Rasa 8

321 10 0
                                    

Hai! Jika kamu melihatnya sekarang. Bisa kamu ke sana, berdoa dan membiarkan ingatan itu tehapus?

(Surat)

Bagas masih senyum-senyum ga jelas waktu mereka memasuki salon. Acha sempat berontak, saat mba-mba salon tersebut menarik tangannya. Lelaki itu sempat bingung sendiri harus ngomong gimana, sampai-sampai hidung, dahi, dan kepalanya ia garuk bergantian dengan tatapan menuntut Acha sebagai pedoman.

"Gue janji, nurutin apa aja permintaan lo."

Otomatis, Acha diam. Hatinya memilih untuk membantah perkataan Bagas, tapi badannya malah diam di sana, seperti menurut. Iris bulatnya menatap mata hitam di depannya. Acha tak bisa membaca pikiran, apalagi mata, tapi Acha hanya mencoba, apa yang direncanakan oleh lelaki itu. Pake segala ganti mobil dulu lagi tadi.

"Mari mba," ajak mba salonnya sambil menarik tangan Acha mengikutinya ke dalam.

Bagas menghembuskan nafas lega. Badannya bersender di kepala sofa, duduk di sana sembari mengamati dekor ruang tunggu yang ia tempati sekarang. Masih memegangi pipi kanannya sambil menutup mata, mencoba mengingat kejadian beberapa menit yang lalu. Seharusnya Bagas tidak menutup mata tadi, biar bisa ngeliat ekspresi Acha waktu dia mendekatkan wajahnya. Tenggorokkan Bagas terasa kering mengingatnya. Ponselnya yang terletak di atas meja bergetar, lelaki itu mengangkatnya setelah sebelumnya meneguk saliva, "Halo ma?"

"Iya, mama sama papa duluan aja. Agas kayanya langsung kesana aja, ini mau mampir ke rumah temen dulu."

"Cepet ya, acaranya jam setengah tujuh loh. Dari tempat kamu kan jauh, macet pula." Bagas menjauhkan benda itu dari telinganya. Berkerut dahi, sebelum kembali menempelkannya di telinga.

"Iya, Bagas usahain." Lagian, Bagas juga ga mau lama-lama di tempat ini. Kalo bukan karena menunggu sang puteri yang dimintainya tolong.

°°°

"Jam berapa Acha pergi?"

Perempuan yang sedang ditanya itu terdiam. Menoleh malas pada teman sekelasnya yang kini benar-benar membuatnya stres.

"Jawab apa bung!"

Yang dipanggil Bunga itu tersentak di tempatnya. Menggertakkan giginya kesal sambil melotot. "Lo ngeledek gua apa gimana, si? Tau sendiri memori otak gua cuma lima belas MB."

Rendi menepuk jidatnya. Ikut berkacak pinggang sambil mondar-mandir, di koridor kelasnya. "Pergi sama siapa dia?"

Bunga diam sebentar. Mungkin sadar akan keheningan yang ga biasa itu bagi seorang Bunga, Rendi menoleh mendapati perempuan itu menunduk. "Sama siapa dia?" Ditanya sekali lagi gitu, Bunga mendongak. Matanya melirik kemanapun, asal bukan mata lelaki di depannya.

"Jangan bilang," Rahang Rendi mengeras, kedua tangannya terkepal, dan Bunga menyadari itu.

Bagas.

Seseorang mengintip percakapan itu dari balik tembok. Memegang erat ponselnya sambil sesekali menunduk, menelan ludahnya sendiri karena tiba-tiba sesak melandanya. Tangannya bergerak, mengetik sesuatu pada layar ponselnya.

Maura V. : Aku mau ngomong besok

°°°

Entah berapa lama, mereka masih terdiam di tengah udara senja yang menyapu ibukota. Yang perempuan menatap langit oranye dari balik jendela mobil, masih diam di sana, hingga fikirannya melayang pada memori yang tak sempat ia ingat.

Dia di sana, menatap gedung tinggi dengan senyum selebar giginya. Tak berselang lama, sebuah benda menghantamnya. Menghancurkan ingatan itu dan membawanya kembali ke realita.

Aftertaste (Hiatus?)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang