Rasa 26

27 0 1
                                    

You know how much it hurts, every time you say you hate me - Perfectly wrong, Shawn Mendes.

°°°

"Kepada pembina upacara, hormat gerak!"

Semua orang yang ada di lapangan saat itu menaruh tangannya di atas jidat secara serempak, membuat tanda hormat.

Suara lagu Indonesia raya berkumandang dengan lembut. Petugas obade mempersiapkan semuanya dengan baik, sehingga ketika pemimpin upacara mengatakan 'Istirahat' dengan menggelegar, sang pembina upacara yang ada di depan micropon menghampiri pemimpin upacara. Memberikan apresiasi padanya sebagai tanda bahwa dia berhasil menjalankan upacara dengan dan tanpa boring.

Semua murid bertepuk tangan meriah. Seakan setuju akan hal itu.

Tapi tidak untuk Bunga. Keringat dingin bercucuran di dahinya, membuat tanpa sadar badan itu oleng. Acha yang kebetulan di samping Bunga langsung memegang tangan perempuan itu. Terlihat kaget dengan gerakan Bunga yang tiba-tiba.

"Bung?" Acha bertanya setenang mungkin, tidak ingin membuat beberapa murid merasa panik.

Bunga menutup matanya perlahan, membuat tubuhnya bergantung pada Acha yang berusaha menahan bobot tubuh perempuan itu.

Sebagian murid yang melihat itu segera mendekat, mulai membantu Acha membawa Bunga ke UKS. Khususnya para anggota PMR. Acha ikut membantu membawa Bunga ke UKS. Melihat Bunga yang tengah tertidur damai.

Ya, Acha menganggap pingsan itu sama dengan tidur dengan damai.

"Maaf, Ca."

Acha mendongak, melihat seorang perempuan di sana. Sepertinya salah satu anggota PMR.

"Lo ga mau balik ke lapangan?" Tanya perempuan itu ragu.

"Ga."

Jawaban singkat dari Acha menjadi penutup obrolan mereka. Perempuan itu mengangguk sebelum pergi meninggalkan ruangan.

Para anggota PMR mulai bekerja. Mereka mulai mencopot sepatu Bunga. Kemudian melepas ikat pinggang perempuan itu. Katanya agar Bunga dapat nyaman tertidur. Salah satu dari mereka mulai membuka minyak kayu putih, mendekatkannya pada hidung Bunga. Begitu seterusnya sampai Bunga tersadar.

Acha bangun dari kursinya, bergerak ke arah Bunga. Memberikan segelas air minum yang langsung ditenggak habis oleh perempuan itu.

Para anggota PMR keluar karena merasa tugas mereka telah selesai, menyisakan beberapa di sana untuk jaga-jaga.

"Kenapa, si? Belum makan?"

Bunga mengangguk, terduduk di kasur. Bibirnya yang pucat mengulas senyum tenang. Bermaksud agar Acha tidak terlalu khawatir. "Gue lupa makan semalem gara-gara ngerjain tugas."

Mata Acha memicing. "Tugas apa?"

"A," Bunga merasakan perutnya melilit. "Anu.. perut gue mules."

Bunga buru-buru berdiri, meraih tangan Acha yang hendak membantunya. Mereka berdua berjalan ke luar UKS, hendak ke kamar mandi.

"Bisa sendiri, kan?"

Bunga melotot. "Bisa, lah."

Acha terkekeh geli untuk sejenak. Membiarkan Bunga masuk kamar mandi, membuka salah satu bilik toilet tersebut. Acha bersedekap, menyender pada tembok di depan pintu kamar mandi perempuan.

Lama Acha menunggu, hingga akhirnya langkah seseorang terdengar di lorong kamar mandi yang sepi.

Perempuan itu mendongak, melihat mata dingin tersebut yang akhirnya menatapnya.

Acha kembali menunduk, memilih memejamkan matanya sambil menunggu Bunga selesai. Oke, sudah lebih dari seminggu Bagas mendiamkannya, dan Acha tak masalah akan hal itu. Jadi, dia berfikir tidak mungkin dengan tiba-tiba Bagas mengajaknya bica-

"Lo bener-bener ga peduli." Bagas bersuara. Berdiri agak jauh dari tempat Acha menyender. Sebelum akhirnya tangan lelaki itu meraih kenop pintu toilet laki-laki dan masuk ke dalamnya.

Mata Acha terbuka setelah mendengar suara pintu tertutup. Badannya tiba-tiba terasa lemas, membuat tangannya yang tadi menyilang kini telah turun. Semakin menggantungkan tubuhnya pada tembok dengan cara menyender.

Pintu toilet perempuan terbuka, Bunga di sana. Mendekat ke arah Acha. "Kenapa, Ca?"

Acha menggeleng.

Siapa yang memulai, si?

Apa salah Acha sampai Bagas benar-benar membuat perempuan itu gelisah? Kenapa Bagas sepengecut itu dengan bertindak bodoh dan kekanak-kanakkan?

Lagi.

Lagi dan lagi, Bagas berhasil membuat Acha seakan terhimpit batu. Harus memilih. Terbawa arus hujan yang deras.

Acha ingin hujan.

Balik pada masa lalu ketika lelaki itu mengantarkannya pulang.

Masalahnya, perasaan Acha mengatakan yang sebaliknya.

bahwa Acha.. rindu.

°°°

Bagas baru saja membuka pintu kamar mandi dan sempat melihat Maura menunggu di depan kamar mandi, tapi itu semua tak tersampaikan, ia justru malah berada di sebuah koridor rumah sakit. Sesuatu menyengat dirinya, dan membuat badannya terlonjak. Hanya untuk sesaat, keadaan di sana terasa bising.

"Tutup pendarahannya lebih dulu, jangan sampai kita kehilangan banyak darah dari dia!"

Suara itu membuat Bagas menoleh ke belakang, mendapati beberapa suster sedang mendorong troli rumah sakit, seorang dokter diatas sana, seperti sedang melakukan sesuatu untuk menyelamatkan pasiennya.

Bagas menyingkir, memberikan banyak ruang untuk mereka lewat. Ketika Bagas menoleh ke arah pasien yang tergeletak tak berdaya itu, waktu seperti berjalan lambat. Seperti ingin memberi tahu sesuatu, tapi seketika juga, waktu itu berjalan cepat. Troli itu telah menuju ruang UGD.

Secepat itu pula, Bagas melihat Rendi berjalan panik kearah UGD. Dan sekilas Rendi melihat Bagas yang terdiam.

Bagas berkedip, tubuhnya terasa tertarik oleh sesuatu yang tak kasat mata.

Ingatan itu hilang.

Seperti Bagas tak pernah melihat Rendi tadi, dan hanya mengingat seorang siswi perempuan sedang berada di UGD. Bagas kembali pada realita, berdiri kaku di depan pintu kamar mandi lelaki, menatap Maura yang ikut membeku.

"Kamu.. hilang?"

°°°

6'07'18

Aftertaste (Hiatus?)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang