Rasa 17

157 6 0
                                    

I shout, I swear, I get angry, I get scared - At my best, Machine Gun ft Hailee Steinfeld

°°°°°

Rendi berjalan gusar di sekitar koridor.

Koridor telah sepi, hanya beberapa murid di sana yang sedang menongkrong atau bahkan melihat mading.

"Lo liat Acha?"

Murid yang ditanya seperti itu menggeleng lalu pergi begitu saja.

Lelaki itu berdecak. Sepanjang perjalanannya tadi mencari Acha, tak ada yang melihat keberadaan perempuan itu sama sekali. Padahal Rendi yakin, Acha tidak mungkin marah hanya karena hal sepele hingga menghilang seperti ini.

Jalannya yang tak berarah membuat dirinya kini hampir dekat dengan kelasnya. Bersamaan dengan kedua perempuan yang juga ingin memasuki kelasnya. Rendi berhenti, bertanya pada salah satu murid kelas lain yang menongkrong di depan kelas, "Liat Acha?"

"Acha?" tanya kembali perempuan satunya. Dia saling bertatap dengan temannya yang masih diam, bingung. "Tadi gue liat Garen gendong perempuan. Tapi gue juga agak ga yakin itu Acha, si."

Mata Rendi membulat, "Kemana?"

"Koridor barat, kayaknya UKS."

Kedua perempuan yang tadi ingin memasuki kelas IPA 2 berhenti sejenak. Oh, bukan. Bukan keduanya. Hanya satu orang, yang dapat membuat teman di sampingnya ikut berhenti. Perempuan itu menatap lelaki yang kini terlihat gusar.

Hingga akhirnya tatapan itu mengarah padanya. Rendi menatapnya, kaget. Sejenak terdiam, lalu pergi begitu saja bersamaan dengan Maura yang kembali melangkahkan kakinya memasuki kelas lelaki tersebut.

°°°

Bagas tersentak di tidurnya. Dia baru saja bermimpi tersandung batu yang tiba-tiba muncul begitu saja.

Gerakannya tersebut tak membuat suara bisik di balik gorden pembatas tempat tidur ini berhenti. Bagas malah bangun dan terduduk di sana, mencoba memasang kupingnya baik-baik.

"Kenapa dia di sini?"

"Dia pingsan. Makanya gua bawa ke sini."

Oh, dua orang.

"Lo pikir gue percaya Acha tiba-tiba pingsan?"

"Acha?" Bagas berbisik. Tangannya meraih gorden yang membatasi kasur yang dipakainya, dan kasur yang dipakai di sampingnya. Darahnya berdesir kala melihat wajah damai itu di sana.

Terdengar decakan. "Terserah lo. Gue juga ga yakin kalo gue ngomong sampai muncrat lo bakalan percaya."

Tangan Rendi meraih kerah belakang Garen yang baru ingin pergi. Tapi dengan cepat pula, Garen meraih tangan Rendi yang mencengkram kerahnya tersebut. "Kalo lo se-over ini buat tau tentang dia, setidaknya lo bisa jaga dia dengan baik, bukan ninggalin, kan?" Setelahnya, Garen melepaskan tangan lelaki itu pada kerahnya.

Pergi begitu saja.

Rendi terdiam.

Tak terdengar apapun, Bagas jadi was-was. Lelaki itu memilih kembali menutup gorden pembatas, dan pura-pura tidur.

Rendi membuka gorden yang menutupi kasur dimana Acha tidur. Lelaki itu berdiri di sana, mendekat beberapa langkah sebelum membelai lembut rambut kecoklatan milik Acha. Menghapus setiap keringat yang singgah di dahi perempuan itu.

"Dan karena siapa selama ini gue ngejar Maura, Cha?"

Lirih suara tersebut membuat Bagas membuka matanya. Melihat ekspresi wajah Rendi yang kini tak dapat terbaca dari sedikit celah gorden yang terbuka.

Dengan sekali helaan nafas, Rendi kembali pergi setelah sebelumnya menyempatkan menutup kembali gorden.

Tangan Bagas kembali membuka gorden di sampingnya. Hanya sedikit. Kembali menatap wajah damai itu. Hingga dentingan pesan dari Gmail membuatnya membuka aplikasi tersebut.

From : Ragitanes@gmail.com

Gue ga punya nomor lo, dan ga peduli juga. Gue cuma mau serius.

Batalin pertunangannya.

Mata Bagas melotot. Buru-buru tangannya men-scrool kontak di ponselnya, dan memencet tombol hijau ketika telah mendapatkan nomor yang ia ingin.

"Ha-"

"Lo di mana?"

"Oh, lo? Udah masuk emailnya? Cepet juga."

"Kita omongin ini besok atau nanti siang."

"Ga bisa. Sibuk gue." Suara di sana terdengar berat. "Udah jelas kan yang gue maksud? Dari pada gue bilangnya terlambat nanti malu-maluin nama keluarga."

Bagas bangun, terduduk di kasur. "Dari awal emang kita ga saling kenal, tapi apapun alasan lo, kita omongin lagi ini nanti."

"Ga usah-"

"Kasih gue waktu dua minggu, buat bikin lo suka sama gue. Dan waktu dua minggu juga, buat bikin gue tertarik sama lo."

Membuat akhirnya mata bulat itu terbuka, melirik sejenak pada gorden di depannya sebelum akhirnya menutup kembali matanya.

Bagas menutup teleponnya. Kembali berbaring menghadap Acha, membiarkan wajah damai itu menjadi pemandangan hingga akhirnya ia kembali tertidur.

°°°°°

"Siapa sih gila yang masang ginian?"

Koridor seketika terasa hening.

"Gue tanya, siapa yang masang?"

Suara Maura menggelegar di sekitarnya. Para murid yang berada di sana hanya dapat diam. Tak ingin mengeluarkan suara, meskipun perempuan di depan mading itu membutuhkan jawaban.

Maura baru melihat foto-foto dirinya dan Rendi terpajang di mading. Dan ia baru mengetahui hal itu setelah pulang sekolah.

Bagaimana tidak kesal.

Ia bahkan tidak menyadari candaan dari murid-murid lain, ketika dirinya menyampaikan informasi serta mencatat nama yang ikut tampil pens ke masing-masing kelas.

Merasa memang tak akan ada yang menjawab, tangan perempuan itu langsung mencopot semua foto yang ada di sana. Bayangan tentang lelaki yang bersama dirinya di dalam foto itu membuat hidungnya terasa menyelekit. Rasanya aneh. Maura seperti ingin menangis. Tapi tidak mungkin.

Lelaki itu yang berlalu tanpa menyapanya. Tak memedulikan Maura yang masuk ke dalam kelasnya.

Sial.

Maura memikirkan.

Harusnya tidak boleh

Tidak boleh seperti ini.

°°°

06'06'17

Aftertaste (Hiatus?)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang