Rasa 22

85 2 0
                                    

Ragita : Eh

Ragita : Mama mau ngomong sama lo

Ragita : katanya bisa ga lo besok mampir?

Gita menaruh benda persegi panjang itu di sampingnya sebelum menyender pada tiang sofa di belakangnya. Helaan nafas terdengar. Sambil memijit pelan keningnya yang mendadak pusing. Gita selalu pusing akan Bagas.

"Acha?"

Sampai akhirnya Gita mendengar suara cempreng mamanya menyambut seorang perempuan di depan pintu.

"Aduh, udah lama banget Tante ga ketemu, yaa?" Suaranya semakin mendekat. "Biasanya Gita yang suka ke sana. Kok, tumben kamu yang ke sini?"

"Hehe," Gita menahan tawanya ketika mendengar suara kaku Acha terkekeh. "Gita, ultah. Jadi aku mau ngasih ini."

Tante mengaguk mengerti, tangannya menyeret Acha pelan memasuki ruang keluarga lebih dekat. Hendak menemui Gita.

"Kamu tau ga, Ca?" Acha menoleh kaget pada Mama Gita. Kaget karena sedari tadi Acha memikirkan hal lain. "Gita mau tunangan, loh."

Langkah Acha terhenti. Membiarkan wanita paruh baya tersebut jalan lebih dulu. Fikiran Acha melayang entah mengapa, otaknya berhenti sejenak dan dadanya berdesir hebat. Hanya karena pernyataan tersebut, Acha tak dapat berfikir jernih.

"Acha?"

Acha terkesiap. Mendongak, menatap wanita paruh tersebut.

"Kenapa?"

Acha menggeleng, menyusul langkah Mama Gita yang hendak menghampiri anaknya. Acha akhirnya melihat Gita.

Gita yang ternyata ikut kaget, dan membeku menatap Acha.

°°°

Langit masih gelap ketika Bagas memarkirkan motornya di parkiran sekolah yang masih sangat sepi. Hanya ada dua motor di sana. Entah itu milik pak satpam atau tidak, Bagas tak peduli.

Kakinya melangkah lebih jauh, berjalan di tengah koridor gelap. Langkah kakinya yang bergema menjadi soundtrack tersendiri di telinganya. Hawa gelap menyelimuti seluruh tubuhnya. Ia bahkan tak memperdulikan pesan Gita dari kemarin. Dan mengabaikan ucapan Ibunya yang mengatakan seminggu lagi mereka akan bertemu kembali, mendiskusikan tentang tanggal pertunangannya.

Ha, Bagas muak dengan semuanya.

Bayangan dua hari yang lalu menghantui fikiran lelaki itu. Bagas berhenti. Menoleh ke kanannya, menemukan ruang musik. Hatinya tergerak, membuka perlahan pintu tersebut.

Menemukan fakta menyebalkan.

Bagas membanting pintu tersebut dengan kasar. Menonjok tembok di sampingnya dengan kuat, tak peduli seberapa sakitnya itu, Bagas melakukannya berulang ulang. Sebelumnya melihat sebuah piano tergeletak di pojok tembok. Langkahnya ternyata terhenti di sana. Duduk di atas kursi nya. Sudah lama, dia tak menyentuh benda sakral ini. Benda yang selalu menggiring dirinya untuk mengucapkan kalimat bersyukur dapat bertemu Acha. Bagas tak pernah menyanyikan lagu sedih.

Tidak untuk saat ini ketika tiba-tiba tust piano itu terdengar. Matanya terpejam sangat rapat.

"As i die here another day. Cause all i do is cry behind the smile.."

Terdengar ringisan. Bagas meringis, merasakan jari-jarinya yang ternyata berdarah.

"I wished you, the best of all this world could give. And i told you, when you left me, there's nothing to forgive.. "

Ketika Bagas membuka matanya, dengan perlahan juga sesak itu kembali hadir. Kepalanya mendongak, menghindari air mata yang akan tumpah.

"But I always thought you'd comeback, tell me all you found was heart break and misery.."

"Acha suka sama lo!"

"Sial!"

Bagas menunduk. Menghentikan gerakan tangannya.

Nafas lelaki itu tersengal-sengal. Tangannya terkepal kuat, mulai menonjokkannya kembali pada tembok di samping piano. Rasa sakit itu tak seberapa, dibanding ketika bayangan tersebut kembali hadir.

Dan akhirnya,

Air mata itu meluruh.

Bagas tidak pernah menangis karena perempuan. Tidak pernah sama sekali. Ia bahkan tak menangis ketika mengetahui fakta bahwa kedua orangtua aslinya telah tiada. Tidak. Tidak sedikit sebelum dirinya bertemu Acha. Perempuan yang selalu membuat dadanya bergetar hebat. Perempuan yang mencapai rekor membuat air matanya keluar.

Perempuan yang tak menyadari perasaannya.

Bugh.

Bagas tak peduli.

Dirinya kacau.

Bergantian lelaki itu mengusap rambut dan sahnya bergantian dan berkali-kali, merasakan air keringat yang menyentuh darahnya. Perih.

Beberapa menit yang hening.

"Lo tunangan, dan kenapa harus bawa gue?"

"Kasih gue waktu 10 hari."

Gita.

Bagas mengingat perempuan itu.

Di tengah kekacauan dirinya, ternyata fikiran itu melayang pada gadis dengan wajah ceria tersebut. Bagaimana Gita ternyata lebih memilih mundur, membiarkan dirinya bersama Acha, walau tak bisa.

Dia berdiri, berjalan terseok-seok menuju pintu sebelum membukanya. Membeku untuk sesaat ketika melihat sosok itu berdiri di sana, diam membisu.

Mata bulatnya menghantarkan Bagas pada jurang kehidupan. Membuat Bagas harus menampar dirinya sendiri. Sakit merambat pada dadanya.

Sosok itu menunduk, melihat tangan Bagas yang berdarah. Hendak menyentuhnya sebelum dengan spontan Bagas menepisnya. Kasar. Membuat mata bulat itu tersentak. Bagas menatapnya dingin, hal kasar yang pernah lelaki itu lakukan padanya sebelum pergi begitu saja. Menyisakan perasaan takut di hati perempuan itu.

Bagas menepis tangan Acha.

Yang Acha tak tahu, ternyata Bagas kembali menangis.

Menangis dalam diam.

"You're happy without me."

°°°

03'09'17

Aftertaste (Hiatus?)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang