EPILOG

322 12 0
                                    

Daun-daun mulai gugur di musim kemarau
Dahan nampak kering dari ujung sana
Aku mengenalnya saat angin berhembus mesra di titik geliku
Dadaku mulai kembang kempis tak karuan
Kau membuatku tersenyum sepanjang hari
Tak lama, hujan menerpa
Tetes demi tetes mengalir di wajahku
Bersamaan dengan air mata
Takdirku, menyakitkan
Semua kebahagiaanku menguap perlahan
Masa kecilnya menghujam jantungku
Tetapi,
Titik gelapku terang karena kedatangannya
-
Sebuah kertas bertuliskan puisi terselip di dalam diary Ais, sahabat kecil Fera. Dadaku sesak karena menahan air mata yang seari tadi menggumpal di pelupuk mata. Perasaanku benar-benar keruh. Untaian kenangan kembali menari-nari di otakku.
Hari ini tepat 40 hari kematian Fera. Aku sengaja mengurung diri di kamar Fera. Kasur dan bedcover masih berwarna putih dan biru bersih. Dinding putih, sofa kecil di sebelah pintu yang biasa Fera gunakan saat membaca buku dan meja belajar yang biasanya berantakan kini tertata rapi.
Aku beranjak menuju ranjang Fera. Kuusap bantal dan kupeluk guling Fera. Baunya masih sama atau mungkin takkan pernah berubah.
"Miko," panggil seseorang dari arah pintu, membuatku berbalik.
Aku mendapati Linda yang tersenyum manis, matanya menatapku sendu. "Kita nungguin kamu," katanya.
Aku mengangguk perlahan, lalu bergerak menuju pintu. Untuk kesekian kalinya, aku menoleh ke kamar Fera sambil menyunggingkan senyum terbaikku.
"Terima kasih," ucapku seraya menggenggam puisi milik Fera.

My DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang