vote bisa? dont be silent reader ya!
" karena kamu adalah satu cahaya dari ribuan bintangku dulu..." – Abiangga Bermuda
Aku menatap rintik hujan yang turun di balik jendela filosofi kopi sore ini, hari ini aku ingin sendirian. Biasanya pada saat libur seperti ini aku akan bersama teman kantorku entah sekedar nonton film atau kongkow di starbucks seperti biasa kami lakukan. Namun untuk hari ini saja aku ingin sendirian sebelum besok aku menyiapkan hati lahir dan batin untuk mengucapkan selamat pada Muda dan Diandra yang akan menikah. Jujur saja jika dikatakan tentang ikhlas pasti aku sudah ikhlas tapi untuk bertatapan langsung dengan mereka berdua jujur aku tidak siap. Karena sekuat – kuatnya aku, aku jamin pasti aku akan menangis begitu melihat Muda. Hubungan kami yang tak terhitung berapa lamanya dan juga aku yang mencintainya sepenuh hati menjadikan semua hal yang terjadi begitu rumit. Ya Allah....
" Kenapa disini?" tanya seorang pria yang ternyata adalah Satya duduk di depanku sambil membawa secangkir kopi.
Aku memandang pria itu heran, setelah seminggu tidak masuk kantor dan kini aku bisa bertemu dengannya secara kebetulan di sini. " Bang Satya kemana aja?" tanyaku balik tanpa menjawab pertanyaannya yang terkesan basa – basi tadi.
Satya menyesap kopinya sedikit lalu tersenyum. " Gue kemana aja? dirumah aja sih bantuin ibu sama ayah nyiapin pesta anak kesayangan." Kata Satya santai membuatku mendelik kesal karena menghilang seminggu dan alasannya seperti itu.
Satya memandangku dengan senyum kecilnya yang membuatku tambah kesal karena setelah satu minggu pria ini menghilang dan tiba – tiba muncul dengan tersenyum dan tanpa rasa bersalah.
" Bang Satya kenapa sih senyum – senyum?" kataku kesal.
Satya tertawa kali ini dan tambah membuatku kesal hingga mengelus dada. " Lo kenapa sih Bel? Cemberut aja, bete ngga gue kabarin seminggu?" tanya Satya.
Aku mengalihkan pandanganku dari Satya dan kembali menatap hujan. " Bang Satya kenapa ngga bilang soal Muda?" tanyaku pelan dan aku tahu pria didepanku ini masih bisa mendengarnya.
Satya meletakkan cangkirnya dan menghembuskan nafas berat. "Terus gue liat lo nangis di depan gue gitu? Gue ngga mau, makasih!" jawab Satya dengan penekanan dibelakangnya.
Aku menatap Satya dengan senyum, pria ini memang mirip Muda tapi saat ini aku sadar dia bukan Muda. Muda lebih suka melihatku menangis didepannya tapi Satya tidak pernah suka aku menangis. Dulu aku pernah bertanya pada Muda apa yang membuatnya senang melihatku menangis dan pria itu menjawab aku terlihat cantik jika menangis. Alasan Muda sangat klise, saat itu aku hanya tersenyum mendengar jawaban Muda yang menurutku manis. Tapi setelah aku mengenal Satya aku mengerti hal lain tentang menangis, Satya tidak suka aku menangis, dia pernah bilang 'gue ngga suka lo nangis, karena kalo lo nangisgue ngga bisa ngapus air mata lo soalnya kan bukan muhrim' kalimat sederhana itu masih membekas dalam pikiranku saat ini.
" Bang Satya, sekarang aku tahu Bang Satya bukan Muda" Kataku padanya.
Satya tersenyum sampai memperlihatkan kedua lesung pipinya yang mau tak mau membuatku ikut tersenyum dengannya. " Gue emang bukan Bang Muda dan ngga akan pernah jadi Bang Muda. Karena gue Abisatya Bermuda yang kenal sama lo sesudah Bang Muda pergi" ujarnya masih dengan senyum yang melekat di wajahnya.
Aku mengangguk pelan lalu menyesap kopiku dan masih diperhatikan oleh Satya. Aku tidak merasa risih jika diperhatikan oleh pria didepanku ini entah kenapa. Entah karena terbiasa atau karena aku memang suka diperhatikan olehnya. Hal – hal sederhana yang Satya lakukan selalu berhasil membuatku merasa diperhatikan sebagai wanita dan disaat Satya tidak ada disitulah aku merasa ada yang aneh dan ada yang tidak lengkap.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hijrah, Pernikahan dan Sebuah Kepulangan
General FictionAbela maryam, seorang wanita muda yang menjadi muallaf. Keputusannya menjadi muallaf membuatnya di buang dari keluarganya dan harus mencoba hidup baru di Jakarta. Dia menjadi muallaf awalnya untuk seorang pria yang pergi jauh untuk menempuh pendidik...