FINALLY GUE MUNCUL LAGI SETELAH JANJI PALSU YANG GUE UCAPKAN HAHAHA! BANYAK VOTE YA GAES YANG BACA! PLEASE DONT BE SILENT READER, GUE MIKIR KERAS SOALNYA INI! ASOY WKWKWKWKWK.
THANK U
"Aku memilih cinta yang menyakitkan..." – Ji eun tak ' The Lonely and Great God'
Jika di dunia ini ada pilihan mencintai dalam keabadian hingga bertemu di surga atau menjalani hidup dengan takdir yang sudah di ciptakan oleh sang Pencipta, aku mungkin akan memilih mencintai dalam keabadian hingga bertemu di surga, tapi kenyataan juga membuatku sadar, bahwa aku hanyalah manusia biasa yang harus menjalani takdir yang sudah di rancang dengan sebaik – baik oleh sang Pencipta bahkan sebelum aku lahir ke dunia ini.
Jika ada yang mencemooh diriku karena beberapa tahun lalu mungkin aku mengatakan bahwa aku amat sangat mencintai pasangan hidupku, yaitu suamiku, dan aku akan menjaga cintaku hingga aku bertemu kembali dengannya dan nyatanya saat ini aku memutuskan untuk memulai hidup baru dan harus memberikan jiwa dan ragaku kepada seseorang yang mengambil alih tanggung jawab almarhum suamiku, mengambil tanggung jawab untuk memberikan seluruh hidupnya untukku dan untuk membahagiakan kedua anakku, tak apa jika memang ada yang mencaci maki diriku karena aku melanggar janjiku sendiri karena tidak menunggu sampai aku bertemu almarhum suamiku di tempat dia berada, tapi percayalah, bagaimanapun hidupku kedepannya nanti, aku tetap mencintainya dengan seluruh hatiku, dia yang telah tiada tetap mempunyai tempat teristimewa dalam hati, dan aku selalu berdoa kepada Tuhan agar dia bahagia di atas sana, dan aku ikhlas jika di sana dia bertemu dengan bidadari yang menggantikan diriku.
Tahukah kalian jika mencintai dari awal tidaklah mudah? Rasa takut ditinggalkan bahkan masih membayangiku hingga detik ini. Bahkan di hari pernikahan kedua ku, bersama Abiangga Bermuda tidaklah menjadi mudah karena air mata dan rasa sesak terus saja datang. Berdiam diri sambil menatap foto – foto pernikahan pertamaku dan meresapi kenangan tidak membuatku lebih baik. Aku meratapi diriku sendiri, meratapi semua keputusan yang aku buat, dan mencoba mengenyahkan pikiran bahwa aku akan ditinggalkan kembali bahkan sebelum aku sempat mengatakan bahwa aku mencintai suamiku nanti.
Percayalah, ketakutan yang membayangiku bukan isapan jempol semata, aku bahkan terisak saat Abiangga Bermuda menelfon sehari sebelum pernikahan kami. Namun pria itu sekali lagi membuatku tersadar, bahwa aku berhak bahagia, dan aku berhak memberikan diriku sendiri kesempatan untuk mempercayai bahwa jika aku ditinggalkan lagi, setidaknya aku pernah bahagia. Pria itu mengajarkanku bahwa kehidupan didunia ini tidaklah abadi, kehilangan adalah cara kita untuk menghargai hidup yang diberikan oleh Tuhan pada kita.
Dan kini, setelah semua pahit dan manis yang aku lalui, akhirnya aku memulai babak baru kembali. Langkahku terasa ringan, dan ketika menatap langit, seakan aku melihat Resangga tersenyum diatas sana. Sesak yang membelenggu sudah tidak lagi terasa, setelah ketakutan tergantikan dengan rasa percaya dan ikhlas, semua hal menjadi terasa lebih patut untuk di hargai.
Seperti hari ini, aku melangkah dengan senyum yang menghiasi wajahku, aku tidak ingin menjalani hari bahagia ini dengan wajah murung, aku memberikan senyum terbaikku pada kedua anakku yang duduk di kursi paling depan bersama ibu alrmarhum Resangga. Aku melihat senyum bahagia ayahku di kursi di sisi kanan bersama ibuku dan juga kakak perempuanku. Dan tentu saja ketiga sahabatku yang duduk bersisian di kursi di belakang keluargaku, dan minus Satya karena pria itu sekarang duduk di kursi saksi di meja yang sudah lengkap dengan wali hakim dan juga yang pasti ada pengantin pria yang bahkan senyum bahagianya melebihi diriku yang saat ini sedang berjalan menghampiri mereka dengan didampingi oleh kakak laki – lakiku.
Pernikahan ini sangat indah, hanya ada keluarga dekat sebagai tamu, dan rangkaian indah bunga juga menghiasi pernikahanku kali ini. Pernikahan di dekat pantai ini terasa sangat khidmat dan juga syahdunya nyanyian ombak mengiringi pernikahan ini membuat semua orang tak akan merasa bosan walaupun semilir angin yang selalu berhembus setiap waktu.
Abiangga Bermuda lah yang merancang semua ini, dari awal permintaanku hanya ingin pernikahan yang sederhana karena ini adalah pernikahan kedua kami. Aku tidak ingin lagi menambah gunjingan dari orang lain dan itulah sebabnya Muda memilih menikah di tempat yang cukup jauh, dan memang hanya keluarga kami yang hadir disini. Dan tentu saja aku merasa cukup dan bahagia, karena pria itu tidak pernah mendesak dan selalu mencoba mengerti.
Tatapan teduh Muda membuat aku semakin melebarkan senyumanku, dan pancaran kebahagian dari binar matanya membuat dadaku menghangat karena lagi – lagi Tuhan membuat aku merasa dicintai dengan sangat besar.
" Sudah siap?"
Muda mengalihkan pandangannya dariku lalu menatap wali hakim yang ada di depan kami kemudian menyambut jabatan tangan beliau.
" Bismillahirrahmanirrahim, Ya Abiangga Bermuda bin Abimana Dirgantara, uzzawwijuka 'ala ma amarallahu min imsakin bima'rufin autasriihim, ya Abiangga Bermuda Bin Abimana Dirgantara," ucap wali hakim
"na'am" jawab Muda
Ya Allah...Aku merasa de javu, tetes air mata mengalir karena ini persis seperti dulu pernikahan pertamaku dengan Resangga.
" Anakahtuka wa zawwaj-tuka makhtubataka Abela Maryam Wijaya Binti Barta Laurensius Wijaya bi mahri mushaf Al-Qur'an wa alatil 'ibadah haalan"
" Qobiltu nikaahaahaa wa tazwiijahaa bil mahril madz-kuur haalan, wallahu waliyut taufiq"
" Para saksi sah?"
"SAH!"
" Alhamdulillah...."
Suasana haru dan bahagi menyelimuti diriku dan Muda bahkan mungkin keluarga kami juga, pandanganku buram ketika aku mencium tangan pria yang saat ini sudah resmi menjadi suamiku dengan khidmat, sentuhan ringan tangannya di ubun – ubunku membuat air mataku menetes.
" Terima kasih Biya, untuk kesempatan dan kebahagiaan yang kamu berikan, selamat datang ke hidupku, istriku..."
*******
" Kenapa sih?"
Aku menoleh pada Muda yang kini sudah duduk di sampingku, pria itu sudah mengganti pakaian kerjanya dengan piama yang aku siapkan untuknya.
" Kenapa apanya?"
Muda tertawa kecil kemudian mengelus pelan rambutku yang kini aku potong pendek karena katanya suamiku ini ingin melihat rambutku seperti kami pacaran dulu saat masih duduk di bangku sekolah menengah atas.
" Kamu ngelamun terus mukanya kayak mikir keras gitu deh, kenapa sayang?"
Aku memandang wajahnya kemudian membawa tanganku untuk mengelus pipinya yang selalu bersih tanpa bulu – bulu halus yang menghiasi. " Capek aja tadi di kantor banyak kerjaan, untung udah aku selesaikan, kalau engga besok aku ngga bisa ikut kembar piknik" kataku kemudian mendesah berat karena memang pekerjaanku belakangan ini sangat banyak.
" Kalau kamu berhenti kerja gimana? Fokus ke anak – anak dan focus ke aku, aku sanggup kok ngebiayain kalian semua, daripada kamu capek setiap hari harus membagi waktu buat aku, anak – anak kita dan kantor, kamu itu sekarang istriku, kamu adalah tanggung jawabku, kebutuhanmu dan anak – anak kita harus aku yang memenuhi karena aku adalah kepala keluarga. Mau kan?"
Inilah yang selalu membuatku bersyukur karena pria ini ada di hidupku saat ini, segala cinta dan perhatiannya terasa sangat nyata. Walaupun kadang kami terlibat cekcok kecil, tapi pria ini selalu mengalah, dan bahkan dia selalu pulang tepat waktu agar selalu bisa bermain dengan kembar, dan setiap akhir pekan dia selalu menyempatkan waktu untuk setidaknya jalan – jalan keluar rumah bersama kedua anakku. Dia selalu mencoba menjadi sosok suami yang sempurna dan sejak aku hidup bersamanya aku tahu bahwa pria ini layak di berikan cinta yang sangat besar.
" Minggu depan aku ajuin surat Resign ke kantor ya? Setelah itu aku adalah milik kalian sepenuhnya..."
Muda menatapku berbinar kemudian mengecup wajahku berulang kali dan bergumam kata terima kasih dengan pelan.
" I love you, Biya..."
**********
KOMENTAR DAN VOTE GA SUSAH KAN?
KAMU SEDANG MEMBACA
Hijrah, Pernikahan dan Sebuah Kepulangan
Fiksi UmumAbela maryam, seorang wanita muda yang menjadi muallaf. Keputusannya menjadi muallaf membuatnya di buang dari keluarganya dan harus mencoba hidup baru di Jakarta. Dia menjadi muallaf awalnya untuk seorang pria yang pergi jauh untuk menempuh pendidik...