5. MENCABIK HATI

163 10 0
                                    

Aku berjalan gontai menuju taman belakang kampus. Ucapan Kak Dani terngiang di otakku. Rela? Apa aku rela? Tidak, maksudku belum. Bagiku lima tahun seperti angin yang berhembus di padang ilalang. Yang tak pernah lelah menggoyang ilalang-ilalang senja. Sama halnya kenangan, yang tak pernah lelah menari-nari di otak rapuhku.
Oh Tuhan, seandainya aku tidak terlambat menyelamatkan nyawa Ais waktu itu. Seandainya Ais lebih tegar. Dan seandainya Ais bisa mengendalikan pikirannya. Semua hal pahit itu tidak akan terjadi. Semua akan baik-baik saja.
"Kak, bengong aja!"
Seseorang menendang lamunanku. Aku menoleh dan mendapati Linda tersenyum manis. Ia duduk di sebelahku membawa sebuah novel. Rambutnya yang lurus tergerai bewarna kemerahan mengayun terbawa angin. Mata sipitnya dihiasi bingkai tipis. Bibirnya mungil, dan berhidung lancip. Oh Tuhan, begitu indah ciptaanmu ini.
"Nama Kakak, Ferayu kan?" tanyanya. Aku mengangguk. "Kakak ngapain di sini? nunggu seseorang?"
Aku menggeleng. "Nggak, Cuma lagi suntuk aja. Pengen nyegerin pikiran. Kamu lagi nunggu seseorang?" Pipinya memerah. Aku menganggapnya sebagai jawaban 'ya' .
Suara batuk membuat kami membalikkan badan. Kali ini, aku melihat Miko sedang melipat tangan dan memandangku tajam. Uh! Hatiku meringis. Kenapa dia menatapku seperti itu? Apa salahku? Aku memalingkan muka. Mataku mulai panas.
"Linda, sepertinya kita cari tempat lain aja." kata Miko.
"Tidak perlu. Aku saja yang pergi!" Aku berdiri. Sebuah buku yang sedari tadi kupangku jatuh. Dan sialnya buku itu adalah buku keramatku. Aku segera mengambilnya dan berharap Miko tidak melihat.
Aku tergesa-gesa menuju parkiran. Aku ingin segera pulang. Hatiku benar-benar sakit. Mataku sudah tidak muat lagi menampung air mata. Kenapa masalah datang bertubi-tubi. Dan menghantam telak tepat di titik kelemahanku. Pertama masalah masa lalu, kedua masalah hati. Setelah ini apa?
Sebuah tangan mencekalku dari belakang. Memaksaku untuk membalikkan badan mungilku. Miko menatapku marah. "Lo ngomong apa sama Linda?"
Aku memandangnya sayu. "Gue gak ngomong apa-apa sama Linda."
"Gue tanya sekali lagi, lo ngomong apa sama Linda?"
Miko menghempaskan tanganku. Aku meringis kesakitan. "Gue udah bilang sama lo. Gue gak bilang apa-apa sama Linda!"
Dia teriak frustasi mengusap mukanya dengan kedua tangan. "Lo gak usah bohong!" bentaknya.
Aku tersentak. "Lo gak perlu teriak di muka gue. Apa maksud lo?"
"Linda pergi setelah lo pergi!" bentaknya, lagi.
Aku menatapnya tidak percaya. "Dan lo nyalahin gue?" aku menamparnya, "lo jahat! Emang apa yang bakalan gue omongin ke Linda tentang lo. Lo bukan siapa-siapa gue. Lo gak penting buat gue. Dan lo harusnya sadar dengan pertanyaan yang lo ajukan ke gue. Gue kecewa sama lo!"
Aku membiarkan air mataku meleleh. Cukup! Sudah cukup semuanya! Dia benar-benar tega padaku. Hatiku benar-benar hancur. Darahku mendidih melihat sikapnya. Dia benar-benar tidak punya hati. Dia berhasil membuat perasaanku berantakan.
Aku pergi meninggalkannya yang terdiam. Aku tidak sudi menolehkan wajahku lagi padanya. Kekecewaan dan kemarahan menyelimutiku. Tiba-tiba badanku terasa panas dingin, dan kepalaku pusing. Langkahku terhenti, tanganku merogoh mencari pegangan.
"Lo kenapa?" Miko berdiri didepanku. Ia terlihat cemas. Apa dia khawatir? Tidak! aku tidak memerlukan perasaan apapun darinya.
"Jangan sentuh gue! Lo pergi!" bentakku.
"Fera, badan lo panas!"
Aku menepis tangannya yang menyentuh dahiku. "Gue bilang jangan sentuh gue! Lo budek ya!" Samar-samar aku melihat Dona tak jauh dariku.
"Lo jangan-"

"Dona! Dona!" teriakku. Dona menoleh kemudian lari menghampiriku.
"Lo kenapa Fer? Badan lo panas." Dona menyentuh dahiku.
"G-gue-" lalu gelap.
*
Pening sedikit menghantamku saat aku terbangun. Tapi, tubuhku terasa lebih segar. Aku ada dikamar. Loh? Bukannya aku tadi di parkiran. Ah peduli amat, yang penting aku sekarang ada di tempat pribadiku. Hidungku mengendus bau minyak kayu putih. Siapa yang mengusapkan minyak kayu putih? Aku benci minyak kayu putih. Aku berlari menuju wastafel untuk mencuci hidung dan pelipisku.
"Nah, ini lebih baik," ucapku setelah bau minyak kayu putih itu lenyap.
Aku melanjutkan dengan membasuh muka lalu menggosok gigi. Tiba-tiba aku sadar kalau bajuku sudah ganti. Aku mencoba mengingat. Apa aku sempat siuman? Rasanya tidak. Apa orang pingsan bisa ganti baju sendiri? Mustahil. Lalu? Kalau yang mengantarku pulang Dona atau Miko? Kurang ajar betul mereka. Dan sudah pasti aku akan diapa-apakan.
"Lo udah sadar?"
Aku menoleh. Nadin menelitiku seksama. Tangannya membawa nasi bungkus yang kutebak isinya adalah nasi goreng. Tiba-tiba saja perutku menjerit. Aku lapar.
"Gue lapar. Itu makanan buet gue kan?" aku nyengir lalu merebut nasi bungkus tersebut.
Aku duduk menghadap TV sambil melahap nasi goreng. Nadin menatapku heran. Ia menyalakan Tv lalu dimatikannya kembali. Duduknya gelisah, aku tidak peduli.
"Lo ada masalah apa sama Miko?" tanyanya tidak sabar.
Aku tersedak saat Nadin bertanya. "Lo gak liat gue lagi makan? Kalo gue sakit gara-gara kehilangan selera makan, mau tanggung jawab lo?"
"Nafsu makan lo kayak gitu, makin gak yakin gue, kalo lo beneran sakit."
Aku meringis. "Gue benci sama dia!"
Nadin memiringkan kepalanya. "Masalahnya?"
"Dia nuduh gue, kalo gue memprovokasi Linda."
"Emang siapa Linda?"
Aku menyuapkan nasi goreng terakhir ke mulutku. Setelah minum, aku mengarah ke dapur untuk mencuci piring. Lalu mengambil cemilanku dan kembali duduk ketempat semula.
"Linda itu siapa?" tanya ulang Nadin.
"Mahasiswi semseter 1, kayaknya sih dia lagi deket sama Miko."
Nadin mengangguk, lalu kembali menyalakan TV sambil memakan beberapa cemilanku.
"Lo kok tau gue sama Miko-"
"Jelas tau lah, kan yang nganter lo ke sini, Miko. Dia bilang ke gue, kalo dia habis bertengkar sama lo. Terus gue gak boleh bilang, kalo yang nganter lo ke sini itu dia. Eh, tapi kok gue bilang sih? Gapapa deh, terlanjur."
Aku menganga. Dasar Nadin geblek! Tapi tunggu, yang nganter aku pulang Miko? Bukannya aku memanggil Dona saat itu? Terus Dona kemana? Masa' dia pergi gitu aja. Kan tega banget.
"Em ... Nad, yang nganter gue siapa lo bilang?"
"Miko."
"Yakin lo?" Nadin berdekhem. "Gak ada temennya?"
Dia memincingkan mata padaku. "Maksud lo?"
"Ya maksud gue masa' Miko sendirian? Kan gue pingsannya di kampus. Yang gotong gue siapa?"
"Oh, kalo itu sih gue gak tau, soalnya pas Miko nganter lo, kayaknya gue lagi terbuai mimpi. Dia ngetok kamar gue, bilang kalo lo pingsan gitu."
"Terus dia langsung pulang?"
Nadin menggeleng. "Nggak, dia masih nungguin elo. Dia perhatian banget sama lo. Dia yang ngasih lo obat. Dia ngusapin minyak kayu putih ke hidung lo, terus mijetin pelipis lo," Nadin tertawa kecil, "gue sebenernya mau ngasih tau, kalo lo gak suka minyak kayu putih, tapi gue mah gak tega. Abis dia romatis banget. Oh ya, gue disuruh gantiin baju lo. Terus dia juga kasih gue uang buat beli nasi goreng yang lo makan tadi."
Aku menganga. "Jadi ... jadi yang gue makan tadi, dari Miko?"
Nadin mengangguk seraya berkata, "Betul sekali."
"Kenapa lo gak kasih tau gue dulu?"
"Lo kan gak nanya. Lo ambil rebut gitu aja."
Aku mengubur wajah dengan kedua tanganku.
Nadin sialan!
*
Pagi ini hujan dan aku sangat bersyukur. Aku kembali melanjutkan ritual tidur cantikku. Selimut sutraku kembali kutarik hingga mengubur seluruh badanku. Hujan benar-benar surga untukku. Setiap tetesannya membuatku nyaman. Bau tanah basah menenangkanku. Udara yang berhembus dingin akan semakin mengencangkan selimutku dan kembali membuatku terlelap.
Tapi semua berakhir karena bunyi ponsel dan jam bekerku yang bersamaan. Tangan kanan aku keluarkan dari selimut untuk mematikan jam beker. Klik. Berhenti. Sekarang ponselku. Sialnya, aku lupa menaruh ponselku. Dengan berat hati, aku menyibakkan selimut dan mulai menjelajahi kamar.
Aku baru menemukan ponselku di atas kulkas saat panggilan ketiga. Mataku menyala membaca si pemanggil. Miko. Mau apa lagi dia? Belum cukup dia bikin aku sakit kemarin? Dasar cowok gak punya otak!
Aku melempar ponselku ke arah ranjang kemudian mengarah ke kamar mandi karena tidak tahan dengan panggilan alam. Setelah ritual mandiku selesai, Miko masih keukeuh menghubungiku. Aku benar-benar jengkel. Dengan kasar aku menjawabnya.
"Apa mau lo!" seruku.
"Gue ada di depan kos lo, sampe lo mau bukain pintu buat gue!"
Klik. Panggilan berakhir.
Aku mendengus sebal. Seenaknya saja dia begini padaku. Emang dia siapaku? Siapa juga yang mau bukain pintu buat dia? Ah, peduli amat. Setelah dia bersikap kasar padaku, sekarang jadi sok manis gitu? Menjijikkan.
Lamunanku terhenti saat mendengar suara petir. Hujan? Astaga. Di luarkan hujan. Aku mengintip Miko melalui jendela. Dia terlihat memeluk diri, bajunya basah kuyup dan badannya menggigil. Dasar bodoh! Apa mau dia sebenarnya? Setelah menjungkar balikkan hatiku sekarang dia berusaha bertemu denganku. Ah, biarin aja! Rasain sendiri akibatnya.
Suara petir kembali membuatku berfikir. Tapi dia yang merawatku kemarin? Dia tetap perhatian, walaupun aku marah dan menamparnya. Uh membingungkan! Aku buka sajalah, daripada dia sakit gara-gara menungguku. Aku berhutang padanya, setidaknya sekali ini saja.
Aku membuka pintu perlahan. Dan mendapati Miko tersenyum padaku. Aku terpaku. Sudah lama aku tidak melihat senyuman itu. Darahku berdesir hangat dan kakiku lemas seketika. Aduh! Fokus Fera. Fokus!
"Masuk," ucapku.
Miko mengikutiku masuk. Ia duduk sambil menggosok-gosokkan tangan. Suruh siapa nekat hujan-hujanan ke sini. Aku mengambilkan handuk dan memberinya baju dan trining olahragaku yang paling longgar. Aku membuatkan teh hangat untuknya. Entah mengapa aku melakukan semua ini.
Aku menahan tawa saat melihat Miko selesai ganti baju. Betul sih, baju dan trining olahragaku sangat longgar padaku. Tetapi, melihat ukuran tubuhku dan ukuran tubuh Miko harusnya membuatku berpikir dua kali.
Dia nyengir. "Kecil banget, Fer."
"Kalo gak mau, balikin sini!"
Miko duduk di sebelahku. "Jangan marah dong. Emang lo tega liat gue basah-basahan kayak tadi."

"Tega. Tega banget malah!"
Dia menghela napas lalu menatapku lembut. "Gue minta maaf. Kemarin gue udah nuduh lo yang nggak-nggak. Gue salah."
"Iya, lo emang salah!" timpalku.
"Fer, gue kemaren emosi. Lo bener-bener bikin hidup gue hancur. Tapi kejadian kemaren bikin gue sadar. Gue udah tau semuanya."
Aku menegang. Apa? Dia ... dia tau semuanya. Apa yang dia tau? Ya Tuhan, jangan sampai di tahu tentang hal itu. Aku mohon.
"Lo ... lo tau apa?" ucapku gugup.
"Dona," jawabnya.
Aku menganga tak percaya. "Dona?"
Miko mengangguk. "Gue tau. kalo lo sama Dona gak ada hubungan apa-apa."
Aku lega seketika. "Emang dari dulu gue gak ada hubungan apa-apa kok sama Dona."
Miko mengusap tanganku yang terdapat bekas luka. "Lo inget pas Dona nyatain cintanya di kantin? Lo tiba-tiba berhenti gitu aja. Gue kaget. Gue pikir lo ada hati sama Dona, maka dari itu gue sedikit jaga jarak buat lo," aku menggeleng tapi Miko tetap melanjutkan penjelasannya, "dan gara-gara luka ini gue nyamperin lo. Gue khawatir sama lo. Gue ngerasa bodoh mengabaikan perhatian lo di kantin. Gara-gara gue lo terluka, padahal saat itu gue bahagia di perhatiin elo, Fer.
"Malam itu, gue denger lo bilang mustahil kalo lo gak suka sama dia. Fix, gue gak tahan. Gue pergi. Dan sejak itu gue putuskan kalo gue bener-bener harus jauh dari elo," jelasnya.
Aku menggeleng. Hatiku terenyuh mendengarnya. Jadi, ini alasan dia jaga jarak denganku. "Kenapa lo ambil kesimpulan begitu cepat?"
"Itulah bodohnya gue."
Miko tersenyum miris. Tapi, setidaknya dia lega, kalo aku benar-benar tidak ada hubungan dengan Dona. Jujur saja, hatiku senang. Kesalahpahaman antara kita berdua akhirnya berujung.
"Gue boleh tanya gak, Fer?"
"Boleh aja."
Miko membuka mulut, lalu menutupnya lagi. Aku rasa ia ragu dengan apa yang akan ditanyakan. Aku sedikit gemas dengan tingkahnya.
"Lo kemarin serius. Kalo gue ... gue gak pernah penting buat lo?"
*

My DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang