“Karena cinta tahu kemana ia harus pulang.”
•••
Siapa yang ingin mengharapkan ini? Sebuah perpisahan? Siapa yang ingin menginginkannya selain mereka-mereka yang merasa ingin bebas karena tersakiti? Namun ini berbeda, mereka berlaku sebaliknya. Mereka sudah mengakui bahwa mereka saling mencintai. Namun takdir berkata lain, disaat mereka menjumpai adanya sebuah persamaan, arus lain membawa mereka ke sebuah batasan perpisahan.
Matanya terbuka perlahan. Mengelilir. Dinginnya AC menerpa tengkuk lelaki itu. Membuatnya sadar sempurna. Langkah itu mengambang, bergerak perlahan menyusuri lorong pendek yang menghubungkan kamarnya dengan ruangan lain. Tepat berhenti di sebuah pintu. Lama menatap, membuat tangan itu ingin segera meraihnya.
Erik bertahan. Tangan itu hanya melekat pada gagang pintu. Enggan bergerak untuk menarik membuka pelatuknya. Erik berharap itu semua hanya mimpi belaka, atau halusinasi. Erik nggak berharap itu sungguh terjadi. Cowok itu tetap bertahan. Semakin lama termenung, genggamannya semakin melemah. Pada akhirnya, terlepas.
“Rik?” Alex muncul entah dari mana. Mendekati cowok itu yang sama tingginya dengannya. Mendapati wajah hampa Erik setelah menatap pintu itu. “Nata sudah pergi dini hari tadi. Dia nitipin ini buat kamu.”
Sepucuk surat tersodor dalam apitan jemari Alex. Nata pergi tadi malam? Kenapa Erik nggak tahu itu? Kenapa dirinya bisa tertidur disini? Kenapa mereka tidak membangunkannya untuk memberikan salam perpisahan? Dan Nata… kenapa bocah itu nggak memberi tahu kalau dia pergi hari itu. Erik pegun. Antara ragu dan ingin tahu, pada akhirnya Erik menerimanya.
“Kapan dia pulang?”
Alex terdiam. Menatap manik kosong Erik yang mengarah padanya. Wajahnya benar-benar hampa. Keingintahuannya itu menyayat batin Alex.
“Sesegera mungkin.” Alex gemap. Bingung berkata apa. “Gini, rik. Jangan terlalu memaksakan diri untuk bertahan. Kamu harus sedikit merelakan dia pergi. Jika begitu, waktu akan berjalan cepat. kamu nggak akan tersiksa karena menjalani hari tanpa Nata. Kamu boleh cinta, tapi kamu juga harus mengingat siapa kamu di kehidupan ini. Hidupmu bukan hanya tentang Nata kan? Jadi belajarlah sedikit realistis.”
Erik bergeming. Tapi rasanya tetap saja berat. Erik belum siap. Rasanya dunia ini sama sekali tidak adil. Disaat mereka telah menemukan sebuah ujung, dunia membuat lautan yang jauh untuk memisahkan mereka kembali.
Erik duduk di tepi ranjang. Surat berwarna biru dari kertas lipat itu menjadi bahan tatapan Erik. Perlahan, jemarinya mulai membuka surat itu. Menemukan sebuah lipatan kertas yang dilipat menjadi empat bagian.
Halo, Rik.
Mungkin ini sapaan teraneh gue ke lo. Gue tadi ke kamar lo jam 1 pagi, tapi ngelihat lo tidur, gue nggak tega. Gue di airport sekarang. Gue bakal naik pesawat, rik! Lo tahu, kan? Gue belum pernah naik pesawat sebelumnya? Jujur gue sedikit takut ketinggian, makanya Tante Yulia bilang kalo gue nggak boleh duduk di paling ujung di dekat jendela. Gue nggak sabar buat sampe ke Singapura, tapi gue juga ngerasa berat buat ninggalin Jakarta.
Mmm, rik, lo nggak papa, kan? Kalo lo tanya keadaan gue sekarang, gue baik-baik aja kok. Gue cuma parno aja kalo udah naik pesawat. Norak banget, ya! Oya, rik. Gue disini janji nggak bakal nakal, kok. Gue bakal inget terus jimat lo yang suka ngitung itu. Gue bakal nggak suka nangis lagi. Pokoknya gue bakal terus inget kata-kata lo, dan bayangin hukuman-hukuman dari lo itu.
Gue disini nggak akan lama, kok. Selepas Mamih sembuh, gue janji bakal minta Tante Yulia buat mulangin gue ke Jakarta. Sendirian nggak papa.
KAMU SEDANG MEMBACA
HEART
Teen Fiction[BxB 15+] [END] copyright©2017 ORIGINAL written by Naarenn 29 Oktober 2016 - 15 April 2017 Nata memang enggan membuka "pintu"-nya. Dia lebih suka menguncinya rapat-rapat agar semua orang tidak tahu apa yang ada didalamnya. Jika mereka tahu, Nata bis...