinya. Menarik napas sesekali. Mengatur supaya dia nggak mengeluarkan semuanya.

Erik mengerut. Menatap wajah didepannya yang mulai kelihatan frustasi. Dia memang nggak tahu apa yang terjadi sama Nata. Tapi dia tahu persis, ini bukan masalah kecil. Koper yang dibawanya juga patut dipertanyakan.

"Lu bisa ikut gua." Erik merendahkan pandangan. "Lu boleh tinggal disana beberapa hari."

Nata diam. Apa dia nggak salah dengar? Seorang Erik? Menawarkan bantuan?

HEARTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang