[13] Sosok Yang Baik

6.6K 612 40
                                    

“Lo udah sampe rumah?”

Nata langsung rebahan diatas ranjang. Melemparkan tasnya sembarangan. Ponselnya bergetar selepasnya. Tubuh yang beberapa saat lalu terasa letih mendadak menghilang ketika melihat sebuah pesan di layar ponselnya.

“Udah, lo sendiri?”

Rava membuat waktu Nata berubah semenjak malam itu. Menjadikan waktu yang dia lalui  menjadi lebih berwarna. Rava membuatnya merasa jauh lebih bahagia.

“Belum, gue masih di pos bantuin beresin perlengkapan. Ini baru selesai.”

Jujur, Nata nggak bisa menutupi perasaan itu. Perasaan yang telah dipendamnya selama ini, dia nggak mungkin untuk menyembunyikannya lebih lama lagi. lagipula mereka mempunyai perasan yang sama. Perasaan mereka saling terkait satu sama lain. Jika dirinya memang sudah digariskan, kenapa Nata harus menolak?

“Selamat istirahat kalo gitu.”

Nata tersenyum malu-malu. Membenamkan wajahnya dipunggung bantal. Mengetik layar ponsel sembari menggigit bibir.

“Iya.”

Nata bisa melihat ketidakyakinan Rava waktu itu. Ada sedikit kecemasan yang tergambar pada raut lelaki itu. Tapi dia tetap melakukannya, mencurahkan perasaannya kepada Nata. Di bawah rembulan, matanya sedikit berkaca. Kilatan di matanya memantul berombak seiring mulutnya berucap.

“Jangan lupa makan siang.”

“Oke, lo juga jangan lupa makan siang.”

Nata mematikan ponselnya, meletakkannya diatas dada. Menerawang kearah langit-langit. Dia masih ingat betul bagaimana gerakan bibir Rava ketika mengeluarkan kata-kata itu. Sorot mata canggungnya ketika berusaha menatap lurus kearahnya, dia masih ingat.

Tapi disinilah mereka sekarang. Mereka sudah sama-sama tahu. Sama-sama mengetahui siapa diri mereka sebenarnya. Mereka nggak lagi saling menutupi. Mereka nggak lagi saling menebak. Mereka sudah tahu perasaan satu sama lain. Mereka hanya tinggal memilih, mana yang harus mereka jalani.

Dan mereka memilih untuk bersama.

***

Erik mendribble bolanya dengan santai, memasukan bolanya kedalam ring dengan malas. Matanya lagi-lagi melirik ke jendela di sudut rumah. Gordennya terbuka setengah, jendela itu juga terbuka, membiarkan angin masuk berhembus ke dalam ruangan.

Tapi Erik menatap tak acuh, langsung kembali fokus pada permainnya. Mendribble santai sambil mendekati ring, kembali melambungkan bola. Permainan yang nggak menarik.

Erik langsung berkerut alis. Kembali menatap jendela itu lagi. Pikirannya terus dibayangi sesuatu. Ada sesuatu yang mengganjal dibatinnya.

“Kenapa lo ngelakuin itu ke gue?”

“Kenapa lo pura-pura nyium gue waktu itu?”

Langkahnya sampai didepan pintu. Ingin menemui seseorang didalamnya. Dia merasa ada sesuatu yang harus dipastikan. Apa dia benar-benar perlu untuk memertanyakan ini?

Kalau mungkin itu yang membuatnya sedikit aneh akhir-akhir ini, mungkin dia harus menghindari itu ketika membuat candaan. Erik memang buruk dalam membuat lawakan. Dia nggak pinter ngelawak, bahkan untuk dirinya sendiri. Tapi dia punya bakat lain, menjahili, yang lebih sering dianggap serius oleh yang lain. Ya kayak Nata ini contohnya.

Kreeettt…

Erik nggak sungguh-sungguh melakukannya kok, ciuman bohongan itu, dia berbuat seperti itu hanya untuk menghukumnya. Nata kabur saat menemaninya berlatih basket. Dan Erik geram. Dia nggak mungkin memakinya, atau membully-nya seperti yang dia lakukan kepada yang lain. Dia nggak sejahat itu.

HEARTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang