Rasa 31

28 0 0
                                    

"Bagas!"

Lelaki dengan jaket yang disampirkan di bahunya itu mengangkat wajah. Terdapat kantung hitam ketika Gita melihat mata cowok itu. Wajahnya kuyu, seperti baru saja mendapat masalah berat. Dan perempuan itu yakin, Bagas belum makan.

"Kemana kamu semaleman?" Suara tegas nan lembut milik Mama Bagas mengembalikan Gita ke dunianya yang tadi sempat tersesat dalam wajah Bagas.

"Mah," suara Bagas parau. "Bagas capek. Istirahat sebentar, ya?"

"Astaga." Geni bangkit dari sebelah Gita, perempuan paruh baya itu khawatir mendengar suara anaknya. Sampai di depan anaknya, ia mengulurkan tangan dan melihat guratan kesedihan di mata Bagas. Kantung mata menghitam, dan wajahnya terlihat lelah. Kamu kenapa?

Meski bukan pertanyaan itu yang bisa ia lontarkan, Geni mengangguk mengerti. "Mandi. Nanti Mama siapin timun buat ngilangin ini, nih. Jelek banget ada di sini." Jarinya menunjuk kedua mata Bagas.

Lelaki itu hanya mengangguk. Kakinya melangkah menaiki tangga dan masuk ke kamarnya, tanpa tau seseorang terdiam melihat itu.

Geni berbalik, tersenyum sendu pada Gita yang masih menampilkan wajah cerianya. Meski Gita tau, ia benci menunggu, apalagi dua jam. Gadis itu mengerti akan keputusan Geni yang meminta anaknya istirahat lebih dulu.

"Maaf ya, Gita."

Setidaknya, bisa beri Gita alasan untuk mundur.

Batalkan semuanya, dan biarkan Gita melupakan.

Tolong, Bagas. Biarkan Gita melupakan rasa ini.

Dengan realita bahwa Bagas hanya mencintai Acha.

°°°

Tanpa sengaja, Bagas membuka gordennya. Hanya butuh waktu lima menit untuk dirinya mandi dan membersihkan wajahnya yang kuyu. Sebuah taksi melaju di aspal komplek. Tapi yang membuatnya heran, taksi tadi berhenti di depan rumahnya.

Pintu kamarnya terbuka.

"Eh?"

Suara itu membuat Bagas menoleh, Mamanya sedang terkejut di sana sambil membawa semangkuk potongan timun. "Mama kira kamu belum selesai mandi, makanya ga Mama ketuk."

Lelaki itu berjalan ke arah Mamanya yang telah duduk di kasur. "Nah gini dong, kan mendingan kalo abis mandi," ujar Geni.

"Tadi siapa mah?"

"Yang mana?" Geni mengerutkan dahi sambil memakan timun. Ia menyuruh anaknya tiduran, dan rileks di waktu bersamaan. Bagas hanya menurut, kedua potongan timun jatuh di atas matanya yang otomatis tertutup. "Jangan di apa-apain! Nunggu 30 menitan, lah."

Bagas tak mendengarkan ucapan Geni, "Yang taksi di depan itu, tadi, siapa yang naik?"

"Ooh," Bagas mendengar Mamanya bergumam. "Gita. Emang kamu ga ngeliat ada dia tadi?"

Mata bagas terbuka sempurna, membuat timun tadi bergeser dan jatuh di sisinya. Mendengar nama itu membuatnya merasa bersalah. "Sekarang dia mau kemana?"

"Gatau."

Bagas buru-buru berdiri, menyambar jaket juga kunci motornya. Lupa dengan Mamanya yang masih tertinggal di kamarnya, Bagas kembali menaiki anak tangga, mendapati Mamanya masih bengong. Lelaki itu buru-buru lari ke arah Mamanya, mencium tangan yang sudah agak keriput itu kemudian mengucapkan salam.

Beberapa menit setelahnya, di tempat yang berbeda, gadis itu termenung, sambil menatap banyaknya anak kecil.

"Semoga dilancarkan tunangannya, ya." Gadis itu tersentak, mendongakkan wajah kemudian tersenyum saat melihat bunda Putri, sang pengurus panti berdiri di hadapannya.

"Amin, bunda."

Tapi kenyataan menamparnya, menyadarkan dirinya bahwa ini hanyalah permainan yang mereka buat, demi kebahagiaan orang tua mereka. Dan setelah itu, mereka tinggal saling meninggalkan, dan melupakan.

Ketika Gita melihat wajah Acha yang terdiam memainkan jemarinya ketika Bagas menelpon dirinya. Acha yang tak tahu ternyata itu adalah telpon dari Bagas. Dan Bagas yang ternyata merindukan Acha. Merindukan suara perempuan itu

Mendengar suara gemuruh membuat anak-anak itu segera berlari masuk, Bunda Putri juga menyuruh Gita masuk. Tapi ia hanya membalas dengan sopan, nanti.

Jika memang, mencintai lebih sakit dari menyakiti, mengapa Gita harus memilih untuk mencintai? Mengapa Gita tidak bisa seperti Acha yang hanya diam menanggapi perasaan Rendi, juga Bagas.

Detik itu juga, tak ada yang bisa membedakan air mata, dan air hujan di wajah Gita.

°°°

30'05'18

Aftertaste (Hiatus?)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang