Rasa 32

47 0 0
                                    

"Senyum itu memudar. Menjauh dari pandangan mata. Dia menangis, mengatakanku jahat, kenapa terlambat ketika mengungkapkan."

/Permainan takdir/

Tuhan tolong Agas, jangan nambahin dosa Agas dengan nangisin anak orang. Sumpah, bukan Agas yang nangisin.

"Maaf, tadi gue langsung nyamber kunci, ga sempet liat kalo ternyata kunci motor."

Gita hanya mengangguk diam. Ga kaya Acha yang emang pendiam, diamnya Gita itu beda, jadi bikin Bagas was was kalo dia salah. Dan seharusnya Bagas cukup pintar membedakan bahwa mereka memang tak sama, kedua gadis itu memiliki sifat masing-masing.

"Tolong batalin."

Bagai tersambar petir, perut Bagas terasa melilit. Hening yang sangat panjang tadi, ternyata dibuat berfikir oleh Gita. Bagas tidak, oh jangan ditanya. Bagas tidak akan sakit hati, tapi, kenapa harus begini? Di keadaan seperti ini. Meski Bagas sadar, Gita habis menangis.

Dan Gita berharap, Bagas tak akan menanyakan mengapa. Tapi, di sisi lain dirinya ingin Bagas marah akan apa yang Gita lontarkan.

"Oke."

Gita tersenyum miris mendengar itu.

"Tapi gue ga tau caranya," ujar Bagas, tangan lelaki itu membuka jaketnya dan menaruhnya di pundak Gita, berharap perempuan bisa sedikit lebih hangat juga tenang.

Tapi Gita malah sebaliknya, kenapa harus perilaku manis yang ia dapatkan? Kenapa tidak kemarahan, yang bahkan membuat Gita sakit hati dan bisa melupakan Bagas.

"Gue ikutin mau lo, tapi dengan satu syarat. Jawab pertanyaan gue." Wajah Bagas berubah serius, tatapan lurus menatap wajah Gita yang masih memilih berpaling. Gita tak berani untuk itu. "Git,"

"Iya, gue jawab."

Bagas mengangguk. "Apa gue gagal?"

Engga. Bagas tak pernah gagal. Yang lelaki itu lakukan telah lebih dari spesial. Bagas selalu menelponnya setiap malam, menanyakan kegiatan hariannya selain homeschooling. Bagas selalu membuatnya tertawa meski Gita tau ada yang berbeda dari nadanya akhir-akhir ini.

Karena Gita sadar, Bagas spesial.

Lelaki itu masih di sana, tepatnya di sisinya. Melihat Gita membuat dadanya menghangat.

"Gue ga mau nyakitin Acha."

Bagas melupakan fakta bahwa, Acha saudara Gita.

"Lo mungkin bisa kabur, ngelupain. Tapi waktu Acha tau yang sebenarnya, gue gatau apa yang akan dia rasain."

Tapi Bagas tak mau melepaskan Gita, ia sudah berjanji pada papa dan Mamanya. "Acha yang nyuruh gue menjauh."

Gita menoleh, tersentak.

"Gue pengen nonjok Rendi yang ngelakuin itu ke Acha."

Gita mengerutkan dahi. Tapi Bagas tak peduli. Lelaki itu malah menyenderkan kepalanya pada pundak Gita yang terbalut jaketnya, mencari kenyamanan di sana. Cukup. Bagas telah lelah akhir-akhir ini. Bagas ingin mencari kesenangannya sendiri.

Gita menghela nafas pelan, tak membuat Bagas mendengarnya. Gerakan itu cukup membuat Gita gugup setengah mati. Dan Bagas tak peduli.

Apa sekarang?

Apa peringatan bahwa Gita tidak akan menjadi siapa-siapa telah terhapus?

°°°


Pensi di adakan hari senin. Kali ini pensi yang diadakan sekolah tidak dibuka untuk umum. Mereka hanya memperbolehkan para murid untuk ikut. Ataupun para alumni yang terpilih menjadi guest star. Memang, pensi di sekolah hanya sebagian kecil yang dibuat oleh sekolah untuk kelulusan kelas 12 dan untuk para adik kelas yang ingin melihat pertunjukan dari para pengisi acara. Sisanya, mereka (anak kelas 12) akan mengikuti graduation di Banten, pekan depan.

Pagi sekali, sekitar pukul lima, pada anggota OSIS telah berkumpul di aula. Mempersiapkan barang-barang yang belum sempat selesai kemarin.

Banyak yang mengeluh, tapi banyak juga yang takut untuk mengadu. Secara, sifat Garen akhir-akhir ini menakutkan.

Sampai matahari beranjak naik, mereka baru selesai merapihkan bangku-bangku. Banyak poster-poster yang tertempel di sekitaran sekolah. Meski hanya lapangan upacara yang digunakan, mereka tetap mendekor koridor dan pagar depan agar lebih berkesan.

Semua panik.

Rata-rata berteriak saking paniknya. "Mampus, mampus. Bentar lagi jam delapan."

"Eh, eh. Suruh pada dateng pengisi acaranya. Kita cek mic setengah jam."

"Yaudah, suruh, gih."

"Lo yang disuruh sama kak Garen."

Keadaan rusuh untuk sejenak. Sampai akhirnya Garen datang. Rambutnya masih acak-acakan. Tak ada yang tau habis ngapain lelaki itu. Dan tak ada yang berani bertanya.

Garen mendekat ke arah Maura yang terlihat kelimpungan. Terlihat mencari sesuatu. "Kenapa?"

Maura terlonjak di tempatnya. Berlebihan. Mimik wajahnya gugup setengah mati untuk pertama kalinya di depan Garen. Masalahnya, ia tak punya salinan itu. "A.. anu,"

"Apa?" Tanya Garen sedikit keras. Membuat yang lain menoleh kaget, termasuk Maura sendiri.

"Susunan acara. Gue lupa taruh di mana."

Alis Garen terangkat satu, menatap Maura yang masih terlihat gugup. Lucu, andai saja mood Garen tidak buruk. Lelaki itu geleng-geleng kepala, sebelum pergi dari sana.

Lah, mampus. Sekarang Maura makin bingung.

°°°

"Saya tau kemarin kamu di sana. Kenapa ga bilang orang itu kamu? Dan malah ga ikut jiar?" Bu Rahma menatap muridnya tegas. Raut wajahnya terlihat lelah.

"Apa ada yang ngadu ke ibu?"

Bu Rahma menggelengkan kepalanya. "Tidak ada. Tapi saya tau, dari raut wajah mereka bahwa mereka kecewa."

Orang itu tersenyum miring.

"Jangan membuat reputasi saya buruk."

Sebenarnya buku itu tidak terlalu penting. Hanya ada sebuah foto dengan catatan kerja yang terlihat usang. Tapi yang membuatnya menarik, foto itu. Foto di mana sang kepala sekolah bersama Bu Rahma. Memiliki hubungan spesial lebih dari partner kerja.

Mungkin jika itu semua bocor, mereka akan menganggap Bu Rahma mendapat jabatan itu karena sang kepala sekolah yang jarang sekali berada di sekolah.

Menarik, bukan?

"Beritahu saja pada murid anda, bahwa saya akan berada di atas panggung itu di penampilan terakhir," ujar sosok itu. Mulai berdiri, menyalimi Bu Rahma sebelum pergi dari sana. "Saya akan meninggalkan kesan yang sangat menarik di sana."

°°°

18'8'19

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 30, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Aftertaste (Hiatus?)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang