Rasa 27

40 0 0
                                    

Gita memberhentikan mobilnya di area tanah lapang. Menoleh pada saudarinya yang masih saja terdiam di kursinya.

Tanpa sadar tatapan Gita melunak. Rasa bersalah kembali hadir mengisi dadanya dalam kurun waktu yang cukup lama. Mereka terdiam dengan keadaan hening itu. Sebelum dengan tiba-tiba Acha menggeleng, sadar karena ternyata sedari tadi melamun, dan ikut menoleh pada Gita di sampingnya.

Yang Acha tau, mata Gita berkaca-kaca. Hampir menetes jika saja Acha tidak memanggil Gita, membuat akhirnya gadis itu mengerjab, ikut tersadar.

"Kenapa?"

Gita menggeleng. Melepas sealtbeat yang melilit tubuhnya. "Tadi Bian nitip es buah di sana. Gue turun dulu, ya?"

Acha mengangguk. Membiarkan Gita turun sambil diperhatikannya. Merasa bosan, tangan itu memutar radio, mencari chanel yang bagus. Lama tangan itu berkutat di sana, sampai akhirnya Acha menyerah. Tak ada yang seru.

Bunyi kresek terdengar. Tak berapa lama sang pembawa radio membawakan acaranya, sebelum akhirnya lagu diperdengarkan.

"I'm jealous of the rain.."

Helaan nafas terdengar. Dengan spontan Acha menoleh kaget pada radio itu. Memasang tampang blo'on pertama kalinya.

Kejadian beberapa hari yang melelahkan itu membuatnya kembali gelisah. Acha gelisah untuk alasan yang tak pasti. Jelas Acha mendengarnya, Acha mendengar ketika lelaki itu menekan tust piano dengan keras dan kasar, seakan sedang menahan emosi. Semua permainan pianonya terdengar seirama dengan lagu yang saat itu seakan menyayat hati siapapun.

Acha bahkan tak mengerti dengan tiba-tiba Bagas menyentak tangannya dengan kasar. Tatapan dingin Bagas seakan menusuk dadanya, sangat dalam. Sampai Acha merasa seluruh badannya kaku. Untuk pertama kalinya.

"It's hard for me to say. I'm jealous of the way. You're happy without me.."

Dering ponsel memecah konsentrasinya.

Acha ikut mencari benda persegi panjang itu. Ketika memeriksa tasnya, ponselnya tidak berdering. Oh, Acha mengangguk, ponsel Gita tertinggal di dashboard mobil. Acha membukanya, menemukan benda itu masih berdering.

Gas bocor calling.

Alis perempuan itu terangkat sebelah.

Ia mendongak, melihat-lihat dari dalam mobil apakah Gita masih lama atau tidak. Sampai akhirnya dering ponsel itu kembali terdengar. Menggembungkan pipi jengkel, Acha menekan tombol hijau sebelum menempelnya pada telinga kanan.

"Susah banget si, ngangkatnya?"

Suara tajam tersebut memekakkan telinga Acha. Sampai jidat tersebut kembali mengerut, jengkel. "Gitanya ga ada."

Hening.

Sangat hening.

Acha sampai berulang-ulang mengecek apakah sambungan telpon tersebut masih tersambung atau tidak. "Ha-"

"Acha?"

Lirih suara itu membuat Acha membeku. Familiar suaranya seperti membawa Acha pada kejadian-kejadian yang tak pernah Acha pedulikan. Kegelisahan menyelimuti seluruh tubuhnya. Untuk alasan yang tidak pasti, Acha menunduk, memainkan jemarinya pada rok sekolahnya.

"Siapa?"

Helaan nafas terdengar. Tak seirama dengan deru nafas Acha.

Acha hanya tak tau, di seberang sana sosok itu terduduk kaku, menyender pada pintu kamarnya. Tak jadi keluar untuk menemui Gita. Fikirannya berkecamuk menjadi satu. Lingkaran hitam di matanya menjadi penghias dan penanda bahwa lelaki itu benar-benar berubah untuk beberapa hari. Selalu menyendiri dan bersikap kurang ajar, termasuk bersikap kasar pada Acha.

Untuk beberapa saat kedepannya, ia memilih untuk diam. Membiarkan Acha masih pada posisi yang sama.

Hanya untuk sesaat, Bagas merindukan suara Acha.

°°°

"Apa, si?"

"Tentang jiar udah lo sebar, belum?"

Maura menepuk jidatnya, lupa.

Menyadari hal itu, Garen geleng-geleng kepala. Berdecak dengan nyaringnya. Menatap Maura dengan raut wajah kesal. Maura yang menyadari itu mendongak dari ponselnya, yang baru saja mengirimkan chat pada Gisel untuk segera menginformasikan kepada para guest star bahwa lusa akan diadakan jiar. Ikut menatap Garen dengan wajah lelahnya, melapor, "Udah."

Helaan nafas terdengar. Garen melihat Maura beranjak dari duduknya, keluar ruangan dengan langkah pelan.

Garen mengejarnya, menyampirkan tasnya di pundak kanan. Menyusul langkah Maura. "Gue anter, ya?"

Maura berhenti. Mendongak, menatap Garen yang terlihat serius. Maura tak punya pilihan lagi ketika dengan tiba-tiba Garen meraih lengannya, membawa Maura ke parkiran motor dengan lembut.

"Maaf, Mar." Helaan nafas terdengar. Membuat Maura mendekat, semakin berdempet pada lelaki di depannya yang terdengar membuka suara. "Semua yang gue lakuin, bukan karena lo."

Maura diam.

Saat itu, Maura hanya terduduk kaku. Sampai Bagas mengantarnya pulang ke rumah, dan Maura turun, Bagas kembali membuka suara, "Jangan sampai lo salah tanggap dengan sifat gue, ya? Gue cuma pengen sendiri untuk saat ini. Dan gue minta tolong, jangan bawa perasaan lo waktu kita bisa ngobrol."

Hingga akhirnya dia terisak. Maura menunduk, menempelkan jidatnya pada punggung Garen yang terbalut jaket bomber. Kedua tangannya mencengkram erat jaket itu, membuat Garen menunduk sekilas.

Bagas hanya memanfaatkannya.

°°°

22'06'18

Aftertaste (Hiatus?)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang