Rasa 3

450 18 0
                                    

I wish that it could be like that,
Why can't it be like that?  -Secret Love Song, Little Mix ft Jason Derulo

°°°°°

Bising suara kelas yang mendominasi membuat Acha memilih mengangkat telpon di luar. "Lo, di mana?"

"Di parkiran, nih. Kelas lo di mana?"

"Gimana ya gue ngedeksripsiinya." perempuan itu menoleh ke kanan dan kirinya. "Gini deh, lo cari kantin. Nanti abis dari sana lo belok ke kanan trus ada tangga. Nah itu kelas yang tengah punya gue."

Terdengar suara tawa di seberang sana. "Berasa milik kelas lo."

Acha berdecak.

"Eh, iya. Jangan tutup dulu, nanti takutnya gue nya—aduh!"

Perempuan itu mengernyit, menarik ponselnya dari telinga dan melihat layar itu masih terpampang nama saudarinya.

Gita.

"Tanggung jawab dong!"

Acha diam sejenak, seakan membiarkan saudarinya itu meluapkan emosi entah pada siapa.

"Lo luka apa, sih? Patah tulang? Geger otak, apa ambeien? Minta ganti rugi, tapi lo-nya ga rugi, aneh."

Kayanya, suara itu Acha kenal deh.

Gita berdecak di seberang sana. "Tungguin gue di depan kantin, Ca. Males gue debat sama orang yang ga punya tata krama kaya gini."

Sebelum Acha sempat membantah, Gita lebih dulu mematikan panggilannya. Dengan langkah malas dan masih kebingungan akan apa yang terjadi oleh saudarinya itu, Acha berjalan menuju kantin.

"Sumpah, gue ga khawatir."

°°°°

Udara dingin menyerbu kulit lelaki yang sedang mencabut kunci motornya. Ia menyapukan pandangannya pada sekitaran parkiran yang sepi. Iyalah, KBM sedang berlangsung pasti. Langit terlihat mendung, dan rasanya ia malas kembali ke dalam kelas dan mengikuti pelajaran. Lagian, sebentar lagi bel istirahat berbunyi.

Lelaki itu kembali berjalan melewati beberapa motor yang sengaja dikunci stang, menghindari mara bahaya. Sampai pada kejadian memalukan, dagunya terbentur benda menyakitkan. Halus, tapi keras.

"Aduh!"

Perempuan di depannya meringis, mengusap dahinya yang memerah. "Sakit tau!"

Di kiranya lelaki itu ga sakit kali. Buktinya sekarang, tangannya bergerak menyentuh dagunya yang ikut memerah.

"Tanggung jawab dong!"

Ini cewek mulutnya ada toa, ya, di dalamnya? Ngomongnya kaya jarak mereka beda dunia aja. Tak tahan karena dia yang terus-terusan disalahin, lelaki itu menghela nafas. "Lo luka apa, sih? Patah tulang? Geger otak, apa ambeien? Minta ganti rugi, tapi lo-nya ga rugi, aneh."

Mulut perempuan itu terbuka, tak menyangka lelaki di hadapannya ternyata akan menjawab lebih pedas dari perkataannya. Decakan keluar dari mulutnya. Perempuan itu meletakkan kembali ponselnya ke telinga.

Oh, ternyata lagi telponan. Pantes bego.

"Tungguin gue di depan kantin, Ca. Males gue debat sama orang yang ga punya tata krama kaya gini." Tatapan perempuan itu menusuk, yang dibalas santai oleh orang di depannya.

Perempuan itu meletakkan ponselnya ke dalam tas kecil, sebelum pergi dari hadapan orang tersebut. Tapi, belum berjarak lima langkah dari tempatnya berdiri, sosok itu kembali melangkah ke arahnya, menoleh pada dada kanannya. Spontan, lelaki itu menutup kedua dadanya yang terbalut seragam dengan tangan menyilang. "Ngeliat apa, lo?"

"Oh, Bagas. Gue harap, ga akan ada orang macam lo lagi. Spesies langka."

Setelah itu, perempuan yang tak Bagas ketahui namanya tersebut pergi. "Abis nganter orang sakit, malah gue yang sakit ini mah."

Bentar,

Spesies langka? Dikira Bagas hewan apa, ya.

°°°°

"Makasih lo sama gue."

Sejak lima menit yang lalu, Acha diam mendengarkan saudarinya itu mengomel. Tangan Gita meraih minuman kaleng di depannya, sebelum menenggak itu hingga habis. Kalau tidak demi mengantar kiriman dari Kai untuk adiknya, dengan embel bahwa mereka akan baikan, Gita mana mau meninggalkan drama korea untuk ke sini. "Sumpah, kesel banget gue. Dia yang salah juga."

Semilir angin mengalihkan perhatian Acha dari saudarinya. Angin seakan sengaja menerpa wajahnya dan menghapus jejak keringat di sana. Ketika Acha mendongak, mendung terlihat pada langit. Kali ini, gadis itu menoleh sepenuhnya kepada Gita yang masih sibuk mengomel sambil memainkan jemarinya pada layar ponsel.

"Jidat gue ampe merah juga, ish."

"Git," Perempuan di depannya kini mendongak, menatap Acha. "Mendung ga, sih?"

Gita mengikuti perkataan tersirat Acha, ia mendongak sebelum melihat aneh saudarinya. Acha sudah bersiap bahwa dia akan mendengar hal yang lain dari perkiraannya, tapi salah. "Mata lo burem, apa? Iya, mendung."

Biasanya Acha akan marah, tapi mendengar ucapan terakhir gadis itu, ia bernafas lega.

"Tapi bener ya, Ca."

Acha mendongak, kembali melihat Gita. "Dia ganteng si, tapi, ya ngeselinnya itu loh."

Senyum tipis tertera di wajah Acha, membuatnya terlihat cantik dengan rambut yang berterbangan karena angin. Gita sampai terpana melihat itu dan tanpa sengaja menyentuh tombol tengah, Acha terfoto! Buru-buru perempuan itu menyentuh tombol back, sebelum meletakkan handphonenya kembali. "Sumpah, jangan senyum gitu. Dada gue berdebar."

Tawa kecil mendominasi obrolan mereka. Acha jarang sekali tersenyum, apalagi tertawa. Tapi kali ini, sore pukul empat lewat tujuh menit, Gita kembali membuat Acha tertawa. Mungkin, suasana hati saudarinya itu sedang bagus.

"Receh."

Kini Gita yang terkekeh.

"Siapa dia?"

"Ha?" Gita melongo.

"Lo tau dia kelas berapa? Atau, namanya?"

"Namanya ya," Gita memajukan bibirnya, mencoba mengingat. "Oh, namanya.. Bagas. Kalo ga salah."

Entah mengapa, Acha tak dapat membuka mulut.

"Oh, maygot!"

Acha melihat Gita membulatkan matanya.

"Kenapa, si?"

"Ada dia."

Benar saja, ketika Acha menoleh ke kiri terdapat Bagas dan kedua temannya sedang berjalan entah menuju stand mana. Sedangkan di kanannya, jarak beberapa meter, Rendi tengah berjalan. Kedua lelaki itu tersenyum... ke arahnya.

Tapi ketika mereka melihat ke depannya masing-masing, senyum keduanya luntur. Dan Acha, tak mau lagi melihat perkelahian itu. Maka, dirinya berdoa, saat ini juga, turun hujan.

Detik ke enam, terasa sesuatu menetes ke wajahnya.

Hujan.

°°°°


18'07'16

Aftertaste (Hiatus?)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang