Rasa 5

404 14 2
                                    

"Jika alasan kamu berubah adalah waktu, maka ku mohon, tarik kembali waktu itu."

(Alasan)

Kini, hanya cahaya lampu dari rumah tetangga yang masuk ke celah jendela kamarnya. Sepenuhnya, kamar itu gelap. Tak ada suara, dan tak ada yang orang itu akan lakukan.

Perempuan itu memejamkan mata.

Tamparan keras mengenai pipinya. Tanpa bergerak seincipun, Acha masih di sana, memegangi pipinya sebelum menatap orang yang menamparnya.

"Kenapa sih, lo selalu nyakitin Bagas?"

Semua orang yang berlalu lalang di koridor berhenti hanya untuk menyaksikan kejadian itu. Seketika juga, tak ada siapapun berani berbicara.

Acha menghela nafas, pipinya terasa panas. "Nyakitin?" Tanyanya ulang, senyum sinis merekah di wajahnya. "Gue?"

"Gausah berlagak bego," ujar Maura, benda di tangannya terlempar tepat ke wajah perempuan di depannya. "Kalo lo bilang dari dulu ga suka Bagas, mungkin dia ga akan terus ngarepin lo. Asal lo tau, hati orang juga perlu perawatan. Kalo lama-lama didiemin, hatinya juga bakalan busuk. Kaya lo."

Kemudian, perempuan itu pergi. Meninggalkan Acha yang hanya diam, dengan semua pertanyaan yang menyangkut di otak masing-masing murid yang melihat kejadian itu. Masalahnya, Acha tak melawan.

Iya, kenapa Acha tak melawan?

Perempuan itu membuka matanya, membuat bayangan itu memudar dalam angin. Pikirannya seakan melayang dalam gelapnya kamar, kejadian yang membawanya bertemu dengan kedua orang itu, tapi, Acha lupa. Entah Acha yang berusaha melupakannya, atau ia memang tak bisa mengingatnya.

Tangan perempuan itu bergerak mengambil kertas beserta pulpennya di atas nakas. Sambil sesekali melihat foto-foto yang dilemparkan Maura padanya. Acha tertelungkup di atas kasur, dengan bantal sebagai bawahannya.

Fana,

Fatamorgana dunia dan alam.

Perempuan itu menghentikan acara nulisnya. Tanpa sengaja, pulpennya terlepas dan rasa sakit merambat ke dadanya. Nafasnya tercekat. Ia ingin berteriak, memanggil siapapun sebelum akhirnya matanya tertutup dengan bayangan putih menghampirinya.

°°°

"Mama akan bicara sama kepala sekolah besok," ucap perempuan separuh baya yang kini menatap putranya galak.

"Mah," Bagas jengah. "Agas cuma luka bakar doang, bukan percobaan pembunuhan. Lagian luka bakarnya dikit doang, kok."

Geni, Mama Bagas berdecak. Menatap anaknya itu dengan pandangan yang sulit diartikan oleh para anak, tapi bukan berarti Bagas tak mengerti. Bagas ngerti kok, sampe puyeng nih baca pikiran emaknya sendiri.

"Mama udah denger ya, dari temen-temen kamu, kalo kamu itu ngelindungin orang." Geni duduk di ranjang anaknya. "Terus sekarang mana anaknya?"

Bagas jadi inget Acha. Gimana kabar perempuan itu? Yang Bagas ingat, sebelum dirinya menutup mata, gadis itu menatapnya aneh dengan wajah pucat yang tak pernah Bagas liat sebelumnya. "Dia gapapa, dan mudah-mudahan emang ga kenapa-napa."

Geni mengerutkan keningnya, tak mengerti dengan gumaman anaknya itu. "Mama ga nanya kabar dia gas."

"Aku lagi doa mah," balas Bagas.

Bagas dapat melihat sebelum Mamanya pergi ada decakan keluar dari mulutnya. Tapi ketika Mamanya sampai di pintu kamar, Bagas mendengar wanita itu terpekik kaget. "Masuk aja dulu, tante mau beli sesuatu."

"Loh, Acha?"

Tapi, yang Bagas terima hanya tatapan datar dan senyum sangat-sangat tipis. Hingga Bagas tak yakin itu sebuah senyuman. "Ngapain kesini?"

"Acha bilang terima kasih."

Bagas mengernyit. "Ca, ngomong apaan sih, lo?"

"Acha ga bisa jengukin kamu, mungkin nanti."

"Bercandaan lo ga lucu anjir, Ca."

Perempuan itu mendekat, yang Bagas percayai dengan nama Acha, tapi dia selalu membicarakan Acha. "Inget. Dunia ini, bukan berputar di sekeliling kamu aja. Sewaktu-waktu, andai perasaan kamu semakin dalam sama dia, bukan kamu yang sakit, tapi dia."

°°°

"Ada beberapa cara untuk mengetahui x,y maupun z, dan saya akan menggunakan cara subtitusi..."

Tangan perempuan yang duduk berhadapan dengan dua orang teman se-lesnya terhenti. Pikirannya kosong, dan ia malas berfikir. Ulangan semester tinggal beberapa bulan lagi, dan Maura hanya ingin membahagiakan papanya dengan dirinya mendapat juara satu pararel.

Tapi, sekarang Maura tak dapat berfikir. Mau bagaimana pun, ia harus di sini, daripada pulang ke rumah dengan pemandangan yang tak mengenakkan.

Lo ga akan merasa terbuang, kalo lo sendiri ga mau ikut berbaur.

Maura membaca ulang tulisannya sendiri, kemudian menghela nafas. Itu perkataan seseorang dua tahun yang lalu. Di mana tak ada namanya kerumitan di dunia persahabatan dan kehancuran di dunia keluarganya. Memikirkannya membuat tangan perempuan itu bergerak ke pelipisnya, memijit perlahan daerah itu.

"Maura!"

Perempuan itu mendongak.

"Kerjakan tugas 2 halaman 45 sekarang di depan!"

Maura menghela nafas kembali, Guru di depannya juga melakukan hal yang sama. Tak biasanya Maura akan menyelewengkan lesnya, karena ia tau tujuan muridnya itu belajar apa.

Sekitar tiga murid yang memang les nya bersama dengan Maura menoleh aneh ke arah perempuan itu.

"Saya permisi," ujar Maura sebelum membereskan buku catatan dan pulpennya ke dalam tas dan pergi dari kelas tersebut.

Bukannya Maura tak ingin belajar. Bukannya Maura ingin membantah papanya. Tapi, Maura lelah, ia butuh istirahat. Dan dengan satu cara, Maura dapat merasa bebas.

°°°°

28'10'16

Aftertaste (Hiatus?)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang