Seperti sebelum-sebelumnya, aku merasa hampa. Kali ini benar-benar hampa. Menghadapi kenyataan, ternyata tidak segampang yang aku pikirkan. Dan, tidak semulus yang aku pertimbangkan. Wajah dingin Miko menghantuiku sejak dari kantin. Miko membenciku. Harusnya aku lega. Tapi tidak, aku semakin terpuruk. Aku semakin jatuh.
Aku mendiamkan Kak Dani sejak pernyataan itu. Tapi, Kak Dani orang yang pengertian, dia tidak menginterogasiku seperti Nadin. Dia membiarkanku berpikir. Aku bangga memiliki sahabat seperti Kak Dani. Dia selalu percaya padaku, walaupun aku menariknya ke dalam sandiwara dan kebohongan. Kak Dani mengerti kalau aku punya alasan yang kuat meskipun ia tak mengetahuinya.
Nadin, ia tetap curiga padaku. Maksudku, tentang hubunganku dengan Kak Dani. Aku sempat berpikir ia memiliki indra keenam. Tapi, tentu saja tidak. Nilai dalam mata kuliahnya saja selalu di bawahku. Dia juga sering tidak lulus dalam beberapa mata kuliah yang kuanggap mudah. Tapi biarlah, biarkan ia bermain dengan imajinasinya. Imajinasi yang sesungguhnya kebenaran.
"Fer! Fera!!"
BRUKK!!
Nadin berteriak tepat di telingaku. Alhasil, aku jatuh. Pantatku terasa sakit. Kurang ajar Nadin. Aku mencoba berdiri pelan. Sedangkan Nadin tertawa hingga memegangi perutnya. Ingin rasanya aku menjambak rambutnya itu, atau memplester mulutnya agar berhenti tertawa.
Aku berjalan pelan menuju ranjang. Satu-satunya kegiatan untuk menahan emosi, yaitu tidur.
"Fer, mau kemana lo?" ucapnya sambil membuntutiku.
"Tau ah! Kemana aja!"
Nadin terkekeh. "Abis lo ngelamunnya asik banget. Gue panggil dari tadi gak ada respon. Ya udah, gue teriak di telinga lo. Emang lagi ngelamunin apaan sih?"
"Bukan urusan elo," ucapku ketus lalu mengubur seluruh tubuhku dengan selimut.
Nadin duduk di bibir ranjang. "Feraku yang cantik, manis, imut, baik, pintar. Jangan marah dong."
"...."
"Fera, lo dapat salam loh, mau tau ga?"
"...."
"Ih, rugi tau kalo gak dibalas. Salamnya dari ... dari Miko. Salam cinta katanya." Nadin terkekeh.
Aku tau dia bohong. Bohong besar. Tidak mungkin Miko titip salam padaku. Mustahil. Aku tersenyum miris. Hidup memang gak adil. Saat aku benar-benar mencintainya, tembakan air mata bertubi-tubi menyerangku dari segala arah. Terutama, dari masa lalu.
"Kok lo gak seneng sih, Fer."
"...."
"Ya udah deh, gue mau nyatain tujuan gue yang sebenarnya ke sini. Dengerin baik-baik, jangan sampai kelewat. Dan, jangan sampai ada penolakan," cerocos Nadin. Aku hanya memutar bola mataku.
"Pertama, lo harus bantuin gue cari kado. Kedua, lo harus bantuin gue cari tempat yang paling spesial dan romantis. Ketiga, lo temenin gue ke bandara."
Aku mengernyitkan kening kemudian membuka selimut hingga ke dada. Nadin tersenyum penuh kemenangan. Memang si tengil ini mau kemana kok ke bandara segala? Kalo pulang kampung sih gak perlu naik pesawat.
"Emang ada acara apa?"
"Besok Andre gue datang, Fera. Lo gak tau senengnya gue."
Aku memutar bola mataku. "Kalo gue gak mau, gimana?"
"Kan gue bilang gak ada penolakan!"
"Kak Dani-"
"Gue udah bilang kok ke dia, dan dia setuju!" potong Nadin.
"Kenapa lo gak kasih tau gue dulu tengil!"
"Karena gue tau, lo pasti banyak alasan. Udah deh, kapan lagi sih lo liat gue bahagia."
"Oh, ya, lo kan gak pernah bahagia," jawabku sekenanya.
Nadin menggeleng. "Ralat, maksudnya belum pernah sebahagia ini."
Ia tersenyum lebar kemudian meninggalkanku sendiri. Aku merengut kesal. Dia keras kepala sama sepertiku. Apapun yang diinginkan pasti akan diraih sampai titik darah penghabisan. Pasti hari-hari Nadin kedepannya bahagia dengan kedatangan Andre. Tidak sepertiku yang ... ah sudahlah. Intinya mengerikan.
*
Kakiku terasa lemas karena berjalan seharian. Dan kini penderitaanku belum selesai. Aku harus menunggu kedatangan Andre. Ingin rasanya memaki-maki Nadin tapi tidak tega. Semangatnya, senyumnya dan tingkahnya membuatku mengerti, jika Nadin benar-benar mencintai Andre. Dan, aku semakin penasaran dengan yang namanya Andre.
"Nad, berapa menit lagi sih? Perut gue dangdutan nih,"Bentar lagi!" serunya seraya melihat pergelangan tangannya. Aku menepuk dahiku. Yaelah Nad, emang ada jam tangan di situ? Yang ada mah bolot. Kalo bahagia gak segitunya kali.
Akhirnya aku memutuskan untuk membeli makanan bersama Kak Dani. Wajah kusutku berubah cerah saat menatap nasi pecel di hadapanku. Dan, aku memakannya dengan sangat lahap.
Tiba-tiba ponselku berdering tanda panggilan.
"Halo," jawabku.
"Lo di mana? Andre udah dateng nih. Biar gue ke sana."
"Eh, bentar!" aku menahan panggilannya. "Kak nih warung namanya apa?"
"Aku baca tadi sih, kalo gak salah, warung makan lepas landas."
Keningku berkerut heran. Tanpa berpikir panjang, aku menyambung kembali panggilan Nadin.
"Warung makan lepas landas," ucapku sambil terkikik.
"Apa? Yang bener aja."
"Dibilangin ngeyel!"
Nadin tertawa hingga aku wajib menjauhkan ponsel dari telingaku. "Oke. Gue ke sana."
Klik. Panggilan diakhiri.
Beberapa menit kemudian Nadin datang. Posisiku membelakangi pintu masuk. Suara cempreng Nadin membuatku menoleh.
"Fer, Kak, kenalin ini Andre."
Hidupku serasa berhenti saat aku menolehkan pandanganku pada seseorang yang bernama Andre. Aku mendekap mulutku. Mukaku pasti pucat. Dia orang yang selama ini kukenal. Kukenal baik sejak kecil. Meskipun wajahnya sedikit dewasa tapi tatapan matanya tetap sama. Apalagi tahi lalat di sebelah matanya belum pindah. Tingginya menjulang, kurus, matanya bulat dan beralis tebal. Aku yakin Kak Dani juga mengenalnya.
"Ayu, Dani," ucapnya lirih.
"Tio," ucap Kak Dani.
Aku berdiri lalu menghampiri Tio. Aku memastikan pandanganku. Tio juga sama, ia memandangiku dari ujung kaki hingga ujung kepala.
"Lo, Ayu kan?"
Aku mengangguk. "Lo, Tio? Tio cungkring?"
"Yaelah, Yu. Lo kok masih manggil gue gitu sih?" ucapnya kesal. Tapi senyumannya tidak menghilang.
Aku mengerjapkan mataku berkali-kali. "Kak, ini beneran Tio?" tanyaku pada Kak Dani.
"Kecuali si cungkring ini punya kembaran," jawab Kak Dani. Aku meringis.
"Jadi, Andre itu elo? Andreana Tio?" tanyaku masih heran.
"Eh, bentar-bentar. Kalian kok kenal sih?" tanya Nadin.
Aku menoleh pada Nadin. Aku yakin ia pasti bingung bin heran. Jujur saja, sejak tadi aku melupakan keberadaan si tengil Nadin.
"Ayu sama Dani sahabat kecilku, sayang," jawab Tio.
Nadin manggut-manggut. "Yah kejutan gue gagal deh. Pelukan dong, kan udah gak ketemu lama. Kalo aku udah tadi," ucap Nadin seenaknya. Ia senyam-senyum menjijikkan.
Aku membuang muka, sama halnya dengan Kak Dani. Sedangkan Tio, ia malah menggaruk kepalanya. Dasar Nadin norak!
Kami berempat akhirnya makan malam bersama, sesuai permintaan Nadin. Awalnya Nadin hanya memesan dua kursi, tapi karena kejadiannya berbeda, dengan antusias Nadin menambah dua kursi lagi. Meskipun suasananya tidak seromantis yang diinginkan Nadin, tapi kehangatan dan kebahagiaan terpancar dari meja kami.
*
Kegembiraanku bertambah. Kedua sahabatku kembali bersamaku. Walau dalam selang waktu yang berbeda, menurutku tidak masalah. Kenangan-kenangan kelabu memenuhi bayanganku. Kak Dani yang penyanyang, Tio yang cungkring, dan Ais yang cengeng. Meskipun kami hanya bertiga, tapi aku yakin, Ais ada diantara kami. Ia pasti sama bahagianya sepertiku.
Tio menghampiri kosanku. Kami berdua duduk santai di kamarku. Kak Dani sedang mandi dan Nadin asyik memasak. Sampai saat ini aku masih pangling padanya. Dia terlihat tampan dengan balutan kaos dan jins selutut. Tio terlihat modern kontras dengan Kak Dani yang terbilang sederhana walaupun hidupnya serba kecukupan."Ayu, lo kok cantik sih," ucap Tio.
Aku tertawa lebar. Ia mencoba merayuku. Mungkin kalau aku Nadin, sudah pasti tersipu, tapi aku bukan Nadin. Aku Ayu, seseorang yang pernah melihatnya disunat dulu. Sudah pasti gombalan maut itu lewat begitu saja.
"Harusnya lo akuin dari dulu. Nama gue aja Ayu, pastinya gue cantiklah. Emang lo, dari dulu cungkring mulu."
Tio melempar bantal tepat pada mukaku. Aku tidak terima, aku membalasnya dengan memukul wajahnya dengan guling. Berhasil. Ia melonjak ke belakang. Tapi Tio tetap tidak menyerah, ia melempariku boneka yang tertata rapi. Untungnya aku dapat menangkis dengan guling. Aku tertawa puas karena lemparan-lemparan Tio meleset hingga boneka terakhir. Tapi tak lama kemudian, ia berlari mengejarku. Alhasil, aku dan Tio kejar-kejaran dalam kamar sambil ngakak gak jelas.
"Aduh kalian berdua. Kayak anak kecil aja," ucap Kak Dani sembari geleng-geleng kepala saat masuk ke kamarku.
Aku melihat Kak Dani di pintu. Aku segera berlari ke arahnya lalu bersembunyi di balik punggungnya.
"Kak, tolongin Ayu, Kak," ucapku. Napasku tersenggal-senggal akibat berlari sambil tertawa.
Kak Dani geleng-geleng. "Apa-apaan sih kalian berdua."
"Serahin Ayu ke gue, Dan. Dia harus diberi pelajaran."
"Eh, gue gak ada salah sama lo. Lo bilang sendiri kalo gue cantik."
"Tapi lo bilang gue cungkring!"
"Gue kan jujur. Bener kan Kak, kalo Tio cungkring."
Kak Dani terlihat bingung. Lagi-lagi ia geleng-geleng kepala. "Selesain urusan kalian. Aku gak ikut-ikut," katanya, kemudian bergerak pergi.
Tio tertawa melihatku ciut. "Sekarang mau minta perlindungan sama siapa lo? Dani udah pergi."
Aku menoleh ke kanan kiri mencari ide. "Gue ... gue mau ... NADIN!! TOLONGIN GUE! PACAR LO NGAMUK!"