Rasa 19

114 4 0
                                    

"Acha?"

Gita sontak berdiri. Kaget. Menatap Acha yang kini kebingungan jalan ke arah mereka. Tapi pandangan itu kemudian teralih, ia melihat Bagas yang terlebih dahulu berdiri sebelum dirinya itu, kini menatap Acha dengan pandangan tak terbaca.

"Kenapa?"

Mereka mengerjab, Gita dan Bagas. Mempersilahkan Acha duduk dan kemudian mereka ikut duduk. Canggung seketika.

"Lo sama siapa?"

Acha meletakkan tas kecilnya di atas meja, kemudian bersender pada kursinya. "Rendi," jawabnya. Dan itu sudah cukup membuat Bagas menahan nafas. Acha seakan tak berhenti untuk membuatnya selalu kacau akhir-akhir ini.

Mulut Gita terbuka,

"Kemana?"

Tapi itu bukan suara Gita. Nadanya terdengar dingin, dan ketika Gita melihat ke sumber suara, Bagas masih melemparkan tatapan itu pada Acha.

Dan Acha menatapnya balik.

"Nyari kamar mandi," Acha menjawab. "Katanya di sini ga ada."

"Ninggalin cewek sendirian?"

"Banyak orang," perempuan itu memutar bola matanya. "Dan gue cukup mandiri."

Bagas diam. Masih menatap gadis itu, tanpa sadar Gita kini menahan diri untuk tidak memikirkannya. Memikirkan apa arti ucapan lelaki itu beberapa menit yang lalu.

Dan Acha tidak begitu bodoh dengan tidak memikirkan mengapa kedua orang di depannya saling kenal.

Seperti mengerti akan pikiran gadis itu, Gita membuka suara, "Dia cowok yang waktu itu gue bilang ngeselin. Yang di sekolah lo,"

Acha mengangguk, masih tak mengerti.

"Dan kebetulan kita ketemu lagi."

Bagas menoleh, sepenuhnya pada Gita. Tatapan mereka bertemu, Gita tersenyum. Dan tanpa Bagas sadari, jantungnya berdetak lebih cepat, sakit rasanya. Apa maksud lo, git?

Acha ikut tersenyum. Ia bahagia melihat Gita bahagia. Tangannya bergerak menggapai tangan Gita, mengelusnya pelan. Membuat Gita akhirnya menoleh padanya. "Happy birthday, girl."

Astaga.

Gita bahkan lupa akan hari ini.

°°°

"Gue punya saran,"

Maura tak bergeming. Masih tetap fokus pada catatannya yang musti disalin pada notebook.

"Hoy!" Kini Garen melempar kentang goreng ke arahnya. Maura berdecak kesal, tak suka diganggu. Tatapan perempuan itu bertanya marah. "Makanya dijawab!"

"Emang lo nanya?"

"Engga."

"Yaudah," kata si perempuan. Tangannya hendak mengambil alih pulpennya kembali sebelum sebuah tangan lebih dulu menariknya. Maura menghela nafas, jengkel. Mencoba mengambil pulpen tersebut dari tangan jahil Garen. Kalo Maura bawa pulpen dua, Maura juga ga akan mau repot-repot ngambil pulpen itu dari tangan Garen. "Ga, ih!"

Garen tertawa. Tangannya semakin tinggi mengangkat pulpen tersebut. Membuat mau tak mau Maura mendekat, dan itu menjadi kesempatan Garen untuk ikut mendekat. Maura menahan nafas saat menyadari gerakan cepat lelaki itu.

"Mau tau, ga?" Tanyanya suara di depan wajah Maura. Astaga.

Hingga beberapa detik. Nyawa Maura mulai terkumpul. Didorongnya sekuat tenaga wajah Garen menjauh dari hadapannya hingga cowok itu bersender pada bangkunya sendiri, tak lupa dengan pulpennya yang berhasil ia tangkap duluan.

Seperti tak ada kejadian apapun.

Suasana kembali hening.

"Bagas tampil."

Dan itu cukup membuat pulpen tersebut terlepas dari tangan Maura. Perempuan itu mendongak, menatap Garen yang kini juga menatapnya. Benar kan, mendengar nama itu pasti menghentikan gerakan Maura. Garen tersenyum miring, bayangkan saja sekarang Maura ingin menonjoknya. "Lo ga tau, ya?"

Maura masih diam.

"Hampir tiap hari ruang musik udah jadi tempat konsernya."

°°°

"Gue pulang duluan, ya?"

"Loh?" Bagas mendongak, menatap Gita yang sedari tadi tak ingin melihatnya sedikit pun.

"Kenapa?"

Gita diam sebentar, sebelum mendongak menatap saudarinya. "Tiba-tiba Mama tadi nge-wa, ada yang mau diomongin."

"Tentang ultah, ya?" Tanya Acha antusias. Dan ini pertama kalinya Bagas melihat gadis itu tersenyum riang. Gita menghedikkan bahunya tak tahu. "Yaudah, biar gue temenin."

Mata Gita melotot tak sengaja, panik. "Ga. Gausah, maksudnya, Ca."

Acha diam. Melihat lebih jelas raut wajah Gita yang terlihat lelah. Rasa takut itu menyelimuti Acha, bagaimanapun di keadaan seperti ini Gita tidak mungkin pulang sendiri. Dan doa itu akhirnya terkabul,

"Biar gue yang anter."

Bagas tau dia harus memilih. Menetap di sini bersama Acha dan membiarkan Gita kepayahan pulang sendiri atau meninggalkan Acha dan membantu Gita.

Dan Acha menoleh kaget pada Bagas saat itu juga.

°°°

18'07'17

Aftertaste (Hiatus?)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang