[14] It's Okay, That's Love

7.4K 570 90
                                    

“Jadi kapan kamu mulai suka sama aku?” Rava tersenyum malu. Pertanyaan itu berhasil membuat cowok dibelakangnya berkerut lucu. Berpikir sambil mengingat kapan ia melakukan itu.

Nata mengetukkan dagu. “Mulai kemah awal semester mungkin?”

Dari sini hidungnya mulai mencium aroma harum yang membuat perutnya terasa lebih lapar. Rava mulai memasukan sesuatu kedalam wajannya. Dari aromanya, ini seperti bawang Bombay. Harum.

“Memangnya aku kenapa waktu itu?”

“Kepooo!”

“Aku serius!”

“Aku juga serius!”

Rava tersenyum. Tangannya mulai memecahkan telur dan memasukkannya kedalam wajan. Mendiamkannya sejenak, lalu spatula ditangannya itu mengorak-arik telur sampai menggumpal kecil-kecil.

Nata penasaran, meninggalkan buku dihadapannya. Beranjak melangkah kearah dapur menyaksikan Rava yang berkutat dengan wajannya. Cowok itu mulai memasukkan nasi. Tangannya udah terampil memasukkan bumbu, seolah nggak melihat apa yang dia masukan.

“Jadi kamu tinggal disini? Sendirian?”

“Hhh-mmm.” Rava mendesah. “Kebetulan pemilik kos ini Tante aku. Jadinya yaaa.. gratis deh.”

“Oh ya?”

“Tapi aku nggak boleh ngomong ke siapapun. Takut terjadi kecemburuan sosial.” Rava terkekeh kecil.

Nata berbinar. Melihat nasi keemasan yang berasap didalam wajan. Dilengkapi dengan butiran kacang polong dan jagung manis membuatnya sedikit lebih berwarna.

“Kelihatannya enak!”

Rava menyiapkan semuanya. Menyandingkan dua piring nasi goreng ke meja makan diruang tengah. Menyampirkan buku-buku yang habis dibahas bersama ke sisi lain. Mereka lapar sekarang. Berpikir terlalu lama membuat mereka membutuhkan energi lebih.

“Mmmm…” Nata berbinar. Mengacungkan jempolnya keudara. “Mmmmmmm..”

“Apaan?”

Nata menghabiskan makannya, membuat bubur halus didalam mulutnya. “Enak!”

Rava tersipu. Tersenyum kearahnya. Mungkin baru pertama ini dia mendapat pujian dari Nata. Dia suka ketika melihat mata bocah itu membulat menikmati makannnya. Entahlah, dari sekian pujian yang diberikan orang terdekat tentang makanannya, pujian dari Natalah yang paling membuatnya bahagia.

“Kenyang?” Rava menyampirkan kepala diatas bantal. Memandang langit-langit. Membelai surai-surai kecil yang bersandar disisi tubuhnya. Menelusupkan jari-jarinya menyusuri garis rambut, memberi efek kenyamanan tersendiri bagi pemiliknya.

“Rav!”

“Hmm?”

“Jangan pergi.” Nata menggeser kepalanya. Memberi ruang kepada Rava untuk bisa memandangnya.

“Aku nggak kemana-mana, kok.”

“Bukan itu,” Nata mendesah. Seketika Rava menyadari apa yang Nata maksud. Mengembuskan napas setelahnya.

“Aku bakal disini, akan tetap disini.” Jawabnya lembut. Masih menyusuri rambut Nata dengan jarinya. “Kenapa tanya gitu?”

“Nggak apa.” Nata mengendurkan pandangannya. “Aku cuma nggak mau lepas dari kamu. Itu aja.”

Rava langsung tersenyum simpul. Memandang ubun-ubun dihadapannya yang bergerak sesekali. Dia sama sekali nggak ada niatan untuk itu. Nata udah cukup membuatnya bahagia, setiap ruang dihatinya telah terisi oleh bocah itu. Mustahil jika Rava akan melakukannya. Melepas apa yang nggak ingin dia lepas. Dia nggak akan melakukan itu. Nggak akan pernah.

HEARTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang