Rasa 11

284 9 0
                                    

"Terkadang, aku seperti melihat sebuah celah untuk merubah kembali keadaan."

(RIP)

"Gimana kita ngundang DJ, aja? Kan seru gitu kalo hacep. Apalagi malem."

Hening.

Valdo ikut diam, kecamata yang bertengger manis di matanya itu kini semakin turun. Kemudian, cengiran lebar membentuk di bibirnya. Semua orang yang berada di dalam ruangan itu memutar matanya hampir bersamaan. Kadang mereka bingung, cowok macam itu, yang otaknya sedengkal bisa masuk osis yang wawancaranya aja sampe bikin yang daftar mulas.

"Udah-udah," terdengar tepukan dua kali, sang ketua kali ini menginstrupsi. "Asli. Kalo aja otak lo bisa kerja sama dikit, gue yakin ide lo masuk daftar list. Tapi kali ini, sorry ya Van, kita ga setuju."

Itu maksudnya ngeledek.

Valdo cemberut.

Itu bukan sekali atau dua kalinya pendapat Valdo engga dianggap gitu. Udah sering. Tapi dengan bantuan Maura yang kadang-kadang doang, lelaki itu bisa bernafas lega.

"Lo juga serius, Ger." Valdo tersenyum pada Maura. "Lo juga. Sering-sering ngelatih otak, biar masuk akal."

Tuh, kan. Hampir semua orang di sana menahan tawa, bahkan ada yang benar-benar telah tertawa. Maura menunjukkan bahwa ia tak suka bercanda seperti biasa, hanya garis wajahnya saja yang terlihat kaku, membuat mereka akhirnya terdiam kembali.

Garen tersenyum tipis. Gadis itu membuka agendanya, membolak-balik meski tidak tau tujuannya untuk apa. Sampai pertanyaan yang sama dilontarkan Garen padanya, "Menurut lo, ngundang siapa?"

Masih menunduk, gadis itu bicara, "Ga usah yang mewah. Kita bisa undang band alumni yang emang udah bagus dan bawa nama sekolah atau artis yang emang sekarang lagi musim."

Garen memutar bangkunya, berlagak sedang berfikir. "Bagus. Catet, Dis."

Gladis yang bertugas sebagai sekretaris satu langsung menulis ide dari Maura. Mereka satu persatu mulai berbisik, tapi bukan berbisik untuk ngomongin orang. Tapi berbisik yang dimaksud itu, berbicara tapi dengan nada pelan. Melihat itu, Garen makin tersenyum lebar, melirik sekilas Maura yang kini telah mendongak. Seperti tak ada mood untuk memarahi mereka.

"Okay, udah bulat keputusannya." Bangku lelaki itu berhenti berputar, pulpen yang tadinya berada di atas bibirnya kini ia taruh di atas meja. Mulai berdiri.

Terdengar suara, 'Penyanyi musiman mah sebentar doang di industri musik.'

Kedua tangan Garen bertumpu pada meja menatap mereka sambil tersenyum miring, khasnya. Jika saja Garen bukan tipe cowok yang main nembak cewek sembarang tanpa peduli perasaan, semua perempuan di sana pasti telah jatuh hati. Perkenalkan, most wanted yang menjadi musuh Maura sejak mendaftar sebagai ketua OSIS. Garen. "Yang ini baru lo catet, Dis." Gladis bingung. "DJ dari alumni sekolah kita."

Semua bersorak, setuju akan hal itu. Dj dari sekolah adalah cowok terkeren sepanjang masa, duet dengan seorang perempuan manis yang bahkan masih mereka kenal sampai sekarang. Valdo mengerjab, berusaha bangun dari mimpinya. Tapi tidak, ini nyata.

Maura berdiri, kaget akan hal itu. Berusaha mengejar langkah santai Garen yang keluar ruangan. Perempuan itu mencengkeram kedua tangan Garen, membuat keduanya berhenti. "Jelas-jelas sekolah ngelarang kita buat ngundang Dj!"

Garen melepas tangan Maura yang masih mencengkramnya. "Sore itu, lo langsung balik. Ngabarin ke anak-anak kalo ga boleh ada hal begituan-"

"Ini pensi, bukan dwp. Lo ketos gimana, sih?" Potong Maura tak sabaran.

Mendengarnya membuat Garen menarik hidung Maura gemas. "Tapi apa lo tau? Pas gue ngeliat lo pergi gitu aja, Bu Mayang ngecualiin kalo itu dari alumni."

Dahi perempuan itu tetap mengerut, kesal. Tangan Garen terangkat, mengusap dahi Maura. "Cepet tua lo kalo marah-marah mulu."

°°°

Menit terakhir yang digunakan Rendi untuk memasuki bola voli ke arah ring basket, hampir terhenti ketika dengan gerakan cepat perempuan dengan rambut terkuncir satu ingin merebut bola tersebut. Rendi tentu mengelak, kemudian mulai melompat, membiarkan bola tersebut masuk ke dalam ring dengan sempurna. Perempuan itu mendengus, "Jangan samain voli sama basket, ih."

Rendi tertawa, mendekat ke arah temannya. "Iya, bawel." Kemudian mengacak rambutnya.

Langit telah menggelap saat Acha menemukan Rendi di lapangan belakang sekolah. Seragamnya telah terlempar sembarang, menyisakan kaos putih polos yang dikenakan lelaki itu. Bahkan setiap langkahnya untuk mencarinya, Acha merasa perasaan yang harusnya tak pernah dari dulu ia rasakan.

"Ngapain di sini?" Acha menanggapi itu dengan tatapan sebal. "Udah malem, bawel. Coba kalo misalnya gue ga ada di sini. Mungkin sampe malem lo masih berkeliaran ga jelas."

"Ini udah malem," gumam Acha.

"Ih." Rendi menarik hidung mungil itu gemas. Menjadikan Acha mengaduh. "Nyari gue atau emang ada kerkom?"

Sekolah mereka memang tak terbilang seram. Kebanyakan siswa atau siswi memilih menetap di sana hanya untuk mengobrol atau mengerjakan tugas. Lampu terang yang dengan terpasang di berbagai koridor maupun kelas membuat para muridnya itu malas untuk pulang meski telah malam. Jangan lupakan juga letaknya yang strategis, dekat dengan jalan raya, membuat mereka dengan mudah menyetop kendaraan umum untuk pulangnya.

Acha diam. Seperti biasa, malas menjawab pertanyaan lelaki itu bila telah menyangkut alasan atau penjelasan.

"Kebiasaan, ah." Rendi mundur, memungut kemejanya yang telah kotor, kemudian mengambil tasnya yang terletak di dekat ring. "Ayo! Gue anter balik." Tangan lelaki itu menggandeng, tangan Acha yang bebas.

Mereka melewati koridor yang telah sepi dalam diam.

Astaga, bahkan Acha sekarang punya firasat yang buruk buat Rendi. Makanya ketika lelaki itu menyuruhnya naik, Acha masih bergeming. "Gue mohon," perkataannya seakan tersendat di tenggorokannya sendiri. Dan Rendi malah hampir membeku mendengar temannya itu memohon.

"Kalo Bagas nyerang lo besok, jangan... Jangan pernah bawa nama Maura."

°°°°

20'03'17

Aftertaste (Hiatus?)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang