Rasa 23

41 2 0
                                    

"Engga, gue ga setuju!"

Semua terdiam. Tersentak.

Mata Maura memicing, menatap tajam Garen yang menolak mentah-mentah pendapat Bagas. "Kenapa, si?"

Tentu saja Maura membela.

Garen menatap santai Maura yang terlihat marah. "Dia udah ngubah lagu dari persyaratan pendaftaran. Sama aja kaya dia mau ngubah acara."

Kembali keadaan hening.

"Udah, kan? Itu doang? Sekarang bubar aja," ucap Garen pada rapat OSIS kali itu. Semua membereskan barang-barangnya, sampai akhirnya Bagas memilih membuka suara.

"Gue tetep akan ngubah lagunya."

Garen menoleh, bukan karena perkataan Bagas, tapi karena dengan tumben-tumbenannya nada suara lelaki itu terdengar dingin. Alisnya terangkat satu, memerhatikan Bagas yang kali itu menatap tajam dirinya. Garen mengangguk setuju, tersenyum miring, "Kecuali lo mau jadi yang tampil terakhir, karena lagu itu."

Banyak yang menahan nafas di sana. Karena memang sebenarnya rapat OSIS kali ini bukan hanya anggota OSIS, tetapi semua peserta yang telah terpilih menjadi guest star. Jangan lupakan perwakilan jurnalis, yaitu Acha dan Deri.

Tanpa berfikir panjang, Bagas mengangguk. Raut wajahnya yang datar menjadi penutup rapat kali itu. Semuanya berdiri, ketika akhirnya Garen mengatakan rapat telah selesai dan semua boleh kembali ke kelas masing-masing.

Acha yang hendak balik tertahan ketika matanya tak sengaja bertubrukan dengan mata legam tersebut. Dingin, dan kosong.

Bagas mengangguk ketika dengan antusias Maura menyeretnya keluar ruangan, hendak ke kantin. Membuat Acha menunduk, tak mengerti mengapa dengan tiba-tiba perasaan bersalah menyeruak. Dia tak tau karena apa.

"Kak, ga balik?"

Perempuan itu mengangguk perlahan setelah sadar. Deri mempersilahkan kakak kelasnya itu untuk berjalan duluan sebelum dirinya. Menyisakan ruang kosong untuk Garen menyendiri. Bermain ponsel sendirian.

Matanya menatap ke luar pintu.

Memikirkan hal yang sama.

°°°

Rendi berlari kecil ketika matanya menemukan siluet perempuan yang dari kemarin menginap di rumahnya.

Jaraknya yang semakin dekat membuat tanpa sadar Rendi merasa gelisah. Dadanya tiba-tiba berdenyut nyeri, membuat langkah itu ikut berhenti. Membiarkan Acha berjalan semakin menjauh.

Ia mengerjab, tak mengerti dengan kondisi fisiknya.

Semakin tersentak ketika tiba-tiba semua orang berjalan mundur, tapi Rendi tidak. Dia menetap di tempatnya dengan bingung. Kejadiannya begitu cepat, belum sampai matanya berkedip, Acha telah sampai di depannya.

"Kak Rendi?"

Acha menoleh ke belakang, mendapati Rendi yang membeku.

Kepalanya mengangguk-angguk, setengah sadar. Tangannya menyuruh Deri untuk pergi lebih dulu, karena Rendi ingin berdua dengan Acha. Senyum jahil merekah di bibir Deri, berpamitan sebentar kepada kedua orang itu sebelum pergi dari sana.

Mata bulat Acha ikut mengerjab ketika Rendi masih berdiri kaku di tempatnya. "Apa?"

"Percaya, ga?" nada suara Rendi berubah serius. "Lo tadi jalan mundur?"

Wajah Acha berubah datar. Seakan pernyataan Rendi barusan adalah jokes yang paling tak bermutu dari pembicaraan mereka. Dia berbalik, hendak berjalan lebih dulu sebelum akhirnya tangan Rendi merangkul pundaknya, ikut berjalan di sampingnya.

Acha tak protes.

Koridor terasa lebih ramai. Para murid memilih duduk-duduk di kursi koridor sambil bercakap-cakap, ada pula yang memilih makan di sana hanya karena bangku kantin tidak ada yang kosong.

Karena jalan Acha meleng, kakinya menyandung sebuah tumpukan buku di pinggir koridor, menyebabkan tumbuhnya hampir menjorok ke depan jika saja tangan Rendi tidak menahannya. Acha kaget, menunduk, memerhatikan benda tersebut yang berserakan karena ulahnya.

"Maaf kak, maaf."

Suara perempuan menyambut telinganya. Perempuan itu berjongkok, membereskan barangnya. Acha ikut berjongkok, membiarkan tangan Rendi terlepas. Memberikan setumpuk kertas yang ternyata di simpan di balik buku tersebut. Tapi adik kelas yang di berikan buku tersebut belum sempat menerima, tatapannya tertuju pada jalanan koridor yang tiba-tiba terasa hening.

Acha ikut menoleh, mendapati wajah dingin itu berjalan di samping sang waketos. Masalahnya, mereka tidak pernah melewatkan waktu sedikit pun untuk mengumbar hubungannya.

Sebuah tangan menerima tumpukan kertas itu, Acha kembali melihat adik kelasnya tersenyum meminta maaf. Acha merasakan tangannya tertarik, Rendi menyuruhnya berdiri. Acha belum sempat melihat raut wajah Rendi ketika dengan tiba-tiba mereka kembali berjalan, bersamaan dengan pasangan tadi yang ternyata telah sampai di dekat mereka.

Maura tersenyum, sangat lebar.

Berbanding terbalik dengan langkah Acha yang terasa melambat ketika pasangan itu melewatinya. Melirik sekilas ke arah Bagas yang ternyata tak ingin menatapnya.

Lagi, Bagas mengacuhkan Acha.

Kembali pada realita, semua berjalan dengan cepat. Mereka saling melewati. Tak ada yang ingin menyapa.

Ternyata keduanya menghela nafas, sangat sesak.

°°°

27'05'18

Aftertaste (Hiatus?)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang