Aku memandangi foto kebersamaanku dengan Miko. Sungguh, aku merasa bersalah. Menolak cinta Miko sama halnya membunuh perasaanku sendiri. Keberadaannya seakan membunuh bibit-bibit janjiku pada Ais. Bayangan canda tawa bersama Miko memenuhi ilusiku. Saat Miko menangis di pundakku, mengacak-acak rambutku dengan gemas, dan saat dia mencium bibirku. Ya Ampun! Kenapa pipiku panas. Aku menggeleng-gelengkan kepala mencoba menghapus bayangan semu itu. Argh! Kuakui, semua terasa manis.
"Ayu," panggil seseorang di balik pintu.
"Tunggu sebentar!" seruku. Aku membuka pintu dan mendapati Papa tengah tersenyum memandangku.
"Papa boleh masuk?"
"Gak boleh," jawabku seraya menggelengkan kepala.
Papa menganga. "Ayu ngerjain Papa ya!"
"Lagian Papa ada-ada aja. Mau masuk kamar Ayu aja masih pamit."
"Papa kan takut melanggar privasi room Ayu."
"Ah, Papa bisa aja," ujarku sambil menarik Papa masuk.
Aku memeluk guling di atas ranjang. Papa meneliti setiap inci kamarku. Tiba-tiba mata Papa berhenti di atas meja belajarku. Sial! Aku menepuk kening lalu segera mengambil foto-foto yang terpapar di atas meja.
"Gak usah di sembunyiin gak apa-apa kok," ucap Papa seraya tersenyum jahil.
Aku memalingkan muka untuk menyembunyikan pipiku yang panas. "Papa apa-apaan sih!"
Papa terkekeh lalu mengusap rambutku manja. "Ayu, kamu tau artinya pengorbanan dan perjuangan?"
"Em ... gak sepenuhnya sih, Pa. Memang kenapa?"
"Kira-kira perjuangan dan pengorbanan sama gak?"
"Jelas nggak lah, Papa."
"Jadi bedanya di mana?"
"Kalo perjuangan itu artinya kita berjuang untuk mencapai apa yang kita inginkan. Tapi, kalo perngorbanan itu artinya kita rela berkorban demi sesuatu yang ... yang istimewa mungkin," jelasku.
"Mama dulu berjuang dan berkorban buat Ayu, anak kesayangan Papa. Kalau Mama masih hidup, dia pasti kembali berjuang buat Ayu bahagia apapun yang terjadi," kata Papa seraya tangannya mengambil foto Mama yang terletak di samping ranjang lalu diusapnya perlahan.
Mataku berkaca-kaca menatap foto Mama. Papa benar, pasti Mama takkan membiarkanku bersedih apalagi menderita seperti sekarang. Tapi kenyataannya, aku harus berjuang sendirian. Tanpa suara dan belaian Mama.
"Kadang perjuangan didampingi pengorbanan. Kita harus berjuang dan berkorban di waktu yang bersamaan," papar Papa.
Aku tertegun. Ucapan Papa seratus persen benar. Dan rasanya Papa menyindirku dengan cara halus. Aku melirik foto yang kusembunyikan di bawah guling. Ujungnya menyembul. Kutarik pelan hingga foto terlihat jelas. Lalu kunaikkan ke pangkuanku.
"Pa, Ayu tau. Miko sayang banget sama Ayu," ucapku seraya mengusap foto Miko, "tapi Ayu gak mau jadi pengkhianat. Ayu gak pengen ingkar janji." Air mataku menetes pelan.
Papa mengusap air mataku lembut. "Papa mengerti, dari dulu Ayu selalu tepat janji. Papa bangga punya putri kayak Ayu. Hanya, Papa kasihan sama Nak Miko. Dia setia nunggu Ayu. Miko sangat sayang sama Ayu, bahkan mungkin melebihi rasa sayang Papa.
"Kemarin Papa melihat Miko melamun. Papa gak tau apa yang dipikirkan, Papa hanya melihat kertas origami berbentuk hati di bawah kaki Miko. Tapi, kertas hati itu ... seperti sebuah robekan yang kemudian disambung kembali," jelas Papa.
"Robekan?" ulangku.
Papa mengangguk. "Tepatnya hati Miko yang robek lalu dirapikan seperti sedia kala."
Aku menganga. Lidahku kelu dan tenggorokanku kering. Aku ingin bicara, tapi apa yang akan kubicarakan. Kata-kataku tertelan dengan sendirinya.
"Ayu sanggup kehilangan Miko?" tanya Papa.
Aku menggeleng cepat. "Tentu saja tidak, Pa. Ayu ... Ayu sayang sama Miko!"
Papa menepuk bahuku pelan seraya berkata, "Sebelum terlambat!" kemudian pergi meninggalkan pertanyaan di benakku.
Apanya yang sebelum terlambat?
Tiba-tiba otak dan perasaanku memando tanganku untuk menyobek secarik kertas dan menuliskan sebuah puisi sederhana, lalu kuselipkan dalam diary milik Ais.*
Aku berdiri di depan cermin full body memeriksa penampilanku. Dress, cardingan, high hells, gelang, anting-anting, cincin semua bernuansa peach. Rambut lurusku kugerai bebas dihiasi jepit berwarna peach pula. Aku tersenyum puas melihat penampilanku serasi. Kuputar badanku ke kanan dan kiri. Argh! Rasanya aku sangat bahagia hari ini.
Segera kulangkahkan kaki menuju meja rias. Kuoleskan bedak tipis-tipis lalu kububuhkan blush on untuk menyamarkan pipiku yang pucat. Terakhir, kusapukan lipglosh pada bibirku. Nah, sempurna.
"Aduh, yang mau kencan ribet bener."
Aku menoleh ke pintu. Nadin tersenyum geli sembari menghampiriku. "Apaan sih lo! Siapa juga yang mau kencan!" elakku.
Nadin terkekeh. Ia menatap wajahku sambil mengerutkan kening. "Lo bener-bener polos apa memang gak bisa dandan?" tanyanya.
Aku mengerling menatapnya. "Emang gue gak bisa dandan kok."
"Sini, gue benerin."
Nadin mengambil alih segala peralatan make up milikku. Ia menambahkan eyeliner dan eyeshadow pada kelopak mataku. Lalu dioleskannya maskara pada bulu mataku. Tak lupa juga pensil alis menyapu alisku.
Perasaanku was-was. Apa jadinya aku ini? Takut kalau-kalau wajahku mirip ondel-ondel. Membayangkan saja aku ngeri.
"Nah, selesai!" seru Nadin girang.
Perlahan kubuka mataku. Argh! Kenapa mataku terasa berat. Kemudian, aku tertegun melihat wajah di dalam cermin. Benarkah aku? Kutepuk pipiku pelan. Oh, ternyata benar. Wajahku terlihat berbeda, maksudku lebih cantik. Senyumku mengembang sempurna.
"Kayaknya lo bakat jadi tukang rias deh, Nad," gumamku.
Nadin mengerucutkan bibir. "Lo itu sebenarnya cantik, Fer. Kalau aja lo rawat," ucap Nadin, "makanya, lain kali poles tuh muka, biar gak datar melulu kayak tembok."
Terserahlah Nadin mau bilang apa, aku masih termangu melihat cantiknya wajahku. Benar-benar mengejutkan. Aku meringis. Selama ini aku tidak pernah menyadari aura kecantikanku yang terpendam.
"Sudah selesai dandannya?"
Aku tersentak melihat Miko bersandar di pintu dengan tangan dimasukkan ke dalam saku celananya. Pipiku panas dan jantungku mulai berdetak lebih cepat. Argh! Malunya.
"Tuh, pangeran lo udah nunggu," kata Nadin sambil menunjuk Miko.
Aku melototinya. Bisa-bisanya Nadin bicara seperti itu. Hey, aku semakin malu. Dasar norak!
"Yuk, berangkat!" Miko melirik jam tangannya, "nanti kesiangan malah macet."
Aku menghampiri Miko dengan wajah tertunduk. Sial! Kenapa aku gugup, efek kencan kali ya. Miko menggenggam tanganku. Darahku kembali berdesir hangat, jantungku kembali loncat-loncat kegirangan.
Tiba-tiba Miko mendekatkan bibirnya ke telingaku. Sekuat tenaga aku menahan rasa geli. "Lo, cantik!" ucap Miko.
Ya ampun! Rasa panas menjalar ke pipiku. Seperti ada mercon dalam dadaku. Untuk kesekian kalinya, Miko membuatku salah tingkah.
"Om, saya pergi dulu," pamit Miko.
Papa mengembang senyum. "Sip. Hati-hati ya," ucap Papa sambil mengacungkan jempol.
Kami berjalan menuju halaman. Keningku berkerut saat Miko membawaku masuk ke dalam mobil.
"Kok bawa mobil?" tanyaku.
"Iya dong. Gue yakin lo cantik hari ini, makanya gue bawa mobil."
Aku meninju bahunya pelan. "Emang dari dulu gue gak cantik?"
"Gak tau ya, soalnya setiap gue liat lo selalu pake cinta sih."
*
Aku duduk selonjoran di danau sambil menikmati ice cream. Miko duduk di sebelahku, matanya tak lepas dari wajahku.
"Emang gue cantik banget ya?" tanyaku.
"No! Lo itu ... sempurna," jawab Miko.
"Udah deh, gak usah norak!" Aku memalingkan muka sambil membuang bungkus ice cream.
Miko terkekeh. "Lo itu ya, lucu banget tau!"
Aku mengerucutkan bibir. "Bisa gak lo berhenti bikin gue kepedean."
"Sini deh." Miko menyandarkan kepalaku pada dadanya. Aku bisa mencium minyak wangi khas Miko. Dadanya bergemuruh sama halnya denganku. Menenangkan. Hidupku terasa nyaman setiap bersamanya. Seandainya, rasa ini abadi.
"Gue selalu menanti saat-saat seperti ini. Hanya berdua, gue dan lo," Miko mencium puncak rambutku, "Gue selalu ngerasa kehilangan setiap lo cuekin gue. Gak ada kebahagiaan selain liat lo ketawa. Dan saat lo nangis, hati gue serasa remuk, Fer.
"Dari awal gue liat lo, gue yakin kalo lo itu berbeda. Lo cewek yang kuat, tegar dan ... spesial. Gue tanam nama lo di hati gue. Sampai saat ini pun, setelah gue tau semua tentang lo, gue masih yakin kalo lo kuat. Lo pasti kuat. Lo bisa lewati ini semua." papar Miko.
Mataku berkaca-kaca. Tak pernah aku selemah ini di depan Miko. Diriku selalu mencoba tegar, walau rasanya hancur berantakan. Benarkah aku bisa melewati ini semua? Bahkan setelah enam tahun berlalu seperti angin.
Miko mengurai pelukannya lalu memegang kedua pipiku seraya berkata, "Lo janji bakalan kuat kan?"
Aku menatap matanya yang penuh dengan ketulusan. Bisakah aku berjanji setelah semua berlalu dengan begitu menyakitkan? Air mataku menetes. Aku tak sanggup berjanji hanya karena takut menyakiti kesungguhan hatinya. Aku tak ingin menanam harapan palsu yang kemudian berbuah kepahitan.
"Gue ... gue-" suaraku tercekat.
"Lo janji kan?" ulangnya.
Aku melepaskan tangannya kemudian memalingkan wajah. "Maaf! gue gak bisa. Mungkin, gak pernah bisa!"
Miko menghela napas panjang. Ia kembali memelukku erat. Aku menangis di dada bidang Miko. Tidak ada yang lebih tragis dari ini. Sebuah cinta yang tak berujung akan kandas dalam kematian. Sebuah janji akan pudar dari ikatannya.
"Setidaknya gue tau, lo selalu berusaha," ucap Miko lirih.
Tenggorokanku terasa semakin sakit seperti menelan bongkahan batu. Napasku tak beraturan karena terisak hebat. Air mata masih terus bercucuran. Miko semakin memperketat pelukannya.
"Sekarang gue pengen liat lo senyum," kata Miko sembari mengurai pelukannya.
Aku memaksakan senyum. Sorot mata Miko yang mengandung kepedihan perlahan mengendur.
"Nah gitu, kan tambah cantik."
Sekilas aku mencium pipinya. Miko sempat menegang tapi tangan jahilku mencubit pinggangnya. Aku terkekeh saat Miko meringis.
"Lo genit juga ya," kata Miko.
"Aih, kan gue belajar dari elo."
"Gue gak genit tau, tapi-"
"Norak!" potongku.
Miko cemberut membuatku geli. Aku tertawa renyah hingga tiba-tiba Miko mencium keningku sekilas.
"Lo tunggu sini. Gue mau beli makanan. Perut gue rasanya diskoan nih," ucapnya memelas.
Aku yang sempat mematung kembali terekekeh melihat wajahnya yang innocent.
Kurentangkan kedua tangan lebar-lebar sambil kupejamkan mata. Walau udara sangat panas, hatiku terasa sejuk. Ternyata kebersamaan ini sangat indah. Semoga hari ini tak cepat berlalu.
"Dari dulu aku sudah mengira, kalau Miko benar-benar mencintai kamu."
Aku terlonjak kaget hingga mundur. Linda duduk di sebelahku dengan muka kaku.
"Li-Linda," ucapku gugup.Linda tersenyum miring. "Kaget?"
"Kenapa kamu ada di sini?" tanyaku.
"Aku rasa ini tempat umum."
"Bukan itu, maksudku ... kamu di sini-"
"Aku sakit mata liat kemesraan kalian berdua!" bentaknya sambil menatapku marah.
Reflek, tanganku menekan dadaku kuat-kuat. Entah kenapa napasku sesak. Keringat dingin mulai bermunculan di dahiku.
"Aku tau posisiku di hati Miko hanya pelampiasan semata, gak lebih! Miko lebih milih kamu daripada aku. Secara gak langsung, kamu bikin hubunganku sama Miko berantakan. Dua kali! Dua kali kamu lakuin ini sama aku! Coba katakan, apa salah aku? Kenapa kamu lakuin ini? Kenapa?!"
Aku tertegun melihat air mata Linda meleleh. Setegakah itu aku padanya? Linda juga mencintai Miko. ia benar-benar mencintai Miko.
"Lin-"
"Selama ini aku pikir Miko akan menyesal karena lebih memilih kamu daripada aku. Tapi apa yang aku dapat! Lagi-lagi aku menemukan remukan hatiku sendiri. Kenapa Miko lebih mencintai kamu daripada aku? Apa kekuranganku?! Apa?!"
Aku memegang tangannya tapi Linda segera menghempaskan secara kasar. Ia manatapku tajam bak elang memangsa buruannya.
"Jangan sentuh! Aku gak mau disentuh kamu!"
Aku menunduk. Hatiku pedih hingga tak terasa air mataku ikut menetes.
"Kenapa harus kamu yang di hati Miko? Kenapa Miko terlebih dulu harus bertemu denganmu, bukan aku? Kenapa Miko mati-matian nunggu kamu? Kenapa Miko harus memiliki kamu? Kenapa?!"
Aku menatapnya berani. "Tunggu sebentar lagi, Miko pasti akan menjadi milik kamu," ucapku lirih.
"Bullshit!!" teriak Linda.
"Percayalah!"
"Tidak akan! Miko takkan melepaskanmu!"
"Aku yang akan melepaskan Miko!"
Linda tertawa hambar. "Kamu kira aku bodoh? Buta? Tuli? Miko pasti kembali mengejarmu!"
"Kali ini takkan bisa!" ucapku datar.
"Sudah cukup! Kamu-"
"Lo yang cukup! Gue bilang, kali ini Miko gak kan pernah bisa ngejar gue, apalagi nunggu gue! Lo bakal milikin Miko sepenuhnya. Sepenuhnya! Puas lo!" bentakku.
Linda diam. Ia menatapku seakan-akan menembus aliran air mata yang deras menyembul dari kedua mataku. "Terima kasih," ucapnya lalu pergi.
Tanganku mengusap air mataku dan berusaha menormalkan kembali napasku. Dadaku terasa sakit seperti ditekan kuat. Aku mencium bau amis dari hidungku sendiri. Darah. Dengan segera kuusap cairan menjijikkan yang mengalir dari lubang hidungku dengan tissu. Kuterlentangkan tubuhku hingga mimisan berhenti.
Dari kejauhan mataku melihat Miko berjalan mendekat dengan membawa bungkusan di kedua tangannya. Aku kembali bernapas lega. Beruntung Linda sudah pergi.
"Gue lama ya?" tanyanya.
"Gitu masih tanya, bete nih yang nunggu!" ucapku sebal.
Kening Miko berkerut. "Hidung lo kenapa? Kok merah gitu."
"Eh, gak apa-apa kok. Udah buruan mana makanannya, laper nih!" aku merebut nasi bungkus dari tangan Miko.
"Ya ampun, Fera! Sabar dikit napa," ujar Miko heran.
"Bodo deh!"
Tanganku segera membuka nasi bungkus, tapi aku sempat kebingungan karena tidak ada sendok di dalamnya. Sedangkan, milik Miko ada."Curang! Kenapa punya gue gak ada sendoknya?"
"Loh, kenapa marah sama gue sih? Mana gue tau. Coba lo tanya sama penjualnya."
"Pasti lo ambil ya, sendoknya!" tuduhku.
"Eh, enak aja! Kan lo sendiri yang ambil nasi dari tangan gue!"
Aku menggaruk tengkukku yang sebenarnya tidak gatal. "Jadi, gue makannya gimana dong?"
"Udah sini gue suapin!"
"Em ... gue-"
"Gue tau penyakit lo gak bakalan nular lewat air liur kok, Fer."
"Tapi-"
Miko mengangkat alisnya. Menyebalkan, mau tak mau aku harus membuka mulut.