Rasa 4

417 14 0
                                    

I don't want another way to feel you next to me, -The way, Ariana Grande ft Mac Miller

°°°°°

"Pindah?"

Lelaki dengan kedua tangan memegang bunga putih itu terdiam setelah mulutnya mengeluarkan pertanyaan. Wajahnya tak dapat ditebak. Dan fikirannya seakan berhenti pada satu titik, kosong.

"Iya mas," balas perempuan separuh baya itu sambil menatap rumah asri dengan gaya minimalis di hadapannya. "Yang saya tau, gara-gara anaknya kecelakaan, mereka langsung mutusin buat pamit sama beberapa tetangga, trus besoknya langsung pindah."

Kini, bagai tersambar petir, ada semburat rasa khawatir di dadanya. "Ke-kecelakaan?"

°°°°

"Acha!"

Perempuan dengan rambut sebahu menerobos hujan dengan beberapa murid lain. Mendengar namanya dipanggil, Acha, dan beberapa murid yang sedang berteduh dengan kekepoan yang maksimal menoleh ke arah Bunga. "Anjir, basah."

"Kalo anjir, kotor. Berarti yang turun pasir, bukan air."

Bunga berdecak ke arah Rendi yang duduk di depan temannya. "Kalo anjir, laper. Berarti yang laper bukan perut, tapi hati karna pengen makan temen."

Kali ini, semua murid menoleh aneh ke arah Bunga. "Liat apa, lo!" Dan langsung mengalihkan kembali perhatiannya.

"Kalo anjir, sakit. Berarti yang sakit bukan badan, tapi hati, karna ngeliat doi gandengan sama cewek lain."

"Nah!" Seru Bunga. Gadis itu segera duduk di samping Rendi yang terlihat kaget akan pergerakan tiba-tibanya. Tapi Bunga tak peduli, langsung menatap antusias perempuan di depannya. "Siapa nama lo? Kita bisa langsung temenan, tanpa melewati jalur bully-bully-an."

Nah, cocok tuh Bunga sama Gita. Sama-sama garing, sama-sama receh.

Gita tertawa, "Panggil aja Sayang."

Melihat reaksi gadis di depannya yang mengernyit, Gita buru-buru menambahkan. "Oh, sayang ku kau begitu... sempurna."

"Oh!" Bunga kembali berseru. "Gita!"

Dan kadang, mereka pintar.

Acha hanya bisa tersenyum tipis, sedangkan Rendi tertawa sambil menggelengkan kepala akan hal itu. Sepertinya, cuma Acha yang tak punya selera humor di sana.

Hujan yang tak kunjung mereda itu membuat keadaan kantin semakin sesak. Beberapa orang sampai harus berdiri sambil minum, menunggu hujan sampai benar-benar mereda. Beda dengan kelakuan Bunga yang malah nekat ke kantin yang sedang sesak ini, padahal dia bawa bekal.

Enam detik tadi, Acha langsung menemukan tetes air mengenai wajahnya. Disusul dengan beberapa pekikan yang menandakan hujan deras turun. Acha meyakinkan diri, bahwa itu kebetulan.

Hanya kebetulan.

Sambil memejamkan mata, Acha mendengar celotehan kedua perempuan yang kini langsung akrab, dengan sesekali tindakan Rendi yang hanya menyaut sekenanya. Sampai, sebuah suara pekikan dari depannya membuat ia membuka mata.

"Lo jalan pake mata!"

Acha melihat perempuan berperawakan kurus membungkuk, mencoba mengambil sisa beberapa makanan yang jatuh ke lantai sebelum menaruhnya kembali ke dalam box makanannya. "Maaf, gue ga sengaja."

"Liat baju gue, kotor karna lo!"

Suara itu mendominasi kantin, membuat ketiga orang yang duduk di dekat Acha kini menoleh ke arah yang sama.

"Sorry, gue kan udah bilang," sahut perempuan itu. Kepalanya menengadah sampai benar-benar bertemu pandang dengan lelaki itu.

"Lo pikir, baju gue langsung balik bersih gitu, gara-gara permintaan maaf lo?"

Tangan lelaki itu mendorong pundak perempuan di depannya yang masih membawa nampan. Tak ada yang menghentikannya. Atau, tak ada yang berani. Ketiga orang di dekatnya juga tumben diam. Acha melihat Rendi yang tak sengaja bertemu tatap dengannya, tapi yang membuatnya kecewa, lelaki itu menggeleng.

Astaga, kenapa dengan orang-orang?

"Ha? Dasar jalang!" Tangan lelaki itu melayang, hendak menampar perempuan di depannya, tapi tertahan oleh tangan lain.

"Dia udah minta maaf."

Lelaki itu melepaskan cengkraman erat Acha pada tangannya. "Cewek baik-baik ga usah ikut campur." Tangannya mendorong pundak perempuan itu menjauh.

Acha menahan emosinya yang hampir meledak. "Lo berengsek."

Lelaki itu kembali menatap Acha, kemudian mulai mencari seseorang di dalam kantin ini. Ketemu. Rendi melihatnya. Senyum miring tercetak di wajahnya ketika melihat Rendi menatapnya datar, malah terbilang cukup pengecut hanya karena takut pada perempuan.

"Lo fikiran kenapa mereka ga nolongin?" Tanya lelaki itu, dengan gesit langsung mendekatkan wajahnya ke arah Acha yang terlihat kaget. Senyum miring masih tercetak di wajahnya ketika mendengar seruan tak percaya, serta bisik-bisik yang mulai terdengar seantero kantin.

Acha membulatkan matanya, tanpa sadar tangannya terangkat dan menampar pipi lelaki itu.

Lelaki itu tersentak, hendak melayangkan tamparan pada wajah perempuan di depannya sebelum sebuah tangan menahannya kembali. "Sekarang, udah gede, ya. Mainannya cewek, berantemnya juga sama cewek, deh."

Acha menatap Bagas yang tengah beradu argumen dengan lelaki gila itu, tapi teralihkan sampai ia melihat Rendi tengah berdiri dan menatap ke arahnya dengan tatapan yang sulit di artikan. Satu tonjokan mendarat di pipi lelaki gila itu.

"Gue peringatin sama lo, hati-hati." Lelaki itu sempat tersenyum miring terhadap Acha dan perempuan di sampingnya sebelum pergi menembus hujan.

Bagas menoleh pada Acha yang sedang menyuruh perempuan berperawakan kurus itu untuk segera membuang makanannya. "Lo gapapa?"

Bahu perempuan itu naik, seakan pertanyaan tersebut adalah hal aneh. Tapi Bagas yang saat ini malah menatap Acha aneh, "Lo belum tau, ya?"

"Apa?"

Helaan nafas terdengar. "Cewek yang tadi-"

"Acha awas!"

Bagas melihat ke arah Bunga yang sedang berteriak sambil menoleh pada belakang Acha yang kini terdapat perempuan tadi. Dengan segera, lelaki itu berdiri di belakang Acha, di mana perempuan itu ikut berbalik membuat mereka berhadapan. Uap panas menyebar dari punggung Bagas yang terlindungi seragam sekolah.

Acha membuka mata, menemukan jarak wajah di antara mereka tidak lebih dari lima sentimeter. Sebelum tubuh Bagas benar-benar luruh, Acha melihat senyuman di wajahnya.

°°°°

16'10'16

Aftertaste (Hiatus?)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang