Rasa 24

19 0 0
                                    

"Ketemu di mana?" Bu Rahma mengangkat buku tersebut, bertanya pada sosok di depannya.

"Di ruang guru, Bu. Saya nemuin pas lagi bantu beres-beres Bu Lidya."

Bu Rahma mengangguk, mempersilahkan sosok itu untuk masuk ke ruangannya. Bertanya lebih pribadi. Wanita paruh baya itu duduk, sambil mempersilahkan orang itu agar ikut duduk di depannya. "Kamu mau apa?"

Sosok itu melirik sekilas pada buku berwarna tosca tersebut. Ternyata itu. Ternyata itu alasan Bu Rahma sampai mengumumkan bukunya hilang, dan memberi hadiah apapun pada si penemu. Siapapun yang akan menemukannya tentu akan membacanya -walaupun sekilas-, dan sosok di depannya itu telah membacanya. Maka dari itu dia tersenyum sangat manis.

"Saya ingin menunjukkan hal kecil ketika pensi nanti."

Bu Rahma menghela nafas, bersender pada kursi kerjanya. "Pensi diurus oleh anggota OSIS. Saya tidak ada wewenang untuk itu."

"Wakil kepala sekolah adalah salah satu jabatan yang termasuk tinggi. Siapapun akan mendengarkan Anda berbicara."

Raut wajah Bu Rahma terlihat lelah, "Baiklah, saya akan mencoba berbicara pada mereka."

Sosok itu mengangguk. Sebelum berdiri dan hendak pamit balik ke kelasnya.

"Hanya itu?"

Bu Rahma memerhatikan muridnya yang berbalik, menatapnya.

"Itu sudah lebih dari cukup."

°°°


"Kalian itu jangan polos-polos amat. Nanti celaka."

Semua diam, memerhatikan ketua OSIS berbicara dengan nada tenangnya. Bersender pada kursi sambil menaikkan kedua kakinya di atas meja. Berputar-putar seperti hanya dirinya yang di sana. Membuat Maura berdecak kesal.

"Maksudnya, kak?" Kali ini Gladis menaikkan satu tangannya, bermaksud bertanya.

Garen tersenyum. "Sayang, pertama kalinya dalam sejarah SMA Parada Utara, wakil kepala sekolah ikut berpartisipasi dalam acara pensi."

Pipi Gladis bersemu, merah merona. Gadis itu menunduk, bermaksud menyembunyikannya. Maura yang melihat itu terngaga, menyadari ternyata seenak jidat, Garen berujar manis.

"Ya, bagus lah. Permata kalinya, kan? Berarti bisa jadi jalan yang bagus karena Bu Rahma akhirnya peduli sama acara kita. Bukan cuma nyumbangin uang."

Rata-rata yang di sana mengangguk. Gladis bahkan ikutan.

Garen berhenti memutar kursinya. Menatap Maura yang masih saja mengerutkan dahi, jengkel. "Sayang,"

"Diem!"

Garen terkekeh geli. "Guru emang pengajar kita, yang harus kita sayang selain kedua orangtua kita sendiri. Tapi, tetep aja suudzon sama guru itu ga apa-apa," jeda sebentar. "Kalian mikir ga, si? Acara yang udah kita rencanakan dari awal, udah pemilihan guest star dan segala macemnya dengan beres, tiba-tiba berubah karena Bu Rahma mau masukin salah satu acara meriah di pertengahan atau di akhir pensi."

Kadang, Garen benernya setengah mampus.

Maka dari itu, mungkin itu alasan para murid memilihnya untuk jadi pemimpin. Walau terkadang sifat kurang ajar alaminya itu keluar dengan sengaja.

Valdo mengangkat tangannya, hendak berbicara.

"Bu Rahma cuma masukin satu acara doang, ga lebih. Ga bakalan berubah juga acaranya." Maura kokoh mempertahankan opininya.

Rata-rata yang melihat tingkah Valdo menahan tawanya. Melihat lelaki itu yang ternyata cemberut di bangkunya.

Garen memperlihatkan raut wajah jengkel untuk pertama kalinya pada Maura. Dan mungkin untuk para anggota OSIS. "Tapi apa Bu Rahma bilang siapa orang itu?"

Semua menggeleng.

Garen hendak menambahkan tapi terpotong ketika tiba-tiba Maura berdiri. "Ga! Gue setuju Bu Rahma masukin orang itu dalam acara. Mungkin aja itu kejutan, kan?" Maura menopang tubuhnya pada meja di depannya. Sedikit mencodongkan tubuhnya, berkata lebih serius. "Ini pertama kalinya, guys, Bu Rahma mau berpartisipasi. Jadi jangan tolak!"

Dengan kaget, mereka mengangguk. Membiarkan ucapan terakhir Maura menjadi penutup rapat kali itu.

Mereka membereskan alat-alatnya. Maura lebih dulu keluar tanpa sempat Garen tahan. Membuat lelaki itu berdecak. Maura tidak pernah mendengarkan perkataannya. Sekalipun. Membuat lagi-lagi Garen menghela nafas berat.

°°°
2

8'05'18

Aftertaste (Hiatus?)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang