Nata nggak bergerak dari tempatnya. Dia enggan untuk keluar. Ketika ayahnya pun menyuruhnya makan malam, Nata lebih memilih untuk menjawab ‘nanti’. Bocah itu lebih merasa nyaman di dalam kamarnya. Seolah, kamar ini mengerti apa yang dirasakannya.
Erik makin menjauh. Dia masih bersikukuh untuk melupakan Nata. Erik menjadi lebih dingin dari sebelumnya, dia menjadi tak peduli, bersikap seperti orang asing, dan memperlakukan Nata seperti orang lain. Nata nggak habis pikir, sekeras itukah kemauan Erik untuk melupakan dirinya. Nata nggak memaksa untuk itu, Erik juga nggak harus bersikap demikian. Apa sebegitu sakit hati kah Erik sampai dia melakukan hal yang nggak seharusnya dia lakukan?
Nata memakai sepatunya. Dia sudah bersiap untuk pergi keluar. Temannya sudah menunggu di suatu tempat. Dan Nata sudah berjanji untuk turut hadir tepat waktu.
Derungan motor mengusik perhatian Nata. Sosok diatas motor itu membuat Nata menahan napas. Membuat Nata memperlambat gerakan untuk menghindari tatapannya.
Erik membuka helm. Dengan sekali lirik, Erik bisa melihat bocah itu. Nata sedang menali sepatunya dengan pakaian rapi. Tanpa ditanya pun, Erik tahu bocah itu akan pergi kesuatu tempat. Tapi apa peduli Erik? Dia nggak ada urusan untuk itu.
Dengan cuek Erik berjalan melewatinya. Melepaskan sepatunya tepat disamping bocah itu. namun mereka sama sekali tak berucap. Saling diam. Berlaku dingin saku sama lain. Erik bergerak masuk kedala rumah. Membuat Nata membuang napas sesak. Dinginnya sikap Erik mengalahkan dinginnya malam ini.
Nata datang bersama Rava. Pacarnya itu telah menunggunya didekat halte bus. Rava memang belum mempunyai SIM, namun tantenya mengijinkannya untuk mengendarai motor kecuali untuk bersekolah. Mereka berangkat ke sebuah resto. Disana wajah familiar telah berkumpul. Mereka berdua duduk berdampingan. Memilih kursi yang kosong dan menunggu acaranya dimulai.
Ini adalah ulang tahun Clara, teman SMP Nata, sekaligus teman sekelas Rava. Jadi mereka saling kenal dengan mereka berdua. Clara nggak mengundang banyak orang. Hanya teman sekolah dan beberapa saudaranya saja yang hadir, tak lupa kedua orangtuanya juga turut mendampingi.
Rava mencium ada yang nggak beres dari sikap Nata. Bocah itu jadi pendiam. Ketika Rava mengajaknya bercanda pun, bocah itu hanya tertawa sekenanya. Singkat. Dan kembali diam. Sesekali Nata menutupi itu dengan sedikit candaan, tapi lawakan itu sama sekali nggak lucu. Malah terkesan terpaksa untuk menutupi kepedihannya.
Rava tahu. Benar-benar tahu. Dia nggak bisa berpikir hal lain selain dugaannya akan hal itu. Ya, tentang dia dan Erik. Apa perbicangannya waktu itu tidak berjalan mulus? Atau berjalan mulus namun hasilnya yang bertolak belakang? Sampai saat ini, Rava belum menanyakannya. Mungkin itu menjadi sebuah privasi untuk Nata. Rava berani saja untuk bertanya, namun cowok itu nggak tega, terlihat dari keadannya sekarang, Rava nggak mungkin akan memperburuk perasaannya.
“Ikut, yuk!” Rava mengajaknya. Alunan lagu Maudy Ayunda – Cinta Datang Terlambat mengalun lembut di ruangan itu. Nata mengangguk. Menerima uluran tangan Rava.
Cowok itu mengajaknya ke halaman belakang resto. Disana terdapat taman luas dengan minim lampu. Menjadikan taman ini menjadi lebih privat namun masih terlihat elegan, Rava mengajaknya untuk duduk di tengah remputan. Menatap langit bersih kehitaman dengan taburan bintang.“Nat…”
Pemilik nama itu menoleh. Menatap Rava yang memanggil tanpa menatapnya. Cowok itu meneguk Cola sambil terus mendongak keatas. Nata mengernyit, menunggu kata berikutnya yang ingin dikatakannya.
“Aku bingung kenapa bintang nggak bisa kita raih walaupun kita bisa ngelihatnya.”
“…”
KAMU SEDANG MEMBACA
HEART
Teen Fiction[BxB 15+] [END] copyright©2017 ORIGINAL written by Naarenn 29 Oktober 2016 - 15 April 2017 Nata memang enggan membuka "pintu"-nya. Dia lebih suka menguncinya rapat-rapat agar semua orang tidak tahu apa yang ada didalamnya. Jika mereka tahu, Nata bis...