Special Chapter: Because You are The Reason

5.9K 381 120
                                    

[Pasang earphone kamu. Play musik di atas]

.

.

.

.

.

Rindu bukanlah suatu larangan. Semua orang bisa merasakan rindu. Ketika apa yang mereka kerap lakukan dan temui, tak lagi mereka jumpai, timbul rasa tidak nyaman yang menggundahkan hati. Rindu tak selamanya semu, ketika mereka telah merasa nyaman akan keberadaan seseorang, rindu itu bisa membuncah selamanya.

Dan itu berlaku bagi Erik.

Erik masih terisak.

Memeluk tubuh itu erat-erat.

Membiarkan kerinduan luntur bersamaan dengan linangan air mata yang membasahi pipinya kini.

Terlalu munafik jika Erik bilang tidak merindukannya.

Erik akan menjadi orang paling bodoh jika Erik bilang tidak menginginkannya kembali.

Dan sekarang, penantiannya terbalaskan.

Meski harus menempuh waktu yang terbilang panjang.

Sebuah usapan meraba punggung Erik. Dua telapak tangan mengusap titik berbeda secara seirama. Sesekali mengusap belakang kepalanya, lalu punggungnya, dan kembali pada titik di belakang kepala Erik.

"Maaf udah buat lo nunggu, Rik."

Erik masih terisak. Punggungnya berguncang-guncang. Sedangkan lelaki dalam pelukannya penahan perih di pangkal leher. Amat sangat perih. Matanya sepenuhnya berkaca, namun ia mencoba bertahan, meskipun, pada akhirnya tetesan air meluncur di sudut matanya juga.

Nata juga rindu Erik. Amat sangat rindu.

Sekarang Erik sudah dewasa. Perawakannya sedikit berubah semenjak ia tak melihat lelaki ini delapan tahun silam, namun wajah itu masih tetap sama. Tapi sekarang sesuatu merubah rona wajah Erik. Ia menyendu.

Dan tak sedingin seperti yang ia tahu.

Pelukan Erik mengendur, guncangan itu mereda seiring wajah itu beralih persis ke hadapan manik lembut di milik Nata. Dua pasang mata minimalis yang kini terlihat sedikit sembab, menyoroti wajah lembut itu. Begitu lekat. Tangan besar Erik turut andil dalam menguatkan apa yang dipandangnya. Ibu jari itu bergerak membelai lembut sebelah pipi kemerahan itu. Seolah, Erik ingin memastikan bahwa apa yang ia lihat memanglah kenyataan.

Nata juga tidak berubah.

"Gue pulang." Suara itu memantapkan sorot mata Erik. Sebuah genggaman menumpuk di punggung tangannya.

"...Nat?"

Nata mengumbar senyum. Ia bisa melihat sorot mata Erik yang masih tak percaya. Bagai sebuah ilusi yang menjadi nyata. Sulit dipercaya.

Wajah Nata masih tetap sama. Masih menyiratkan kehangatan dan rona wajah yang ceria. Hanya, suara bocah itu sedikit memberat.

"Gua tahu lu pasti pulang." Erik menyeka sisa air di dagu sebelah kiri. Lantas tersenyum.

Jujur, Nata belum pernah melihat Erik yang sebahagia ini. Lihat senyum lebar itu, mata yang menghilang di balik lengkungan itu, dan air mata itu. Erik terlampau bahagia.

Karena ia kembali melihat Nata.

Sekarang Nata di sini. Di rumah lamanya. Rumah yang menjadi saksi bisu kehidupannya selama ini. Rumah yang membawanya pada sebuah kehangatan, kesedihan, gurau, amarah, dan yang terpenting...

HEARTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang