Rasa 18

133 4 0
                                    

Cuaca terlihat bersahabat, tidak panas dan tidak terlalu dingin. Itu semua dimanfaatkan Bagas untuk pulang, sebelum dengan tiba-tiba suara ponselnya berbunyi.

Maura calling

"Halo?"

"Gas, bisa bantu gue ga?"

"Apa?" Lelaki itu naik pada motornya, duduk di sana.

Terdengar hembusan berat di sana. "Malem ini rencananya gue mau ada rapat OSIS sama Garen, lo bisa anter, ga?"

"Kenapa ga bareng Garen?"

"Lo mercayain gue sama si kunyuk satu itu?"

Bagas diam sebentar. Berpikir.

Gita.

"Oke, malem ini. Jam berapa?"

"Serius?" Nada senang bisa didengar Bagas.

"Iya."

"Jam 7. Gue tunggu ya, Gas. Daah!"

Tut.

Bagas memasukkan kembali ponselnya pada saku celana. Mulai memundurkan motornya dan pergi dari kawasan tempat parkir. Tak sengaja melewati Acha yang baru saja keluar dari koridor depan.

°°°

Gue ga mau tau, jam set 7 gue tunggu lo di kafetaria. Dan kalo lo ga dateng, gue bilangin ke nyokap bokap lo tentang rencana jahat lo itu.

Haha;(

Gita berdecak. Menaruh sembarang ponselnya pada sofa, mencoba menetralisir jantungnya yang tiba-tiba berdetak kencang. Gita benci perasaan ini. Gita benci hanya menjadi bualan Bagas.

"Kasih gue waktu 10 hari buat bikin lo suka sama gue. Dan waktu 10 hari juga, buat bikin gue tertarik sama lo."

"Dia gila, ya?"

Hembusan nafas terdengar. "Gue harus ngelakuin apa anjir buat bikin dia suka?"

Gita kembali berdecak, bersender pada kursi sambil menutup matanya. Kepalanya tiba-tiba berdenyut.

°°°

"Thanks ya, Gas."

Bagas mengangguk, menerima helm dari Maura yang masih setia berdiri di sana. "Tapi gue ga bisa ikut masuk," katanya.

"Kenapa?" Spontan Maura bertanya. Matanya membulat, kaget.

"Ada urusan. Gue pergi, ya."

"Gas, tapi—" Maura menggantungkan kalimatnya saat Bagas tersenyum pamit, sebelum menghilang dari pandangannya.

Ternyata sesakit itu. Ia menunduk, menatap kedua kakinya yang terlapisi sepatu kets putih. Sampai sebuah tangan merangkul pundaknya dari belakang, "Namanya juga cowok, banyak alasan buat pergi."

Maura menoleh, mendapati wajah yang tak ingin dilihatnya semenjak satu tahun lalu. Tangannya bergerak mengambil tangan lelaki itu yang berada di pundaknya, memutarnya ke belakang hingga terdengar suara ringisan. "Jangan sentuh gue!"

"Iyaiyaa. Woy, sakit!"

Tangan itu terlepas. Garen mengusapnya. Sakit. Matanya melirik perempuan di sampingnya dalam diam.

"Gara-gara lo juga malem Minggu berharga gue jadi terbuang sia-sia." Maura melirik sinis.

"Nggak sia-sia juga, kok." Garen tersenyum, menyerahkan data-data berkas pendaftaran. "Nih,"

Maura mengambilnya, membacanya sekilas dan sudah tau inti dari berkas tersebut. Wajah datarnya menyapu setiap lembaran halaman sambil diliatin Garen. Mereka berdua belum mau masuk pelataran cafe, dan masih bersedia di luar.

Sampai akhirnya,

"Aus," kaki perempuan itu naik tangga, masuk ke dalam cafe tersebut, diikuti Garen di belakangnya.

°°°

"Sorry sorry, gue telat, ya?"

Kegusaran itu perlahan menghilang. Seorang lelaki  duduk pada bangku di depannya, menyerobot begitu saja minumnya.

"Pertanyaan lo ga berfaedah banget."

"Ya, sorry."

"Berisik!"

"Dih," wajah lelaki di depannya mendekat, melihat lebih jelas kejengkelan di mata Gita. "Beneran ngambek, lo?"

"Ck," Gita menjauhkan wajah lelaki itu, "Yang nyuruh gue dateng  jam segini siapa? Yang nyuruh gue ga telat siapa? Ih, ngeselin ya lo! Sumpah, gue marah aja dikiranya ngambek. Dasar bego."

Bagas mangap. Tak menyangka kesalahannya itu bisa membuat perempuan di depannya itu berkali-kali lipat marah. Apa benar Gita marah hanya dengan kesalahan Bagas yang telat? Bukan karena alasan lain, kan?

"Yaudah, iya. Sekarang gue harus apa?"

Gita menghela nafas, "Ngomong."

"Lah, ini ngomong."

"Serius!"

"O-oke." Kenapa Bagas jadi gugup? "Soal pernyataan gue siang tadi, gue serius."

Hening.

Keduanya seperti kehabisan sisa obrolan, tak ada bahan untuk di bisacarakan lagi, padahal keduanya memikirkan hal-hal yang berpengaruh besar terhadap hubungan mereka.

"Udah?"

Hingga suara itu mengagetkan keduanya. Padahal salah tau dari mereka yang berbicara.

Pertama, Gita ga suka keheningan.

Kedua, Gita ga bisa sedingin Acha.

Ketiga, Gita gugup.

"Iya."

Gimana gue bisa percaya, bodoh? Lo aja sekarang lagi deketin saudara gue, batin si perempuan.

"Gue akan berusaha suka sama lo, kasih gue waktu 10 hari," kata Bagas, tangannya tanpa sadar merambat menyentuh kedua tangan Gita yang kebetulan ada di atas meja. Mengusapnya perlahan.

Hangat menjalar di sekujur tubuh Gita. Gadis itu membeku, berusaha sekuat tenaga untuk tidak terbawa suasana, tapi bodoh, dia memang gadis yang bodoh. Dia malah menangis. Membuat Bagas panik seketika.

Sebelum Bagas hendak berdiri dari duduknya, sebuah magnet seakan menarik pandangannya dari Gita. Keduanya menoleh pada sumber energi dari arah pintu.

Sosok itu di sana.

Tautan itu terlepas.

Badan Gita tak sehangat tadi.

‌°°°

06'06'17

Aftertaste (Hiatus?)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang