MIKO'S POV..
Aku terduduk lemah di depan kamar ICU. Jiwaku masih shock. Mataku menerawang jauh entah kemana, pikiranku berkecamuk. Mataku panas. Begitupula dengan dadaku yang semakin lama semakin sesak. Air mataku kering, atau mungkin nyaris habis. Mulutku masih belum bisa berkata-kata, namun batinku berteriak sekencang-kencangnya .
Aku gagal! Gagal menjaga Fera. Kejadian di danau melengahkan perhatianku. Fera, dia menutupi kesakitannya. Dia berhasil melabuhiku dengan sebuah senyuman palsunya. Kenapa dia membohongiku? Hatiku perih jika mengingat sikapnya yang keukeuh menolak kemo hari ini. Seharusnya ini tak terjadi seandainya aku membawanya paksa ke rumah sakit.
Kejadian itu sangat cepat. Darah yang mengalir dari lubang hidungnya membuatku panik seketika. Tak lama, matanya mulai meredup hingga terpejam sempurna. Keteriakkan namanya, kuguncang bahunya tetap tak ada jawaban. Tubuh Fera yang terlentang lemas menohok hatiku saat itu.
Dan kini, karena perbuatan bodohku, Fera terbujur lemah di ranjang dengan beberapa dokter dan suster mengelilinginya. Jarum suntik terpasang ke dalam tubuh Fera. Slang infus menghalangi hidungnya. Dan, monitor jantung berdetak memekakkan telinga.
Tio duduk di sampingku, ia mengusap wajahnya berulang-ulang. Tidak ada yang berbicara di antara kita selama beberapa menit. Pikiranku masih bergelut dengan pedihnya hari ini.
"Maafin gue," ucapku akhirnya.
"Gue seharusnya benci sama elo." Tio tersenyum getir.
Air mata yang tadinya kering kini mulai menumpuk kembali di mataku. Napasku mulai tersenggal karena menahan tangis.
"Gue gak bisa maafin kesalahan gue sendiri."
"No! Bukan itu! Gue harap lo bisa kembalikan senyum Fera lagi," ucapnya tegas.
"Tap-"
"Lo pasti bisa. Cinta yang membuat Fera bertahan selama ini."
Aku terperanjat dengan ucapan Tio. Cinta? Semudah itukah. Ucapan Tio seakan-akan menambah beban kesalahan yang menumpuk di pundakku. Tinggal menghitung mundur, kemudian aku terjerembap ke dalam genangan lumpur.
"Keajaiban. Hanya keajaiban yang bisa bikin gue sembuh!"
Mengingat ucapan Fera di mobil membuat jantungku tercabik-cabik. Kuusap mukaku perlahan dengan sebelah tangan.
"Temui Fera, Nak," ucap Papa Ayu sambil menepuk bahuku pelan.
Aku berdiri menghadapnya. "Om, saya-"
"Kamu gak perlu minta maaf. Ayu memang keras kepala," ucap Papa Ayu pedih, "sudahlah, kamu temui Ayu. Om mau pergi sebentar."
Aku mengangguk lemah. Kemudian beranjak masuk ke dalam ruang ICU. Pandangan di depan mata benar-benar menggores nadi-nadiku. Wajah Fera begitu pucat. Kugenggam tangannya yang terpasang infus. Kucium punggung tangannya yang hangat. Air mataku meluruh bersamaan dengan sobeknya hatiku.
"Apa yang lo rasain sekarang?" tanyaku lirih.
Mata Fera masih tertutup rapat. Dadanya kembang kempis menandakan masih ada kehidupan di tubuh Fera.
"Bukan ini yang gue mau. Bukan!"
Kuusap air mata yang meleleh di pipi. Masih tidak ada respon. Fera bergeming. Hanya terdengar suara detak monitor dan isakanku.
"Lo malaikat buat gue. Lo mampu mencairkan hati gue yang beku. Lo mampu menghias hari-hari gue yang hitam putih. Lo mampu mengotak-atik perasaan gue yang datar. Lo merubah hidup gue."
Aku menghela napas panjang. Beban ini semakin berat. Tak pernah aku merasakan rasa sakit yang mencekam ulu hatiku. Yang seakan-akan mencekik leherku dan menghepaskan tubuhku hingga tulang-tulang terasa remuk. Aku tak bisa berlama-lama di ruangan ini. Dadaku akan semakin berkerut melihat kondisi Fera.
"Lo baik-baik ya, gue bakal balik lagi ke sini," pamitku.
*
Sebulan ....
Dua bulan ....
Lima bulan ....
Setahun ....Mata Fera masih terpejam. Dokter bilang, hidupnya tergantung pada mesin-mesin canggih itu. Tak apalah, mendengar suara napasnya sudah cukup membuat hatiku sedikit lega. Aku rela menukar posisiku dengan posisinya. Memang terdengar klise, tapi itulah nyatanya. Seberondong pertanyaan berputar tanpa henti di otakku, tanpa jawaban. Tak pernah ada jawaban.
Perkenalanku dengan Ferayu sangat singkat, memang. Tapi, kenangan, cinta, dan harapan masih menunggunya di ujung pintu. Aku sempat berpikir, mungkin dengan kepergiannya untuk selamanya akan membuatnya tenang dan kau takkan merasakan sakit lagi. Tapi, hatiku akan menjerit, dan luka akan semakin menganga. Jadi, kumohon, bertahanlah.
When your day is long, and the night
And the night is your's alone
When you think you've had enough
Of this life, hang on
Don't let yourself go
'Cause everybody cries
And everybody hurts, sometimes
Something everything is wrong
Now it's time to sing along
When your day is night, hold on
If you feel like letting go, hold on
If you're sure you've had too much
Of this life, hang on
(Everybody Hurts - The Corrs)
Ferayu. Kupasang kepala headset pada kedua telinganya. Banyak yang ingin kuceritakan padanya, tentang kehidupanku sekarang, tentang kuliahku dan permainan basketku. Tapi semua tertahan. Lidahku terasa kelu, dan tenggorokanku selalu kering setiap melihat wajahnyau yang semakin hari semakin pucat. Biar senandung lagu itu yang mewakili semua rekaman hatiku.
Aku menggenggam tangan Fera yang terasa hangat. Sebutir air mata lolos dari mata Fera. Oh Tuhan, benarkah Fera menangis? Tubuhku menegang. Dan mendadak saja, aku merasakan tangan Fera menggenggam tanganku. Genggaman itu sangat kuat. Seakan-akan menumpahkan segala rasa sakitnya pada tanganku.
Perasaan-perasaan yang menumpuk di hatiku kini meledak. Perlahan, mata Fera terbuka kemudian menutup kembali. Aku meremas tangan Fera, mencoba menyadarkannya lagi. Dan berhasil, Fera pelan-pelan kembali membuka matanya. Aku tertegun. Bongkahan batu melesat masuk ke dalam tenggorokanku. Antara lega dan sakit.
Napasku tersentak keras saat pupil mata Fera mengarah padaku. Inilah pertama kalinya aku benar-benar bisa mendengarnya.
"Mi-miko?"