21. ANGIN KENANGAN

221 14 0
                                    

Pemakaman Fera usai. Aku masih shock. Kepergian Fera yang tak terduga membuatku benar-benar terpukul. Sungguh mengejutkan jika mengingat kondisi Fera kemarin. Kondisinya yang kian membaik mendadak berubah kritis. Aku semakin tak percaya, padahal Fera masih memanggil jelas namaku. Ia tersenyum, meskipun kilatan matanya penuh rasa sakit.
Aku berjongkok dan menggenggam batu nisan. Mataku pedih saat membaca nama yang tertulis di batu itu. Sejak tadi aku menahan tumpahnya air mata. Kualihkan mataku ke pusaran Fera yang penuh bunga. Tanpa kusadari, sebelah tanganku meremas gundukan. Gundukan yang membuatku tak bisa melihat senyumnya, matanya dan suaranya lagi. Taburan bunga itu seakan menertawakan kegetiranku. Pohon kamboja yang tertanam di sebelah nisan Fera memberi sekat, Fera benar-benar pergi.
Papa Fera menepuk bahuku pelan, membuatku menoleh padanya. "Nak Miko, terima kasih banyak ya, untuk semuanya," ucapnya lirih seraya tersenyum lelah.
Papa Fera pergi bersamaan dengan Dani, Tio dan Nadin yang nyaris pingsan. Tak kuasa lagi, air mataku tumpah. Dadaku sakit dan sesak. Aku mencium nisan Fera dengan seluruh pecahan-pecahan remuknya hatiku.
"Dia pernah bilang ke gue, kalo lo gak bakalan bisa ngejar dia, apalagi nunggu. Dan, setelah itu, lo bakalan jadi milik gue sepenuhnya," ucap Linda sembari menyeka air matanya, "gue gak ngerti ucapannya saat itu. Tapi sekarang, gue ngerti. Kematian. Kematian yang dia maksud. Dia pergi untuk selamanya ninggalin elo, dan dunia ini. Gue jahat kan, Mik. Gue mau rebut lo, saat dia kesakitan," lanjutnya dengan suara miris.
Linda kembali menangis dengan menangkup kedua tangannya ke wajah. Matanya sudah sembap namun air mata terus mengalir.
Rahangku mengeras, menahan emosi. "Gue berkali-kali bilang, kalo gue bakalan ngejar dia, kemanapun dia pergi. Tapi, dia pergi ke tempat yang gak bisa gue kejar. Gue juga bilang, kalo gue gak bisa hidup tanpa dia.
"Mungkin sekarang gue masih hidup, tapi gak bakalan sama. Dia pergi membawa hati gue yang tersimpan utuh. Dari awal gue ketemu dia, hati gue tersentuh. Dia berhasil bikin gue terbang. Dia tumpuan hidup gue. Tapi setelah ini, gue gak yakin bisa mencintai orang lain dengan cara sempurna seperti gue mencintai dia. Hidup memang gak adil kan, Lin?" tanyaku, seulas senyum terlintas di bibirku.
Fera pergi bersama kencangnya angin yang membawanya terbang ke surga. Tetes demi tetes, air turun dari langit. Semakin lama semakin deras. Dunia berduka. Langit menangis, seakan-akan ikut merasakan pedihnya hatiku. Luka semakin menganga, dan tak akan kunjung sembuh. Taburan bunga hanyut. Bau tanah basah semakin menyengat.
"Miko," panggil Linda, "kita balik sekarang."
Aku mengangguk perlahan lalu bergerak pergi. Sekali lagi, aku menoleh ke arah makam Fera. Aku berjanji, takkan meninggalkan apapun dari masa lalu. Aku akan hidup bersama kenanganku dan kenangannya. Selamanya.
Angin berbisik lembut di daun telingaku. Samar-samar, aku mendengar suara Fera berkata, "Aku mencintaimu."

My DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang