Rasa 13

35 6 0
                                    

“Katanya, permainan akan segera dimulai. Oke, akan ku beri tahu. Permainan yang menarik adalah ketika kalian berhasil membuatnya menangis.”

(-Ai)

Rendi masih duduk di sana sambil melipat kedua tangannya ketika tiba-tiba ada suara bisik yang membuat mulutnya tertutup dan matanya terbuka secara perlahan. Masih ngantuk. Lelaki itu hanya tidur tiga jam semalem gara-gara mikirin ucapan Acha terakhir kali di sekolah. Buku yang menutupi wajahnya itu kini telah diambil alih oleh tangannya sendiri. Ia menegakkan badannya, samar-samar terdengar suara seseorang sedang berbisik mencari sesuatu.

Rendi ikutan kepo. Tanpa suara, kaki lelaki itu mendekat pada kedua orang siswi yang sedang berbisik sambil mencari sesuatu di tumpukan buku.

"Kalo gue minta Bu Rahma buat mecat Maura jadi waketos, ataupun Acha get out dari sekolah. Bisa ga, ya?"

Mata lelaki itu berkedip beberapa kali. Tangannya yang tadi ingin menyentuh salah satu pundak siswi tersebut secara perlahan menurun. Dengan sifat polosnya yang tiba-tiba keluar, dadanya sedikit membungkuk, ingin mendengar lebih jauh perbincangan kedua perempuan itu yang belum menyadari keberadaan dirinya.

"Boleh, tuh."

Heh. Bibir Rendi maju.

"Sumpis. Gue harus nyari sekarang juga."

"Iya, lo harus cari, tuh." Perempuan yang sedang giat mencari itu mengangguk setuju. "Gimanapun, ngehilangin Acha dari sekolah adalah keajaiban yang sekarang harus lo miliki."

Lagi, perempuan itu mengangguk.

Sepertinya temannya itu tidak selemot perempuan itu, dengan tampang memelasnya dia menoleh ke belakang, mendapati Rendi sedang tersenyum sangat manis. Dia berkedip beberapa kali, dengan masih menampilkan wajah takutnya, tangannya bergerak mencolek bahu si perempuan tersebut. "Tas," bisiknya.

Masih menyanyikan lagu ciptaannya sendiri dengan beberapa lirik yang sempat Rendi dengar, 'Maura dan Acha akan pergi terus, mereka tak akan menggangu Ratu.' bernada pelangi-pelangi, perempuan itu menoleh pada temannya sendiri. "Apa si, Ar?"

"Anu.. " temannya melirik Rendi sekilas.

Perempuan itu melotot, seakan ingat sesuatu. "Tadi siapa yang nanggepin gu-" ucapan terhenti ketika ia menoleh ke belakangnya. "Eh, Rendi."

"Eh, Tasnya," sapa Rendi balik dengan ejaan nama yang sengaja diplesetnya. Tasya hanya diam, nyengir lebar. Saling melirik dengan Arla, seakan menerima aba-aba, kedua perempuan itu mengangguk bersamaan dan hendak kabur ke arah yang berlawanan, hampir membuat Rendi pusing, untungnya tangan dia panjang. "Mau kabur, ya?"

Kedua perempuan itu cemberut di tempatnya. "Kenapa? Bu Rahma ngomong apa sampe kalian pengen banget ngeluarin dua orang itu?"

Arla bergerak sedikit, tarikan Rendi pada kerah bajunya masih belum ada tanda-tanda ingin lepas. "Buku agendanya ilang. Garen bikin pengumuman, siapapun yang nemuin buku itu duluan, bakalan dikabulin permintaannya."

Rendi berfikir sejenak, terlihat lucu bagi kedua perempuan tersebut andai saja tak ada tangannya pada kerah mereka. Rendi tuh dinginnya ngeselin. "Beberapa lomba matematika maupun sains rata-rata dimenangin Acha dalam perlombaan membawa sekolahnya. Sedangkan waketos yang otaknya encer setengah mampus buat bikin acara selalu ga boring, tanpa campur tangan ketosnya yang cuma paling bisa ngangguk doang sambil tampang muka." Ia berhenti sejenak, membawa kedua gadis itu ke depannya, membuat mereka bersamaan menoleh padanya. "Berarti kalian udah siap gantiin posisi mereka yang udah bawa nama sekolah?"

Kedua perempuan itu menggeleng bersamaan. Sumpah. Tasya itu benci rumus, kecuali kalo emang OSIS itu kerjaannya cuma debat, Tasya kuat. Nah, Arla, dia males debat kalau pemikirannya tidak disetujui, dan Arla itu seorang puitis, dia ga bisa mikir macem-macem kecuali sebuah kata sempurna.

Bisa diringkas.

Mereka benci OSIS, matematika dan sains.

"Ganggu waktu tidur gue aja kalian, tuh."

Kedua perempuan itu melotot kesal. Dengan gerakan pelan tapi pasti, Rendi melepaskan kerah mereka. Terdengar suara gaduh. Rendi tertawa. Tasya mengaduh. Arla mencari pulpennya.

Bodo amat Tasya komentar apa. Masalahnya itu pulpen dari Garen.

"Ar! Ga sakit apa?" Tanya Rendi dan Tasya berbarengan. Rendi membungkuk.

Arla diam sejenak, dirasakannya dulu pinggangnya. Setelah Tasya memberi penekanan pada pinggangnya, Arla menjerit. "Sakit Tasnya!"

Semua diam.

Hening.

"Shutt!" Mereka yang berada di dalam perpustakaan, menoleh bersamaan. Berucap berbarengan. Untungnya tak ada Bu Dewi, selaku guru penjaga perpustakaan. Coba kalo ada,

Gapapa si. Bu Dewi ga galak. Paling cuma bilang ke wali kelas.

Rendi berbalik, hendak melangkah ke arah kursinya kembali. Tasya melihat, "Lo kemana kemarin?"

Bukan.

Itu bukan suara Tasya.

Tasya juga kaget, spontan menoleh ke belakang. Rendi berbalik, ingin tau kok suara Tasya bisa berubah.

Tapi perlahan.

Belum sempat Tasya menyingkir, perempuan itu telah terdorong ke belakang, mengakibatkan sebuah tonjokan mengenai pipi kiri Rendi.

Arla menjerit. Langsung berlari ke arah Tasya yang masih syok. Mungkin begini rasanya jadi Acha atau Maura yang selalu tersingkir bila kedua lelaki itu bertemu. "Tas, lo--"

"Panggil Acha atau Maura, Ar!"

Perempuan itu tersentak, Tasya seperti ingin menangis. Tanpa berucap apapun, Arla pergi, mencari siapapun yang dapat dimintainya tolong.

Perpustakaan sudah tak lagi hening. Beberapa siswa memilih mendekat, ada juga yang telah keluar untuk mencari tempat yang lebih tepat untuk membaca. Mereka seakan batu yang tak pernah peduli dan hanya menonton. Itu yang membuat Tasya benci kutu buku. Menurutnya, lebih baik berpura-pura tau, daripada hanya diam menutup kebenaran dan tak peduli keadaan.

Sosok di sana diam. Berdiri di ujung lemari. Memperhatikan kerumunan yang semakin ramai. Senyum miringnya mengembang. "Bodoh."

°°°°°

04'06'17

Aftertaste (Hiatus?)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang