Rasa 25

24 0 0
                                    

Rendi mengatur nafasnya yang memburu. Bel pulang sekolah telah berbunyi nyaring di penjuru sekolah. Membiarkan guru bahasa Inggris mengumpat masih dengan batasan sopan karena dengan tiba-tiba Rendi meninggalkan kelas sambil menenteng tasnya di pundak. Tanpa sopan santun.

Koridor masih lenggang untuk saat itu.

Sampai akhirnya Rendi sampai di studio radio. Membukanya dengan kasar, membuat sosok lelaki di sana tersentak. Menatap takut-takut Rendi yang terlihat marah.

"Ngapain lo lakuin itu?" Tanya Rendi, tangannya meraih kerah baju lelaki itu, mengangkatnya.

Setelah mendapat pesan singkat dari nomor yang tidak dikenal, Rendi buru-buru ke sana. Terlalu terbawa emosi sampai membuat Acha yang mendengar bisikan-bisik dari murid ikut ke ruang tersebut. Menyaksikan amarah Rendi yang telah membuncah. Terlihat menyeramkan.

Maura lagi dekat sama Bagas, ya? Waktunya siaran lagi, dong?

Bukan apa-apa.

Masalahnya Rendi masih memperdulikan Maura. Setidak peduli apapun perempuan itu padanya.

"Gu.. gue,"

"Ngomong buru!" Sentak Rendi.

"Ren!"

Rendi menoleh, melihat Acha berdiri di depan pintu studio dengan beberapa murid yang ternyata sedari tadi melihat kejadian yang ia buat.

Ternyata Acha mau repot-repot menarik lengannya, dengan sengaja membuat Rendi melepaskan kerah baju lelaki yang telah pucat pasi tersebut. Sebelum memulai berbicara, Acha menghembuskan nafas berat. "Jangan ngelakuin hal bodoh lagi."

Rendi menunduk, menatap Acha, sebelum akhirnya menggeleng. "Gue harus nyelesain sekarang, Ca. Gue takut Maura dimanfaatin."

Setelahnya, Rendi kembali menggeret lelaki yang baru bernafas lega itu keluar studio. Sampai akhirnya bertemu Bagas yang hendak pulang sekolah. Rendi melempar lelaki itu di depan Bagas, membuat lelaki itu berhenti.

Bagas menatap Rendi dingin. Seakan lelaki itu adalah mikroba yang sangat amat tidak penting dan mengganggu. Kakinya hendak melangkah tak peduli.

"Dia yang nyebarin obrolan lo sama Maura!"

Hanya sejenak. Hanya sekitar 15 detik Bagas terdiam sebelum kakinya kembali melangkah, melewati Rendi begitu saja.

Rendi yang melihat itu tak dapat menahan amarahnya. Menarik begitu saja tas Bagas dari belakang dengan kasar, membuat lelaki itu hampir terjungkal. Tak sampai di situ, Rendi langsung melayangkan pukulannya pada pipi kiri Bagas. Darah segar terlihat di hidung Bagas ketika lelaki itu berusaha menghindar dan malah mengenai hidungnya.

"Sekarang lo tau bukan gue yang nyebarin."

Senyum sinis tersungging di wajah Bagas. "Terus? Siapa yang peduli?"

Acha baru saja sampai di sana. Tak sengaja melihat Maura yang berdiri kaku di tengah kerumunan yang melingkari Bagas, Rendi dan sosok itu.

"Sekarang liat sensasi yang lo buat," wajah datar Bagas menatap tajam Rendi. "Norak."

Tak sampai di situ, akhirnya Rendi kembali melayangkan tangannya itu pada wajah Bagas. Kali ini Bagas tak dapat berkata apapun. Lelaki itu terjatuh, berusaha menghindar dari pukulan itu tapi tidak bisa.

Masalahnya, Bagas malas membalas.

Rata-rata murid di sana berteriak. Beberapa murid menutup mulutnya.

Maura maju, menahan tangan Rendi yang lagi-lagi ingin memukul Bagas. Wajah Maura terlihat kaku, dan matanya berkaca-kaca. Tangan Rendi perlahan terlepas, membuat Maura menunduk, membebaskan Bagas dari kurungan Rendi. Membantu lelaki itu berdiri.

Bagas yang melihat itu kembali tersenyum sinis.

"Lo ga berhak mukul Bagas, Ren," ujar Maura. Tangannya merangkul lengan Bagas, membantu Bagas untuk tetap berdiri.

"Balik sama gue!" Suruh Rendi.

"Engga! Gue mau sama Bagas."

Rendi meraih tangan Maura, menariknya. Tapi gerakan itu tertahan karena Bagas ternyata ikut memegang tangan Maura. Membuat perempuan itu menoleh kaget pada Bagas. Masih dengan tatapan tajamnya, Bagas melepas tangannya dari Maura. Kemudian mulai menautkan jemari keduanya sehingga saling melengkapi.

Sungguh ironis.

Acha melihatnya. Ketika Bagas melakukan gerakan itu di depannya.

Seakan mereka sedang menampilkan teather singkat. Berdrama di depan para murid lainnya.

Bagas berjalan duluan, menarik tangan Maura hingga terlepas dari genggaman Rendi. Membuat pikiran lelaki itu kosong sejenak. Dadanya bergemuruh. Seakan amarah tadi belum cukup ia luapkan. Masih ada sisanya.

Acha tau perasaan gelisah ga tadi ternyata ada hasilnya.

Acha dapat melihat Maura gugup untuk pertama kalinya. Acha dapat merasakan jantung Maura ikut berdebar.

Tapi yang Acha tak bisa rasakan, ternyata Maura menangis. Maura menangis dalam diam ketika rasa bersalah dalam dirinya meluap. Bukan itu impiannya. Bukan itu ketika dia melihat mata Bagas ternyata terlihat dingin menatap Acha.

Setelah kepergian Rendi, Acha mendekat pada lelaki yang masih saja terduduk lemas di lantai koridor. Berjongkok, menyamakan posisi mereka. "Lo yang ngelakuin?"

Lelaki itu menggeleng. "Sumpah! Gue ga nyebarin. Waktu gue sampe di sana, semua persiapan radio ternyata udah nyala."

°°°

Aftertaste (Hiatus?)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang