Aku mengerjapkan mata berkali-kali. Kepalaku sangat berat. Di mana aku? Seingatku tadi pemakaman. Tapi, kenapa aku sekarang di kamar? Pasti aku pingsan. Aku mencoba duduk. Tiba-tiba sebuah lengan membantuku. Aku menoleh dan mendapati Miko yang tengah tersenyum menatapku.
"Makasih," ujarku.
"Kenapa sih lo nyiksa diri elo sendiri?" kata Miko.
Aku menatapnya tajam. "Apa maksud lo?"
"Kenapa lo nyiksa perasaan lo sendiri?"
"Gue baik-baik aja!" ucapku mencoba tenang.
"Lo gak bakat berbohong."
"Gue gak bohong!" sentakku.
"Lo bohong!" balas Miko.
Aku tertegun. Miko, marah. Dia sangat marah. Kenapa? Apa karena aku tak mengakuinya? Tapi apa perlu dia marah. Ini perasaanku, bukan perasaannya.
"Maafin gue. Maafin gue," ucapnya lirih.
"Pergi lo! Pergi dari kamar gue!" bentakku.
Miko menggenggam tanganku. "Fer, gue mohon mengertilah! Gue cinta sama lo, dan lo juga cinta sama gue! Lupain janji-janji itu! Lupain! Ais udah mati Fer! Ais udah ninggalin elo. Ais-"
"DIAM!! Berani-beraninya lo jelek-jelekin Ais! Lo gak tau apa-apa! Ais segalanya buat gue! Ais sahabat gue! Gak ada yang bisa gantiin Ais! Dan lo inget baik-baik, Ais gak pernah ninggalin gue!" geramku.
"Ais udah mati, Fer!"
PLAK!!!
Aku menampar pipinya. Emosiku memuncak. Hatiku geram. Sudah cukup dia mengolok Ais. Dia keterlaluan. Aku gak nyangka Miko berani menjatuhkan Ais di depanku. Padahal, dia orang pertama yang dipuja Ais.
"Lo gak punya hati! Lo jahat!"
Aku memukul bahu Miko, tapi, dia malah merengkuhku. Air mataku mulai menetes bersamaan dengan perihnya hatiku.
"Maafin gue Fer," Miko mencium puncak kepalaku, "gue tau lo cinta sama gue. Lo cuma butuh waktu buat nerima semua ini. Lo hanya gak bisa lepas dari masa lalu elo. Gue bakal nunggu elo, Fer. Sampai kapanpun itu! Gue janji! Gue gak bakalan ninggalin elo! Sekalipun lo pergi, gue bakal terus kejar lo! Karena lo gak bisa nahan perasaan gue!"
Ucapan Miko benar-benar menyentuh hatiku. Semua benar. Aku hanya tak bisa lepas dari masa lalu.
*
"Ayu, lo udah sarapan?"
Aku mengangkat muka dari buku lalu menatap Nadin. Ia membawa sepiring nasi goreng dan segelas air minum.
"Gue bisa ambil sendiri kok, Nad. Lo gak usah repot-repot bawain sarapan segala," ucapku seraya melepas kacamata yang bertengger di hidungku.
Nadin tertawa. "Gak apa-apa lagi."
Aku memegang tangannya saat meletakkan piring dan gelas di meja belajarku. "Nad, lo gue ajak tinggal serumah tujuannya agar gue bisa deket sama lo. Gue juga butuh temen kayak elo. Bukan buat jadi ... pembantu gue. Gue mohon, lo jangan lakuin ini lagi. Gue masih bisa ambil makanan sendiri," ucapku pelan.
Mata Nadin berkaca-kaca. Aku berdiri kemudian memeluknya erat. "Lo udah gue anggap saudara. Meskipun gue sakit tapi gue masih bisa ambil makanan sendiri kok. Lo tenang aja, gue gak selemah itu."
Nadin mengurai pelukanku. Ia menatapku sendu. "Lo orang baik, Fer. Harusnya lo gak perlu nanggung penyakit ini!"
"My destiny!"
Aku beranjak menuju meja rias, kemudian duduk menatap kaca. Nadin mengikutiku lalu menyisir pelan rambutku. Persis seperti seorang ibu menyisir anaknya yang manja.
"Fer, gue memang gak pernah ada di masa lalu elo. Gue juga gak bisa ngerasain apa yang terjadi sama elo. Tapi, elo bener-bener mulia Fer, gue kagum sama elo. Gue bangga punya sahabat kayak elo. Gue pengen jadi elo."
"Gak mudah jadi gue, Nad."
"Gue tau, makanya gak ada satu manusia pun di dunia ini yang kayak elo."
"Gak ada yang semiris hidup gue kan, Nad?" tanyaku.
Gerakan sisir Nadin berhenti tepat di belakang telingaku. Matanya kembali berkaca-kaca. Tak lama sisir terlepas dari genggamannya, kemudian jatuh ke lantai. Air mata Nadin mulai meleleh, ia menutup mulut dengan kedua tangannya.
Aku memutar tubuhku. "Ada apa?"
Sebelum menjawab pertanyaanku, Nadin melesat pergi dari kamarku. Ada apa sebenarnya? Aku memutar tubuhku kembali menatap cermin. Tanganku memegang bagian belakang telingaku. Dan benar, terdapat benjolan yang seingatku tak pernah kumiliki.Air mataku jatuh tanpa komando. Hatiku terasa diremas tanpa henti. Tanda-tanda itu mulai muncul. Benar kata Nadin, mengapa harus aku yang menanggung penyakit mematikan ini? Sejujurnya, aku tak mampu menghadapi. Tapi, bagaimana lagi, Tuhan telah menggariskan penyakit ini padaku.
Aku menenggelamkan wajah pada kedua tanganku yang terlipat di atas meja. Sungguh, aku tak bisa menerima ini. Semua begitu menyakitkan. Berapa lama lagi aku hidupku? Mengapa? Kenapa? Oh Tuhan. Seandainya waktu bisa diputar ulang. Aku takkan melakukan hal bodoh itu. Tapi aku tak bisa membenci masa lalu, bagaimanapun separuh jiwaku tertinggal di sana.
*
Aku terlentang di atas ranjang. Mataku menerawang jauh. Kejadian tadi pagi sangat mengguncang hidupku. Batuk darah kemudian pingsan. Tapi, bukan hanya itu saja, aku divonis kanker. Kanker kelenjar getah bening. Ternyata, Tuhan belum selesai dengan rencananya. Tuhan masih menghukumku, mungkin.
Aku tertawa miris saat mendengar penuturan dokter.
"Bagaimana itu bisa terjadi, Dok?" tanya Papa.
"Kanker kelenjar getah bening atau kanker limfoma sangat umum dijumpai pada penderita HIV. Kanker ini asalnya berada dalam sel darah putih. Lymphomacytes yang merupakan sel darah putih berfungsi melawan infeksi, namun ketika ada masalah dengan sel darah putih ini, sel lymphoma berkembang biak dan berkumpul di kelenjar limpa," jelas dokter.
Aku mendengar Nadin menghela napas. "Seberapa parah kanker Ayu, Dok?"
"Setelah melakukan serangkaian tes darah, Biopsi, X-ray dan CT Scan pasien Ferayu positif terkena kanker limfoma stadium dua. Kanker menyerang salah satu kelompok noda limfa bagian atas."
"Dokter, saya mohon sembuhkan anak saya. Bagaimanapun caranya!" mohon Papa.
"Kami akan berusaha sebaik mungkin."
Kupejamkan mataku rapat-rapat. Penderitaanku belum berakhir. Aku merasa putus asa untuk hidup. Detik-detik kematian seakan melambai tepat di depan wajahku. Tetapi mengingat harapan dan usaha mereka untuk kesembuhanku, rasanya aku berdosa sekali.
Perjalanan menuju rumah terasa lama. Sudut kota seakan menangisiku. Menangisi nasibku. Sunyi dan gelap, itulah suasana hatiku. Harapanku kian melebur sedikit demi sedikit. Dan, perasaanku mulai pecah dan berantakan.
Rintikan hujan mulai memburamkan pandanganku. Kaca mobil pun mulai berembun. Namun kepalaku tetap kusandarkan. Nadin mengusap air mataku, tangannya mulai merengkuh bahuku. Tak ada kata yang terucap. Sudah cukup langit yang menangis.
Hujan masih deras saat aku memijakkan kaki ke rumah. Nadin mencoba memegangiku, tapi aku menepisnya lembut. Aku tak sanggup melihat mata Papa dan Nadin. Firasatku berkata mereka sangat menahan tangis. Sudahlah, bagaimanapun aku harus menerima penderitaan ini. Penderitaan orang penyakitan.
Pintu terbuka. Aku melihat Kak Dani, Tio dan Miko. Yeah, saat ini aku tak sanggup menghadapi mereka. Sudah cukup pertunjukan hari ini. Aku tak ingin melihat mereka bersedih, atau parahnya menangis. Aku berlari menuju kamar dan segera menguncinya. Kakiku bersimpuh di depan pintu. Air mataku mulai menyeruak kemudian menetes deras.
Tak lama, pintu kamarku diketuk. Tanganku tak berniat untuk membukanya. Aku ingin sendiri. Aku tak bisa berpura-pura tegar. Aku tak sanggup memasang senyum palsu. Aku tak mampu!
"Ayu, gue Tio. Gue sendirian," ucapnya.
Aku masih bergeming.
"Gue tau lo nangis. Gue tau lo gak kuat nerima kenyataan. Tapi, bukan berarti lo menyerah. Gue, Papa lo, Dani, Nadin, Miko bahkan Ais yakin kalo lo bisa melewati ini semua. Gue yakin."
Air mataku semakin deras. Harapan kalian terlalu tinggi. Aku tidak tau berapa lama lagi aku akan hidup, hidup diantara dunia kalian. Yang pasti, aku lemah saat ini.
"Ayu, lo gak penasaran gimana gue tau penyakit lo bahkan sebelum lo kecelakaan. Ck ... gue membenci saat itu," ujar Tio.
Aku terpaksa membuka pintu demi secuil rasa penasaran di benakku. Dan benar, Tio sendirian. Ia tersenyum, tetapi matanya memancarkan kesedihan yang mendalam. Aku memalingkan wajah tak sanggup menatapnya. Setelah kututup pintu, aku duduk bersandar di dinding, begitupun dengan Tio.
"Dua tahun lalu, sebelum pergi ke Jepang, gue balik ke Semarang demi nemuin lo dan Ais. Hati gue bahagian banget, tapi tiba-tiba kebahagiaan gue menguap, saat gue tau Ais mati dan lo ... pergi. Rasanya gue gak percaya. Padahal rumah itu masih ada. Taman bermain kita masih ada," Tio mengusap air matanya, "gue shock, kaget juga menyesal. Gue pikir gue mimpi. Gue nemuin ini di kamar Ais."
Tio memberiku buku diary yang sangat kukenal. Diary dengan cover anime berwajah kami berempat -Aku, Ais, Tio, Kak Dani- yang digambar semirip mungkin. Diary milik Ais. Ais si pecinta anime. Air mataku mulai meleleh. Diary ini kusam, kertas-kertasnya sudah sangat lecek. Tetapi, tulisan cakar ayam Ais masih jelas terbaca. Tempelan solasi kertas ada di mana-mana karena robek. Bahkan tempelan bunga matahari yang digunting oleh Ais masih ada di belakang diary itu.
Aku memeluk erat diary Ais, berharap pemiliknyalah yang kupeluk. Kubiarkan Air mataku mengucur deras. Hatiku terasa sakit. Sakit karena merindukan Ais, Aisku yang malang. Aisku yang cantik. Aku merindukan masa lalu.
"Gue nemuin diary itu di kamar Ais beserta ini."
Kali ini Tio mengeluarkan sebuah jarum suntik. Aku tersentak. Benda itu, benda yang merenggut Ais dan kini akan merenggutku juga dari dunia. Aku menjauh dari benda itu. Aku tak berani mendekat. Jarum itu masih sama seperti dulu. Bahkan, retakannya masih ada karena aku sendiri yang menginjaknya. Benda setan itu kembali dan membuatku bergidik ngeri. Tio menyimpannya kembali saat melihat reaksiku.
"Gue tau Ais meninggal karena overdosis. Gak perlu lo tanya gue tau dari siapa, banyak yang bilang ke gue. Dan, kemudian lo pergi dari Semarang. Sialnya, gue cuma punya waktu seminggu. Gue harus pergi ke Jepang dengan hasil sia-sia. Gue gak nemuin elo."
Tio menghela napas, lalu menggenggam erat tanganku. "Gue tau penyakit elo dari diary ini. Gue bersyukur Ais gak pernah melewatkan waktu seharipun untuk menulis diary. Sekarang, diary ini gue kasih ke elo. Gue tau, gue bukan pemilik diary ini, gue cuma nemuin aja. Seharusnya lo yang pegang diary ini, karena lo lebih mengenal Ais daripada gue ataupun Dani," katanya.
Mataku menatap nanar mata Tio. Beginikah jalan hidupku. Aku tak bisa terlepas dari masa lalu. Seandainya aku bisa melumpuhkan ingatanku sejenak. Aku ingin bebas tertawa, menari, berlari dan ... semuanya. Aku ingin menikmati hidup yang benar-benar hidup. Bukan hidup yang sudah diperkirakan kematiannya.
"Lo bisa baca diary ini. Gue gak bakalan ganggu elo," tambahnya lalu pergi.
Aku menatap punggungnya yang semakin menjauh lalu menghilang di balik pintu. Tio meninggalkanku. Ya, sebentar lagi aku yang akan meninggalkannya. Tanganku membuka lembaran-lembaran diary Ais. Aku membacanya perlahan tanpa melewatkan satu kata pun. Mulai dari masa kecil Ais, tentang laki-laki yang dikaguminya, tentang pertengkaran-pertengkaran hebat kedua orang tuanya dan terakhir tentang ketergantungannya pada obat-obatan terlarang.
-
17 April 2009
Diary, aku punya teman baru. Kamu jangan ngambek ya! Tapi tenang saja, kamu masih teman terbaikku. Hihihi...
Diary, kamu tau gak? Tadi pagi, aku terpaksa pergi ke sekolah dengan jalan kaki. Papa dan Mama bertangkar lagi. Guci kesayangan Mama di lempar Papa. Dan, Papa menampar Mama. Mama lagi-lagi menangis, Diary. Aku ingin lindungin Mama, tapi aku pasti dihajar duluan sama Papa. Diary, kenapa Papa selalu marah-marah sama Mama? Apa salah Mama? Mama Ais baik. Mama Ais sayang sama Papa. Tapi, Papa jahat, dia selalu kasar sama Mama. Diary, kenapa keluargaku jadi begini ya?
Tapi tenang aja, aku bisa menghindar dari pertengkaran Papa dan Mama yang hampir setiap hari. Bahkan, setiap waktu. Aku sudah bilang kan tadi, aku punya temen baru. Aku akan merasa tenang saat bersama teman baruku itu. Dia kecil dan imut, warnanya putih dan bentuknya lucu-lucu. Aku jadi gemes. Ada yang bergambar senyum dan bunga matahari. Tapi, aku sedih. Bilang Ayu, temanku itu berbahaya. Ayu sampai marah-marah sama aku, dia membuang teman baruku ke selokan.
Tapi, aku mendapatkannya kembali beserta pasangannya. Dia sangat tajam. Bilang penjualnya biar lebih gampang. Aku jadi penasaran. Udah dulu ya. Aku mau coba temen baruku dulu. Bye.
-
Air mataku kembali tumpah. Ternyata benar, Ais kembali mendapatkannya. Tanganku bergetar membuka halaman selanjutnya.
-
19 April 2009.
Diary, maaf ya, aku kemarin lupa gak nengok kamu. Soalnya aku lagi bahagia banget. Kamu tau, teman baruku itu sangat luar biasa. Aku bisa melupakan semua masalahku. Ternyata dia kecil-kecil caberawit ya. Hehehe ...
Eh, udah dulu ya Diary. Aku mau main sama teman baruku lagi. Bye.
-
Tanganku terus membuka halaman diary tersebut hingga berhenti di kertas yang terdapat tetesan darah. Darah yang sudah mengering, dan warnanya mulai kabur.
-
28 April 2009
Diary, aku jahat!
Tadi Ayu tidur siang di kamarku. Ayu benar-benar lelah. Aku sampai kasihan melihatnya. Aku memasakkan mie instan buat Ayu. Tiba-tiba Papaku datang, aku ketakutan hingga lupa mematikan kompor karena aku terburu kembali ke kamar. Papa berteriak memanggil Mama. Papa marahin Mama gara-gara aku lupa mematikan kompor. Mama nutupin kesalahanku, dia bilang kalau dia lupa. Padahal aku yang salah.
Pertengkaran mulai lagi. Aku tak tahan. Aku mengambil teman baruku lalu menyuntikkannya pada lenganku. Seperti biasanya. Tiba-tiba aku teringat Ayu, dia masih tidur. Ayu pasti marah kalau aku ketahuan menggunakan teman baruku lagi. Aku saat itu ndak sadar. Tapi kemudian Ayu bangun, tapi terlambat teman baruku sudah masuk ke dalam tubuh Ayu.
Ayu marah dan menangis. Ayu mengambil teman baruku lalu diinjak. Kemudian Ayu keluar kamarku tanpa bicara apa-apa. Mungkin Ayu benci sama aku.
Maafin Ais. Gara-gara Ais, Ayu pergi.
Diary, Aku melukai jari manisku. Supaya Aku bisa lebih tenang. Bye.
-
Aku menghela napas panjang, napasku sesenggukan. Ais benar-benar tega padaku. Secara gak sadar dia memasukkan jarum suntik ke tubuhku saat aku tidur. Bagus! Tapi, bagaimanapun juga, aku tak bisa membencinya.
-
2 Mei 2010
Diary,
Mama ninggalin Ais. Mama mati! Gara-gara Papa. Mama bunuh diri. Ais benci Papa!
-
Tanganku sampai di lembar terakhir. Sudah tak terhitung berapa banyak air mataku yang tumpah. Diary ini seakan-akan membawaku kembali ke masa lalu. Masa lalu Ais.20 Mei 2010
Diary,
Hidupku sepi. gak ada Mama. Gak ada yang nyiapin sarapan Ais. Gak ada yang manjain Ais. Dan gak ada pertengkaran-perteng karan lagi. Papa semakin menjauh dariku. Papa gak pernah pulang ke rumah. Aku merasa menjadi anak yatim piatu. Hiks.
Diary, mungkin setelah ini aku gak bakalan nengok kamu lagi. Ais pengen pergi jauh. Jauh sekali. Ais pengen nyusul Mama. Tapi, Ayu bakalan kesepian. Ayu bakalan sedih.
Oh ya, diary. Ais benar-benar jahat. Tadi pagi ada acara donor darah di sekolah. Ayu nyumbangin darahnya. Tapi, tiba-tiba pak dokter manggil Ayu. Sekeluarnya Ayu dari bilik kesehatan, Ayu bilang kalo dia positif HIV. Penyakit mematikan itu, pasti gara-gara Ais. Gara-gara teman baru Ais. Ayu menangis, sampai matanya bengkak.
Diary, Ais udah jahatin sahabat terbaik Ais. Ais ndak pantas hidup lagi.
Ayu, pengen banget Ais bikin Ayu bahagia. Ais pengen liat Ayu pake baju pengantin kaya barbie Ais. Tapi Ais gak bisa, Ais harus ninggalin Ayu.
Sampein salam Ais sama Ayu ya, Diary. Bye.
-
BRUK!!
Diary Ais jatuh di lantai. Tubuhku bergetar begitupun dengan tanganku. Air mataku yang hampir kering kini kembali deras. Ais, begitu banyak kenangan tentangnya. Seakan mengikutiku kemana pun aku pergi dan di mana pun aku berada. Kenapa dia harus meninggalkanku, bila setiap kenangannya tak bisa lepas dariku.
Aku menekan dadaku perih. Rasa sakit ini benar-benar membuatku menderita. Menyesakkan dadaku. Memenuhi seluruh rongga paru-paruku. Bisakah aku melepas rasa pedih ini? Perasaan kehilangan kembali menyeruak. Tak ada lagi kesempatan, semua sudah pergi dan takkan kembali lagi.