Rasa 9

325 8 0
                                    

Tadinya, aku berfikir jarak kita sudah hampir dekat. Ketika aku melemparkan batuan itu ke arah danau. Kemudian orang pada masa lalumu memberi clue, kau harus mencintai yang sebenarnya. Bukan aku.

(Hadiah?)

Suara piring pecah mendominasi dapur. Para pembantu di sana tak berani memberhentikan, waktunya mereka untuk pulang dan tidak mengikut campurkan masalah keluarga orang lain. Tugas mereka sudah selesai, pecahan piring dari kedua orang tersebut besok bisa dibersihkan. Yang penting mereka harus pulang saat itu juga.

"Ayah pulang cuma buat ngasih kabar ini?"

"Sejak kapan kamu mulai berani gini, ha?!" Suara bariton tersebut menggelegar. Kacamata yang bertengger manis di wajahnya, ia betulkan. Tak mengerti kondisi anaknya saat itu juga.

Anak sulung di depannya tersenyum miris. Miris akan keadaan keluarga mereka. Miris akan keadaan adiknya. "Oh iya, aku lupa. Ayah pulang cuma buat ngambil baju terus pergi lagi, kan?"

"Kai, kita cuma sebentar kok. Nanti mama janji bakal pulang lebih cepat, kamu jagain adik kamu aja." Sang perempuan paruh baya berusaha menggapai tangannya, berniat menenangkan, tapi lelaki itu lebih dulu menepisnya.

"Mama tenang aja, Acha juga ga bakal ngerepotin kalian. Dia bisa jaga diri sendiri walaupun kurang kasih sayang." Setelah itu, Kai mengambil jaket beserta kuncir motor yang tergeletak di atas meja.

Kai hanya bingung, bagaimana Acha dapat bertahan di situasi seperti ini.

°°°

Jarum jam telah menunjukkan tengah malam ketika Rendi sampai di sebuah rumah yang nampak sepi. Tangan lelaki itu menggenggam benda persegi panjang milik sahabatnya. Entah mengapa, ia keluar malam-malam seperti ini hanya untuk mengembalikan barang yang mungkin besok bisa dikasihnya di sekolah. Mengingat itu, Rendi berdecak, mengintip keadaan rumah tersebut dari celah-celah tiang yang menghalangi pandangannya.

Tubuh Rendi merosot, bersender pada pagar hitam di belakangnya. Iseng, lelaki itu membuka lockscreen handphone Acha, mendapati astronomi dijadikan wallpaper olehnya. Tapi tangan itu berhenti ketika sebuah foto dari galeri Acha membuat dadanya berdentum sangat kencang.

Sungguh ironis, ketika angka menunjukkan pukul dua belas lewat tiga puluh satu menit, penerangan dari arah kiri membuat lelaki itu menoleh. Mendapati sebuah mobil akhirnya berhenti tepat di depannya. Kedua orang yang berada di dalam mobil tersebut keluar hampir bersamaan, membuat Rendi langsung menyembunyikan ponsel tersebut di balik saku jaketnya.

Perempuan yang tadi turun duluan langsung berdiri kaku, matanya yang bulat menatap Rendi kaget.

"Biar gue yang ngomong sama keluarga—"

Rendi berdiri, menatap perempuan itu datar dan langsung menonjok Bagas yang baru saja tiba di sampingnya.

Perempuan itu, Acha, mundur beberapa langkah, terlihat syok.

"Brengsek!" Tonjokan kembali dilayangkan Rendi pada bagian bawah pipi Bagas. "Gue udah bilang jangan deketin dia!"

Yang Rendi tak tau, Acha menatapnya dengan mata memanas.

Bagas terlihat menghela nafas. Yang pasti terasa berat. Wajahnya datar menatap Rendi yang sedang tersulut emosi sampai akhirnya, tangan lelaki itu melayang dan mengenai daerah hidung Rendi. "Lo mau maruk? Ngelibatin dua cewek sekaligus."

Dan setelahnya, Acha menutup mata. Berusaha mengatur nafasnya yang hampir tersendat, ditambah dinginnya malam sehabis hujan yang membuat wajahnya nampak pucat. Perempuan itu menggigit bibirnya, menahan kepalanya yang tiba-tiba sakit karena ikut menahan tangis, masih membiarkan kedua lelaki di depannya saling menghajar seperti plot drama yang digambarkan Bagas.

Mereka tak akan pernah berhenti saling membenci.

"Berhenti bersikap lo selalu ada buat dia," tangan Bagas bergerak menunjuk dada Rendi. "Hati lo cuma satu man, ga bisa buat dua orang."

Saat itu pula, tangan Acha gemetar sambil matanya terbuka. Tubuhnya tak kuat menahan badannya sendiri. Perkataan Bagas barusan membuat darahnya berdesir hebat, dan tanpa sadar badannya bergerak sendiri seiring rintik hujan mengenai kepalanya.

Angin berhembus kencang dan kilatan petir di ujung jalan menambah pemandangan menyakitkan bagi Bagas.

Acha memeluk Rendi, bersamaan dengan turunnya hujan.

Bersamaan juga dengan tangisannya.

°°°°

An,

09'01'17

Aftertaste (Hiatus?)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang