10. FLASHBACK

116 8 0
                                    

Perjalanan menuju Semarang seakan-akan membuatku kembali ke masa lalu. Saat itu, dengan berat hati, aku pergi dari desa kelahiranku. Meninggalkan segala kenangan. Dengan berbekal ijazah SMA, aku ikut tes masuk universitas ternama di Surabaya. Entah keajaiban apa yang Tuhan berikan padaku, sehingga dengan mudahnya aku menjalani tes satu persatu dan kemudian resmi menjadi seorang mahasiswi. Aku bersyukur, dengan tekad melupakan masa lalu. Hingga akhirnya aku bertemu dengan Nadin. Ia teman pertamaku di Surabaya, kebetulan ia kos tepat di sebelahku dan juga mengambil prodi sama denganku.
Dan sekarang, aku kembali bersama kedua sahabatku. Berziarah ke makan salah satu sahabat kami. Ferais Kayla. Bahagia dan sedih beradu di hatiku. Ingin rasanya menangis hingga meronta-ronta. Tapi, aku tidak ingin mencemaskan kedua sahabatku. Aku yakin mereka merasakan hal yang sama denganku. Buktinya, sejak tadi kami diam. Bergelut dengan pikiran masing-masing.
"Kak, masih jauh?" tanyaku.
Kak Dani melirikku melalui spion dalam. "Nggak kok. Kamu tidur aja dek. Nanti dibangunin kok kalo udah sampai," jawabnya. Aku mengangguk lalu berbaring.
Tidak lama kemudian seseorang menepuk bahuku pelan. Aku mengerjapkan mata berkali-kali dan mencoba duduk.
"Bangun Yu, udah sampe." Tio membangunkanku lembut.
Tujuan awal kami menuju makam Almarhumah Mamaku. Aku turun dengan perasaan rindu yang begitu hebat. Aku duduk di sebelah makam Mama. Saat tanganku menabur bunga, tangisku pecah. Aku tak pernah melihatnya, aku tak pernah menyentuhnya. Saat itu aku begitu kecil. Mama mempertaruhkan segalanya demi kelahiranku. Termasuk nyawanya. Keinginanku untuk memeluknya begitu kuat walau hanya sekali saja.
Terkadang hati kecil ini begitu iri pada seorang teman kecil yang bergelayut manja di lengan seorang ibu. Mereka tertawa bersama, menangis bersama. Tangan hangat ibunya mengusap manja rambut anaknya. Mengapa aku tak pernah merasakan kebahagiaan bersamamu, Mama?
"Ayu, Tio. Mari kita do'a bersama."
Aku mengangguk kemudian memejamkan mata.
"Bismillahirohman nirrohim ...."
Selesai berdoa aku langsung memeluk batu nisan Mama. Berharap, aku benar-benar memeluk Mama. Mama yang aku sayangi, yang aku cintai. Tangisku kembali pecah. Aku terlalu lemah, Mama. Aku membutuhkan Mama di sampingku. Memelukku, menciumku. Seandainya Tuhan memberi kesempatan Mama untuk hidup, Ayu tidak akan sesulit ini. Ferayu pasti lebih tegar. Ferayu pasti lebih kuat. Maafkan Ayu, karena demi Ayu, Mama mempertaruhkan nyawa. Karena Ayu, Mama harus meninggalkan Papa. Karena Ayu, Mama harus meinggalkan dunia ini. Maafkan Ayu, Ma. Maafkan Ayu.
Tio merengkuhku dan mengusap air mataku. Aku dibawanya menuju mobil. Kak Dani kembali melanjutkan perjalanan. Tio duduk di sampingku, mengusap lembut punggungku. Aku hanya terisak. Hatiku sakit karena dunia yang kejam ini. Mengapa aku harus berpisah dengan orang-orang yang sangat aku cintai dan mencintaiku? Tidak lama aku teridur di bahu Tio.
Tio kembali menepuk bahuku lembut. Aku mengangguk. Lalu keluar dari mobil. Pemandangan lima tahun lalu terbayang di gerbang pemakaman. Saat seseorang mengangkat jenazah Ais yang terbalut kain kafan putih. Saat tangiku pecah selama perjalanan menuju makam. Lantunan doa terdengar membuatku sadar, bila Ais benar-benar telah pergi. Isakan demi isakan bergemuruh di telingaku. Semua orang memakai baju berwarna hitam. Ingin rasanya aku menjerit, tapi tertahan dalam hati. Tante Rachel mencoba memelukku dan menguatkanku. Kenangan itu begitu tragis melanda hatiku.
Untuk pertama kalinya aku menginjakkan kakiku setalah lima tahun lalu. Tanah ini terasa bergetar hebat. Aku yakin ini perasaanku saja. Kak Dani merengkuh pundakku lalu tersenyum. Tio memandangku lalu mengangguk. Kedua sahabatku yakin kalau aku kuat menghadapi kenyataan ini.
Tepat di makam Ais, aku kembali terbayang. Jenazah Ais yang mulai diturunkan menuju liang kubur. Saat adzan berkumandang pada jenazah Ais, tangisku meluruh lagi.

Tante Rachel memelukku saat beberapa kaum adam mulai menutupi liang lahat Ais. Tanpa kusadari, air mataku meleleh. Aku benar-benar tidak bisa melupakan kenangan pahit itu, meskipun aku benci mengingatnya.
Aku melihat Kak Dani menabur bunga di atas makan Ais, kemudian Tio dan Aku. Aku mengusap air mata yang benar-benar menyeruak keluar. Aku tidak ingin Ais bersedih karena aku menemuinya dalam keadaan menangis. Sesaat kemudian Kak Dani memimpin doa kami. Pembacaan surat Yasin dan Tahlil membuatku mengerti. Bahwa tak ada manusia yang benar-benar kekal. Semua yang datang dariNya pasti kembali padaNya.
Ferais Kayla binti Adi Maulana. Lahir 20-06-1994. Wafat 20-05-2010. Begitulah yang tertulis dalam batu nisan. Benar, ternyata lima tahun kebersamaanku dengan Ais telah berlalu. Menyisakan kenangan-kenangan yang selalu menghantuiku. Kenangan air mata, kenangan canda tawa semua tersimpan rapi dalam kota ini.
"Kita ke makan Tante Reni," ucap Kak Dani.
Aku mengangguk bersamaan dengan Tio. Hanya beberapa langkah dari makam Ais terkubur makam Tante Reni. Mama Ais. Kenangan pilu kembali menghantuiku. Saat aku mendengar jeritan-jeritan Tante Reni. Segala perabotan rumah yang kemudian pecah. Air mata yang tak lagi mempu meluluhkan kemurkaan. Atas dasar cinta yang kemudian berubah menjadi pertengkaran-perteng­karan hebat. Segala aktifitas rumah penuh dengan ancaman-ancaman kejam. Dan, aku mendengarnya sendiri.
Aku memeluk Ais yang menangis di kamar. Tubuhnya berguncang hebat. Aku masih terus memeluknya meskipun air mataku meleleh, aku tetap memberi kekuatan untuk Ais. Aku selalu membuatnya sadar, bahwa ia masih memilikiku yang selalu ada untuknya. Beberapa menit kemudian Tante Reni menghampiri Ais dengan wajah basah penuh air mata. Keadaan Tante Reni memilukan. Lebam terdapat di setiap tubuh Tante Reni. Wajah mulus Tante Reni berubah menjadi begitu menyedihkan. Tak ada lagi rambut yang tersanggul rapi, yang ada hanyalah rambut yang tergerai berantakan. Pakaiannya pun serupa. Tante Reni memelukku dan Ais. Kemudian kami menangis bersama menghadapi sebuah kegetiran hidup.
Aku mencium batu nisan Tante Reni. Aku merindukannya. Senyuman Tante Reni yang mampu melebur kekesalanku dan Ais. Tangan hangatnya yang membelai manja rambutku. Aku mendapatkan kasih sayang seorang ibu dari Tante Reni.
Setelah selesai berdo'a aku meninggalkan mereka yang terkubur tenang di sana. Aku menoleh ke belakang. Aku akan pergi meninggalkan kalian. Terima kasih telah menjadi bagian terpenting dalam hidupku. Hingga kini kalian masih separuh dari jiwaku.

My DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang