Nata nggak sepenuhnya menyalahi Erik, dia begitu karena ulahnya. Senjata makan tuan, mungkin itu sebutan yang tepat untuk Nata. Mungkin semua itu nggak akan terjadi ketika Nata lebih hati-hati menggunakan ucapannya. Dia nggak menyangka, Erik bisa mengambil kesempatan itu dengan baik. Kalau saja itu terpikir olehnya.
“Kenapa ketawa, huh?” Nata melotot pada cowok yang menertawainya ketika melewati koridor kelas. Semua orang memperhatikannya sekarang, kali ini Nata kelihatan lucu, badannya kelihatan terbenam karena segaramnya itu.
Perlu kalian tahu, bencana lokal udah terjadi pagi tadi, siapa kalau bukan melibatkan dua orang yang saling berbeda pendapat, Nata dan Erik, mereka nggak mau ngalah satu sama lain, tapi cowok bernama Erik dengan mudah memenangkan perang itu. Cowok itu punya kewenangan lebih untuk mengatur Nata. Cuma bermodalkan ‘gua majikan lu’ Nata hanya bisa menghela napas dan pasrah pada Tuhan.
“Lo nggak ikut ketawa juga?” Nata menodong Erik. Cowok bertubuh tinggi itu memandang datar Nata didepannya. Lebih pendek lima belas senti bukan hal yang dapat membuat Nata takut dengan mudah. “Gue nggak nyangka lo bisa sejahat ini ke gue.”
“Gua cuma pengen lu sekolah, itu aja.”
Nata menghela napas pendek.
“Bukan berarti gue harus make baju lama lo, kan?” Nata melotot frustasi. “Lo nggak lihat ini mirip baju karate!”
“Lepas kalo lu nggak suka.”
“Apa?”
Erik melipat tangan, “Lepas kalo lu nggak suka.” Ulangnya sekali lagi.
Nata berkedip cepat. Dia nggak habis pikir Erik akan berpikiran sampai situ. Bukan apa, rasanya seperti nggak ada secuilpun rasa kasihan yang mendengendap dihati Erik.
Untuk satu detik kedepan Nata lebih memilih untuk diam, rasanya nggak berguna juga protes tentang apa yang dia pakai sekarang. Toh juga Erik nggak peduli, mungkin peduli, tapi cuma sedikit, yang nggak ada bedanya sama sikap memalukan seseorang.
***
Nata berdiam diri dikelas, lebih nyaman rasanya daripada harus keluar untuk sekedar membeli makanan. Mencorat-coret bagian belakang bukunya, merembet ke halaman terkakhir karena bagian sampul belakangnya udah penuh dengan gambar-gambar nggak jelas yang dia buat sebelumnya.
“Bubble tea?” Sebuah cup berembun muncul didepannya. Dibonusi dengan sebuah tangan yang tampak familiar.
“Gue denger lo udah berangkat sekolah, gue seneng dengernya.” Rava tersenyum simpul. Menciptakan sebuah senyuman yang menawan, belum sepenuhnya tertarik, namun sebuah lesung pipit dapat terlihat samar-samar dikedua pipinya.“Gue juga seneng bisa ketemu lo—m-maksud gue…gue se-seneng lo mau repot-repot dateng kesini.” Mulutnya meralat cepat.
Rava tertawa kecil, “Gue lagi butuh temen, lo berkenan nemenin gue?”
“Gue?”
“Gue disuruh Pak Cipto beresin gudang perpus, jangan tanya kenapa.”
“Kenapa?”
Rava tertawa kecil, lagi, “Gue bisa jelasin nanti, gimana, mau?”
Gerutan halus didahi Nata mendadak mencuat, cowok itu kelihatan menimang. antara mau nggak mau. Kenapa dia mau? Alasannya cuma satu, sebuah kesempatan langka bisa barengan sama Rava, apalagi Nata udah nggak lihat cowok ini beberapa hari. Kangen? Jangan tanya!
Lalu, kenapa dia nggak mau? Kenapa lagi kalo bukan karena bajunya ini! Nggak kebayang kalo Rava ngakak gara-gara ngelihat cowok ini pake baju OSIS semi karate, sebetulnya cowok didepannya ini juga udah ketawa kok dari tadi, cuma ditahan aja. Tuh lihat! Guratan didahinya menjelaskan semuanya!
KAMU SEDANG MEMBACA
HEART
Teen Fiction[BxB 15+] [END] copyright©2017 ORIGINAL written by Naarenn 29 Oktober 2016 - 15 April 2017 Nata memang enggan membuka "pintu"-nya. Dia lebih suka menguncinya rapat-rapat agar semua orang tidak tahu apa yang ada didalamnya. Jika mereka tahu, Nata bis...