"Fera, tunggu!" Aku memutar badan kemudian melihat Dona berjalan ke arahku.
"Ada apa?" tanyaku.
Dona memberiku setangkai bunga mawar merah. "Ini dari seseorang buat lo?"
"Siapa?" tanyaku.
"Mana gue tau, pokoknya ini buat lo. Di kampus ini yang namanya Ferayu, setau gue cuma elo."
Aku berpikir sebentar, menimbang-nimbang antara kuterima atau tidak. Dan akhirnya kuputuskan untuk diterima. "Gitu, thank's ya," gumamku. Dona mengangguk lalu pergi.
Aku meneruskan jalanku hingga memasuki ruangan kelas yang hampir seratus persen tidak menggubris keberadaanku menggenggam bunga.
"Dari sapa, Fer?" tanya Nadin.
Aku mengangkat bahu. "Mana gue tau."
"Emang lo dapat dari sapa?"
"Dari Dona, dia bilang dari seseorang dan gue gak tau siapa."
"Dona? Mahasiswa semester 5 itu. Ada suratnya gak?"
"Kayaknya gak ada deh."
Aku duduk sambil memandang bunga misterius itu. Bunga tanpa ada satu pesanpun. Ah, mungkin cuma iseng. Kusingkirkan bunga itu dengan membuangnya ke dalam tong sampah. Selesai.
"Ih, kenapa lo buang? Kan mubadzir tuh bunga. Bisa taruh di kosan tau!"
"Gue curiga tuh bunga ada mantra-mantranya. Soalnya gak ada suratnya."
Nadin berdecak seball. "Astaga Fera, lo kuno banget ya. Itu tuh romantis, Mysterous Guy!"
"Kalo gantengnya kayak Justin Timberlake sih gapapa, tapi kalo kayak si Loma. Aduh, bayangin aja gue ngeri."
"Iya sih. Tapi Fer, untung-untung bikin kita penasaran dan seneng tau."
"Gue yakin, pasti bunga itu ada peletnya."
"Kok bisa?"
"Iyalah, buktinya bikin lo kesemsem." Nadin melongo lalu memukul bahuku dengan tasnya.
*
Keesokan harinya saat aku memakirkan motorku, tiba-tiba seseorang menepuk pelan bahuku. Dona.
"Fera, eh, maaf ngagetin ya. Ini ada bingkisan lagi buat elo," katanya.
"Dari siapa lagi, Don?"
Dona menggeleng. "Gue gak tau siapa orangnya, dia ngasih ini ke gue buat disampein ke elo. Udah gitu aja."
"Tapi, setidaknya elo kenal lah dia siapa."
"Gue gak kenal dia!"
"Dia mahasiswa fakulltas ini kan?" Dona kelihatan ragu, namun cepat mengangguk. "Ya udah, sini."
Dona memberikan bingkisannya padaku lalu pergi. Aku memperhatikan kepergiannya hingga di ujung parkiran. Tidak puas, aku diam-diam mengikutinya hingga masuk ke dalam kelas. Namun yang kudapat nihil, Dona bersikap seperti biasa.
Aku berbalik dan menabrak dada seseorang yang tidak lain adalah Miko. "Aduh maaf," ucapku.
"Ngapain lo di kelas gue, cari gue ya? Pasti lo kangen. Gue baru datang nih." serunya sambil nyengir.
Aku memutar bola mataku kemudian pergi. Namun, pergelangan tanganku dicekal cepat. "Eh tunggu Fer, sorry gue bercanda kok."
"Gue gak ada urusan sama elo!" aku menghentakkan tanganku hingga cekalan Miko terlepas.
"Terus ngapain elo ke sini?"
"Emang ini fakultas punya bokap lo?" ucapku ketus, lalu pergi meninggalkan Miko yang menganga.
*
Kali ini, Dona mengantarnya tepat setelah jam kuliah berakhir.
"Sekarang apalagi?" ucap Nadin menunggu, sama halnya denganku.
Dona mengacuhkan Nadin, ia berdiri di depanku sambil mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Boneka beruang.
Aku dan Nadin melongo, tak percaya. "Ya ampun Dona, niat banget bawain Fera beginian. Emang elo gak malu bawanya. Gue baru tau kalo lo itu ...," Nadin menggantungkan ucapannya sambil geleng-geleng prihatin.
"Diem lo! Makanya gue taruh di tas biar gak ada yang tau!"
"Gue gak mau terima boneka itu!" ucapku dingin.
"Tapi lo harus terima!"
"Kok maksa sih, terserah gue dong mau terima atau nggak! Lagian sejak kapan lo jadi kurir gini?"
Dona menghembuskan napas berat. "Gue mohon terima, Fer."
Aku mendesah kesal. "Lo gak usah sok melas di depan gue, karena gue gak bakalan terima! Gak bakalan sebelum lo bilang siapa pengirimnya."
"Dari seseorang Fer, gue kan udah bilang!"
"Ini yang ketiga kalinya, Dona! Dan lo selalu bilang seseorang, seseorang dan seseorang."
"Kali ini tolong terima Fer, tolong banget!"
Oke, aku gak tega melihatnya yang seakan-akan menyembahku. Dengan kasar aku mengambil boneka itu lalu pergi.
*
"Fera, elo mau nitip bubur ayam gak? gue mau beli sarapan nih," kata Nadin.
"Boleh deh."
"Tapi nanti uangnya ganti ya, ditambah ongkos jalan juga." Nadin cekikian melewatiku.
Aku geleng-geleng kepala. Baru beberapa langkah memasuki kamar, pintu kosku diketok dengan tidak sabar. "Iya, tunggu bentar!"
"Eh, Dona, ngapain lo?"
"Ini!" Dona memberikan bingkisan, lagi.
"Lo-"
"Fera, gue harap elo terima bingkisan ini dari tangan gue. Setelah itu, terserah mau lo apain."
Aku melirik sebal ke arahnya sebelum mengambil bingkisan itu secara kasar. "Lo tinggal nunggu gue mati penasaran gara-gara seseorang!" ucapku ketus.
Dona melongo hingga pintu kututup keras. Kesabaranku sudah habis. Ini yang keempat kalinya. Ingin rasanya, tanganku mencekik Dona hingga kehabisan napas, tapi aku masih penasaran dengan yang namanya seseorang. Dan lagi, aku tidak mau masuk penjara.
Aku hampir terlelap kalau saja tidak mendengar ketokan pintu setelah kedatangan Dona. Rasanya malas menyeret kaki menuju pintu, siapapun itu aku akan mengutuknya karena menggangguku yang bermuram durja begini.
"Tunggu bentar!" teriakku.
"Lama banget lo buka pintunya, tangan gue sampe keriting," ucap Nadin.
"Biasanya lo langsung masuk tanpa ketok pintu. Kenapa lo?"
Nadin tersenyum nakal sambil melirik ke samping. Miko bersandar di tembok dengan melipat tangan di depan dada. Sok keren tapi aku suka. Argh! Stop Fera.
Kemudian Nadin pergi mengambil mangkuk. Sedangkan aku dan Miko duduk berdua di teras.
"Ada apa?" tanyaku.
"Gue kangen sama elo."
"Norak lo!" Pipiku panas, dan aku yakin kulit pucatku semakin memperjelas meronanya pipiku. Sial!
"Serius." ucapnya.
"Gue gak kangen tuh sama elo."
Miko cemberut. Jujur, kalo diliat-liat Miko tuh caker. Udah cakep, keren lagi. Mata coklatnya sipit, kulitnya putih bersih dan tinggi banget, aku aja sebahunya. Maklum, dia memang kapten basket di kampusku.
Kata Nadin, Miko salah satu cowok most wanted sefakultas, makanya dia kaget saat Miko mengantarku pulang. Sekilas, Miko mengingatkanku pada seseorang di masa lalu, tapi semakin mengingat, semakin pening kepalaku.
"Emang gue ganteng banget ya, sampe lo gak kedip liatin wajah ganteng gue," katanya.
"Elo tuh narsis banget ya, heran gue."
Miko tertawa dan aku tersenyum mendengar suaranya. Hawa panas menjalar ke ulu hatiku. Aku menikmati suaranya yang serak. Rasanya hatiku semakin menyukai Miko. Tapi tunggu, apa? Aku benar-benar menyukai Miko, cowok narsis ini. Rasanya aku mulai gila.
"Ngomongin apaan sih?" Nadin datang membawa nampan.
"Kok elo bawa tiga mangkuk, emang kalian ketemu di mana?"
"Depan kos, tadi gue pinjem dia buat nganterin gue beli bubur dulu," ucap Nadin sambil nyengir.
"Kok elo mau sih?" tatapanku beralih ke Miko.
"Awalnya dia bilang disuruh elo, ya udah gue anter sekalian gue beliin."
"Ah, gapapa. Anggap aja sedekah buat gue sama Fera," sambar Nadin.
Aku geleng-geleng kepala lalu teringat satu hal. "Nad, tadi si kurir ke sini. Ngaterin bingkisan lagi!"
"Oh, ya? Kali ini apa?"
"Komik."
"Lama-lama gue geregetan sama Dona. Apa susahnya dia kasih tau. Toh, kita juga gak bakalan gigit tuh seseorang!"
"Dona? Dona Mewarga?" tanya Miko.
Aku mengangguk. "Empat hari belakangan ini dia ngasih gue sesuatu gitu. Tapi bukan dari Dona sendiri. Dari seseorang. Awalnya gue kira iseng tapi lama-kelamaan bikin gue penasaran juga," jelasku.
"Empat hari?"
"Iya, empat hari. Hari pertama dia kasih bunga, kedua coklat, ketiga boneka dan tadi komik. Lo tau, gue gak suka komik. Pusing gue bacanya, gambarnya muter-muter. Mending novel sekalian."
"Aneh kan? Gue kira seseorang itu punya tampang jelek, jerawatan, item, kecil, keriput atau dia om-om," kata Nadin asal.
"Pikiran lo jelek banget Nad? Emang lo cantik?" sindir Miko, aku menahan tawa.
"Iyalah gue cantik, buktinya gue punya pacar. Gak kayak Fera tuh, jaman gini gak punya pacar," ucap Nadin bangga.
"Rese' lo! Emang cantik harus punya pacar?" sahutku membela diri.
"Harus dong. Biar kecantikan kita gak mubadzir!"
"Emang siapa pacar lo, Nad? Kok gue gak pernah liat tangan lo digandeng sama cowok?" tanya Miko heran.
"Duh, perhatian banget sih sama tangan gue" jawab Nadin gemas, "pacar gue ... ehm pacar gue di luar negeri." pipi Nadin merona.
"Ooo ... jadi LDR ceritanya?" tanya Miko. Nadin mengangguk semangat.
"Eh, udah dong, kitakan lagi ngomongin seseorang!" seruku kembali ke topik semula. Nadin cengengesan gak jelas.
"Lo gak curiga sama Dona?" tanya Miko.
"Jujur sih, iya, gue pernah nguntit dia sampe kelasnya tapi hasilnya nol besar."
"Ooo ... jadi waktu itu lo nguntit Dona!" kata Miko. Ups! ketahuan deh. Aku memamerkan deretan gigiku.
"Miko, lo bantuin Fera dong. Tanya ke Dona kek, apa gantiin Fera nguntit Dona. Siapa tau si Dona kepergok pas ketemu sama seseorang itu," usul Nadin.
"Kalo tanya, kayaknya nggak deh, soalnya bakalan curiga. Tapi kalo nguntit, gue gak pengalaman tuh."
"Ayolah Miko, bantuin gue dong!" ucapku memelas.
Miko memandangku sejenak lalu tersenyum. "Oke!"
Nadin mendesah frustasi. "Giliran Fera yang minta, lo turutin!"
"Kalo buat Fera, apa sih yang nggak gue lakuin," ucap Miko sambil menatapku.
Dan untuk kesekian kalinya pipiku terasa panas.
*
-
Aku bolos kuliah bareng Nadin. Alasan utamanya karena si kurir Dona. Mood-ku malas bertatap muka dengannya, apalagi mendengarnya menyebut kata 'seseorang' . Rasanya aku mulai setres dan sebentar lagi gila.
Jalan-jalan di mall membuat pikiranku fresh, apalagi ngecengin cowok-cowok kece. Nadin memang berbakat dalam hal merayu, buktinya aja kami menikmati lunch gratis. Hehehe ...
Kami sampai di kosan pukul sembilan malam. Tubuhku benar-benar lelah. Kesehatanku semakin lama, semakin menurun. Setelah membayar taksi, aku segera memasuki halaman kos. Nadin sudah nyelonong pergi tanpa menungguku. Tiba-tiba sebuah tangan menarikku dalam pelukannya. Aroma tubuh yang familiar menyadarkanku. Miko.
"Lo baik-baik aja kan?" tanyanya. Aku hanya mengangguk. Miko menguraikan pelukannya seraya berkata, "Syukurlah."
Wajahnya khawatir, keringat dingin memenuhi dahi sesekali melewati pelipisnya. "Lo kenapa?" tanyaku.
"Gue takut elo kenapa-napa. Elo dan Nadin gak bisa dihubungi, gue kira ... gue kira-"
Aku tersenyum. "Gue gak apa-apa. Sekarang lo pulang gih, udah malem. Besok lo kuliah kan?"
Miko mengangguk. "Gue mau bilang kalo gue udah ...."
Aku menunggu ucapannya, Miko terlihat ragu. "Kenapa?" tanyaku tidak sabar.
Miko menggeleng. "Nggak, gue mau bilang kalo ada apa-apa lo cepet hubungin gue. Dan lo, besok pagi gue jemput ya?"
"Iya," ucapku senang. Hatiku bersorak ria seperti tabuhan musik dangdut.
"Ya udah, nice dream." Miko mengusap puncak kepalaku dan tersenyum.
Belum pernah aku sebahagia ini.
*
"Thank's Miko."
Aku menyerahkan helm pada Miko. Tak lama, kedua telingaku mendengar suara Dona memanggil namaku.
"Kok elo bareng Miko?" tanya Dona sinis.
"Apa masalahnya buat lo?" ucapanku terdengar lebih sinis darinya.
Rasain lo!
Dona menyerahkan bingkisan lagi. Tiba-tiba Miko menghempas bingkisan tersebut hingga terlempar jauh. Seketika pula, aku tercengang dengak sikap Miko.
"Lo pikir dengan cara gini, Fera bisa luluh. Basi!!" sentak Miko. Aku melihat perubahan muka Dona yang merah padam.
"Apa maksud lo? Lo gak berhak urus campur!"
"Emang lo berhak? Lo cuma kurir kan?"
Dona mencengkeram baju Miko. "Lo gak tau apa-apa!"
Miko mendengus. "Gue tau semuanya. Semuanya!"
Dona meninju pipi Miko hingga terjengkal. Darah segar terlihat jelas di sudut bibir Miko. "Hentikan! Hentikan!" teriakku. Aku berdiri di depan Miko untuk menghalangi Dona.
"Minggir Fer, elo gak usah ikutan. Ini masalah gue dan DIA!!" ucap Dona pedas.
Aku menampar Dona. Ia tertegun. "Kenapa? Kenapa lo pukul Miko? Apa karena dia tau semuanya! Miko bener, lo cuma kurir. Lo merasa terhina? Iya! Katakan, lo terhina!!"
"Lo gak tau apa-apa! Lo gak usah lindungin dia!!" ucanpnya sedikit kalem.
"Sayangnya gue harus tau semuanya!!"
"Fera!! Gue bilang-"
"ADA APA INI!!"
Kami menoleh pada Nadin dan security kampus yang membawa dua pasukan. Segera, aku dan Nadin membawa Miko pergi menuju ruang kesehatan.
"Gue benci seseorang, karena elo!!" ucapku lirih pada Dona yang dipaksa pergi oleh security.
*
Aku benci ruang kesehatan. Tiba-tiba aku teringat sesuatu yang membuatku bergidik dan lemas seketika. Mukaku terlihat pucat dari pantulan cermin. Aku duduk, tidak sanggup menghadapinya. Oh Tuhan! Cermin menyadarkanku. Kenapa hidupku sepelik ini.
"Lo kenapa, Fer?" tanya Nadin.
"Gue pusing. Kayaknya gue absen lagi deh!" jawabku. Aku memijit kening. Aku tidak berbohong, aku memang pusing. Mungkin tenagaku habis karena emosi tadi.
"Gue anter ya?" tanya Miko.
"Dengan muka bonyok gitu, lo masih peduli sama gue? Udah lo pulang aja. Gue bisa naik taksi kok."
"Gue gak apa-apa. Yang bonyok kan muka, bukan tangan gue."
Aku menghela napas. "Ya udah buruan!" ujarku. Miko tersenyum puas.
Nadin geleng-geleng kepala. "Gue heran, kenapa kalian gak jadian aja?"
*
"Lo hutang penjelasan sama gue!" tuntutku pada Miko sesampainya di kos.
"Maksud lo?"
"Gue tau lo punya maksud tersendiri di samping lo mau nganterin gue."
Miko mengangguk. "Gue udah tau, sebenernya seseorang yang kalian cari itu adalah ... ehm Dona itu sendiri."
Aku mengerutkan kening. Dona? Kurir? Tapi dia bilang."Gue tau elo gak percaya, tapi seseorang itu memang Dona. Sehari sebelum lo dikasih komik, dia sempat tanya ke gue, 'Miko, biasanya cewek suka apa selain bunga, coklat sama boneka?' gue jawab, 'kalo gak komik ya parfum' gitu. Besoknya gue ketemu elo, dan elo juga cerita tentang bingkisan dan orang misterius yang melibatkan Dona. Gue mulai curiga tuh, tapi mungkin juga kebetulan.
"Kemarin malam, sepulang kuliah gue nguntit Dona, dia beli parfum kemudian dibungkus dengan kertas kado. Pramuniaga itu sempat tanya 'kartu ucapannya mas?' Dona jawab, 'gak perlu, saya ingin dia penasaran dan mencari-cari saya' gitu katanya. Tadi pagi gue mastiin, dan bener bingkisan itu adalah bingkisan yang dibeli Dona buat elo, Fer"
Aku menganga seolah tak percaya dengan penjelasan Miko. Tapi kalo dipikir-pikir, masuk akal juga. "Itu ... itu bener?" tanyaku, masih bimbang.
Miko mengangguk. "Apa gue pernah bohong sama lo?"
"Tapi ... untuk ... apa?"
"Jelasnya gue gak tau apa tujuannya. Tapi yang pasti dia pengen lo penasaran dan mencari-cari dia."
Aku menghela napas panjang. "Ternyata ada yang lebih narsis dari elo ya!"
*