Rasa 30

26 0 0
                                    

"Malam itu aku percaya, kamu ada. Aku mendengar tangisannya, miris, layaknya bayi. Kamu baru saja kehilangan, seseorang dan duniamu."

(Permainan dunia)

Kedua remaja itu saling diam. Tak ada yang memulai percakapan.

Sejak lelaki tersebut menghampiri dan menggandeng tangan Acha untuk membantu menyebrang, mereka seakan tak mengenal diri mereka masing-masing. Acha, gadis itu mengeluarkan earphone dari sakunya, dan mulai memasangnya pada telinga.

Bagas menoleh. "Ca,"

Yang dipanggil seperti kaget, tapi hanya beberapa detik, Acha kembali menampilkan wajah datarnya. Bagas yang melihat itu tersenyum, sangat tipis. Sampai Acha mengira itu hanya garis. Tangannya bergerak menggapai tangan perempuan di sampingnya. Acha menoleh, mendapati Bagas tengah menaruh sesuatu di sana. "Kasih tau gue, cara ngelupain lo dengan benar."

Mulut perempuan itu terbuka lalu tertutup kembali. Ia menunduk, perasaannya mendadak kalut.

"Kalo lo bilang dari dulu ga suka Bagas, mungkin dia ga akan terus ngarepin lo. Asal lo tau, hati orang juga perlu perawatan. Kalo lama-lama didiemin, hatinya juga bakalan busuk. Kaya lo."

"Lo tunangan dan kenapa harus bawa gue?"

Mengingatnya membuat dada Acha bergetar hebat. Pertama kalinya bagi Acha merasakan hal ini lagi. Apa mau lo si, Gas? Kenapa dengan sikap lo sekarang? batinnya ngilu.

"Kalaupun ada orang lain yang akan ngambil alih hati lo, tolong jangan biarin gue menetap di sini selamanya, Ca, " ujar lelaki itu. Ditariknya Acha mendekat, memeluknya perlahan. "Maaf atas sikap kasar gue."

Hujan, sekali lagi Acha berbisik.

"Menjauh."

Tapi nyatanya, suara dingin itu menyapu telinga Bagas. Dekapannya mengendur, secara perlahan gadis itu telah melepaskannya. Matanya yang bulat menatap dingin Bagas, seakan lelaki itu melakukan kesalahan yang sangat fatal. Kemudian setelah itu Acha berlari, kegusaran semakin bertambah kala rintik hujan mulai turun, Acha menangis. Pertama kalinya.

Badan Bagas membeku. Matanya kosong menatap tubuh Acha yang semakin menjauh.

Tak menyangka Acha membalas sikap dinginnya dengan sesakit ini.

°°°°

Rendi mengoper bolanya. Fikirannya tiba-tiba melayang dan tanpa disadari, kaki kirinya menyandung kaki kanannya, menyebabkan tubuh itu tak seimbang, lalu jatuh.

Permainan terhenti sebentar.

"Ren, lo ga papa?" Alfa, teman sekelasnya membantu berdiri.

Rendi hanya merasa tak enak. Tiba-tiba dia memikirkan Acha. "Ga papa."

Kedua lelaki tersebut duduk di pinggir lapangan. Istirahat sebentar. Sampai akhirnya Alfa mengerutkan dahinya, "Acha, ya?"

Rendi diam. Alfa menepuk pundak lelaki itu, "Gue denger tadi kalian ngomong apaan. Gue cuma takut, Acha malah ke rumah Maura sekarang."

"Iya?"

"Ck," decak Alfa. "Acha susah ditebak, Ren."

Tanpa berbicara apapun Rendi berdiri, menggapai jaket dan tasnya lalu pergi begitu saja. Membiarkan semua mata mengarah padanya.

°°°°

Seharusnya Acha tidak di sini, berjongkok di depan pagar rumah minimalis modern. Membiarkan bajunya basah kuyup karena hujan.

Tangannya terkepal kuat, menahan sesuatu yang terasa menjanggal di hatinya. Acha menangis, membiarkan air hujan menyatu dengan tangisnya. Ada hal yang harus Acha sadari, ini rumah Maura. Acha menangis di depan rumah perempuan yang membuat masa lalu mereka terasa kelam. Perempuan yang menghancurkan dirinya dan mereka.

"Kasih tau gue, cara ngelupain lo dengan benar."

Acha tak tahu sakitnya akan seperti ini. Ia tak mengerti mengapa perkataan itu terngiang di benaknya. Ia juga tak mengerti dengan dadanya yang terasa sesak dan air matanya yang selalu mengalir. Sampai akhirnya deru motor memecah keheningan malam itu, memperlihatkan sosok yang baru datang itu membuka helmnya dan terkejut.

Rendi berlari, memeluk sahabatnya yang tak berdaya di sana. "Lo kenapa?"

"Sakit.. Ren," lirihnya.

Seharusnya Bagas tak munafik. Keputusannya sangat salah. Ia membuat perempuan yang dicintainya menangis di tengah hujan deras, dan ia hanya menonton di kejauhan.

"Kenapa? Ada apa?"

Acha menggeleng, masih tak mengerti dengan dadanya yang berdegup lebih cepat membuat ia tak bisa bernafas. Tapi sebelum semuanya sirna, Acha hanya berharap Rendi benar ke sana karenanya, bukan karena ingin menemui sang pemilik rumah.

Hanya itu.

Karena sekarang, Acha merasakan yang namanya kesepian.

Dan, Gelap.

°°°°°
8

'09'18

Aftertaste (Hiatus?)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang