FERAYU'S POV.
-
Parah, macet banget! Bisa-bisa telat nih, ucapku dalam hati.
"Bang, saya turun sini aja deh!"
"Loh kan masih jauh, Neng Fera," kata Bang Budi, langganan ojekku.
"Gak apa-apa deh, Bang."
"Emang keburu banget ya, Neng?" tanyanya sambil mengerutkan kening, "ya udah, hati-hati, Neng. Telpon abang dah kalo udah pulang ya."
Aku mengangguk sambil menyerahkan helm pada Bang Budi.
Bukan pertama kalinya aku berjalan kaki di siang bolong gini. Kegiatan rutinku selama sebulan sekali menuju sebuah rumah praktek. Aku jauh dari orang tuaku, lebih tepatnya menjauhi mereka. Memang berat, tapi harus.
Sesampainya, aku langsung masuk menemui seorang wanita penopang hidupku beberapa tahun belakangan ini.
*
Aku berjalan menuju halaman kampus kemudian duduk di bawah pohon yang rindang. Arsitektur membuat kepalaku pecah. Akhir-akhir ini memang sulit sekali untuk berkonsentrasi, kondisi fisikku pun cepat lelah. Angin sepoi-sepoi sedikit menyegarkan pikiranku. Tanganku hendak membuka tas, namun sebuah suara serak mengejutkanku.
"Hai, boleh duduk?" tanya seorang cowok yang menjulang tinggi di depanku.
Aku berpikir sebentar lalu mengangguk. "Duduk aja."
"Eh, sendirian aja," ucap kaku cowok itu.
"Kebetulan Nadin pulang duluan."
Dia mengangguk. "Gue Miko."
"Gue tau."
Dia nyengir, memamerkan gignya yang berderet rapi. "Oh, iya, Nama lo Ferayu kan?" tanyanya, "jadi, gue panggil Fera apa Ayu?"
"Fera aja."
Dia manggut-manggut. "Oke. Gak pulang?"
"Bentar lagi, bosen di kos." jawabku.
"Gitu, kapan-kapan boleh dong main ke kosan lo?"
"Boleh aja, asal bawa makanan yang banyak," celetukku. Miko tertawa keras. Aku heran, apa lucunya ucapanku tadi.
"Kenapa ketawa?"
"Ya, gue heran aja, biasanya kalo masalah makanan, cewek suka ribet. Yang banyak lemak, yang inilah itulah, bisa gemuklah, lagi dietlah-"
"Pengalaman ya?" sambarku.
"He? Nggak kok. Kan gue punya saudara perempuan. Ya tau lah sedikit," katanya, "pulang yuk, gue anterin boleh kan?"
"Boleh aja, seneng malah. Dompet gue aja ketawa."
Miko kembali tertawa. "Bisa aja kamu, Fer."
Aku tersenyum singkat.
Akhirnya, aku pulang bersama Miko. Sengaja atau tidak, dua helm sudah nangkring di motor sport Miko. Tanpa berpikir lanjut, aku pun duduk di boncengannya. Perasaan bahagia menyeruak ke dalam hatiku. Ah, memang sudah lama aku mengagumi Miko."Jadi, di sini?" tanya Miko.
Aku menyerahkan helm pada Miko. "Iya, masuk dulu yuk!"
"Nggak ah, gue kan gak bawa makanan yang banyak."
Aku terkekeh. "Bercanda kali. Masuk dulu yuk ah!"
Miko tersenyum manis lalu mengikutiku masuk.
"Miko, mau minum apa?" tawarku.
"Air putih aja," jawabnya. Aku berjalan menuju dapur mengambil segelas air putih dan cemilan seadanya.
"Nih, gue ke kamar bentar ya."
"Oke, makasih."
Aku meninggalkan Miko sendirian di ruang tamu lalu berjalan menuju kamar untuk ganti baju. Saat aku hendak keluar tiba-tiba mataku melewati sebuah foto berbingkai.
Seharusnya aku gak gini, aku salah lagi kan. Maaf. maaf! batinku pedih.
*
BRAK!!!
Pintu terbuka secara paksa. Nadin menerobos masuk. Ia masih menggunakan baju tidur kesayangannya dengan beralaskan sandal imut noraknya. Matanya bersinar saat bertemu pandang denganku. Seulas senyum jahil menempel di bibir tipisnya.
"Fera, lo kemaren pulang dianter Miko ya?!" teriaknya heboh.
Aku mendengus sebal. "Nadin! Bisa gak lo berhenti bikin gue jantungan! Gak usah pake teriak, telinga gue lama-lama budek gara-gara elo!" tanganku mengusap dadaku naik turun. Duh, anak ini mau bikin aku cepet mati aja.
Nadin cemberut lalu mencubit lenganku. "Biasanya juga elo yang teriak," katanya.
Aku memutar bola mataku. "Terserah elo deh," ucapku seraya membaringkan tubuh ke ranjang.
"Eh, tapi beneran elo tadi dianter Miko?"
"Iya," jawabku malas.
Tiba-tiba Nadin mencubit kedua pipiku, lalu menghambur keluar kamar meninggalkan perasaan jengkel dan sakit.
Nadin gila!
*
-
-
"Udah gak perlu cemberut gitu, gue malah bersyukur gak ada post test hari ini," ucap Nadin santai sambil melahap rujak.
"Gue tuh udah belajar mati-matian semalaman, baca buku yang sebenarnya bikin gue mual bin muntah. Eh, taunya dosennya libur. Sakit hati gue!" ucapku miris. Nadin terkekeh membuatku semakin kesal.
Gado-gado di depan mataku menghilangkan selera. Aku tidak terbiasa makan di kantin. Tapi, mau gimana lagi, hari ini aku kesiangan.
"Hai, Fera," sebuah sapaan membuyarkan lamunanku. Aku menoleh. Miko.
"Rese' lo, Fera doang yang disapa, gue nggak!" Nadin mengerucutkan bibir.
"Halo, Nadin."
"Kok Fera disapa hai, gue disapa halo? Gak adil Miko!"Miko manganga sambil mengerutkan kening.
"Apa-apaan sih lo Nad, gitu aja dipermasalahkan!" uajrku seraya geleng-geleng kepala.
"Bercanda kali," kata Nadin seraya cekikian.
Miko mendengus, lalu menatapku sembari tersenyum manis. Reflek saja aku membuang muka, pipiku panas. Lebay kan, padahal cuma dipandang doang. Ya ampun Fera!
"Fer, liat gue dong. Gue kan mau ngomong sama elo."
Nah lo! Malah suruh liat, padahal jantungku udah dag dig dug gak karuan gini. Aku menarik napas sejenak lalu menatapnya ragu. "Mau ngomong apa sih? Elo mau nembak gue?"
Nadin dan Miko melongo, kemudian tergelak bersamaan. Aduh, dasar Fera bego! Berkali-kali tanganku mencubit lengan Nadin dan Miko, karena aku malu dan jengkel ditertawakan. Apalagi ditengah-tengah kantin gini.
Mau ditaruh di mana muke gue, batinku.
"Tenang Fer, tenang! Gue suka kok sama cewek Hardcore," ucap Miko setengah teriak membuat hampir separuh isi kantin menoleh ke meja kami, terutama padaku.
Aku segera berdiri dan pergi dari titik pusat perhatian. Dengan setengah berlari, tiba-tiba lenganku dicekal oleh seseorang.
"Apalagi sih?" teriakku sambil memutar badan.
Dona kaget mendengar teriakanku, dengan gugup ia menyerahkan sebuah buku. "G-gue cuma mau ngasih fotocopy ini, titipan dari Bu Sam."
Aku tersenyum tipis. "Maaf Dona, gue kira tadi Nadin atau Miko. Ya udah thank's ya."
Dona mengangguk. "Lo aneh deh, kuliah jurusan arsitek tapi bacaannya buku begini," serunya.
"Nambah wawasan aja," jawabku. Dona mengangguk lalu pergi.
Aku membolak-balikkan buku yang berhalaman 200 lebih. Membaca cover-nya saja sudah menjijikkan. Tapi, buku inilah satu-satunya harapanku. Kupeluk erat buku itu, lalu melesat pergi.
*
"Ayu, kamu seharusnya jujur pada Papamu," ucap Tante Rachel.
Aku memandangnya tajam. "Mereka akan menjauhiku, Tante. Dan kemudian sahabat-sahabatku juga akan datang padaku. Menatapku dengan penuh rasa kasihan, jijik. Dan akhirnya mereka juga ikut menjauhiku karena takut tertular penyakit mematikan ini!" seruku.
"Ayolah sayang, semua akan baik-baik saja!"
"Tante! Tante gak tau apa yang akan terjadi. Aku cuma ingin hidup normal, Tan. Normal!" Air mataku menetes satu persatu dan hati ini serasa diremas berkali-kali.
Tante Rachel adalah orang kedua yang mengetahui rahasiaku. Aku percaya padanya, sangat percaya. Selama ini aku sudah menganggapnya sebagai ibu, karena di mana lagi aku menemukan seseorang seperti Tante Rachel. Mamaku meninggal saat melahirkanku, dan Papaku selalu menyibukkan diri dengan pergi dari tempat satu ke tempat lain.
"Kamu hidup normal sayang, kamu-"
"Sudahlan Tan," potongku cepat, "aku ... aku capek. Aku mau pulang."
Tante Nadin mengangguk lemas. Sekilas ia memelukku dan mencium keningku lalu mengantarku ke halaman rumahnya.
*
Aku sedikit terkejut melihat Nadin dan Miko berdiri gelisah di depan pintu kamarku. Ingin rasanya mengusir keduanya tapi tidak sampai hati saat melihat wajah-wajah khawatir mereka.
"Fera, elo dari mana aja sih? Lo tau, sekarang hampir tengah malam dan elo baru pulang!" ucap Nadin.
"Elo bukan emak gue!" ucapku ketus seraya menerobosnya. "Minggir lo!" ucapku sengit pada Miko.
Miko tak gentar. Ia malah menegakkan badan dan memandangku penuh arti. Aku pun membalas pandangannya.
"Kita khawatir, Fer. Elo kira, kita di sini ngapain selain khawatirin elo. Nadin hubungi gue karena elo belum pulang sejak pagi."
Aku melirik Nadin. Bahunya bergetar karena menahan tangis. Matanya mulai berkaca-kaca. Tenggorakanku terasa kering saat menyadarinya. "Gue ... gue capek!"
Miko membuang napas panjang lalu bergerak pergi. Aku langsung masuk. Dan menangis sejadinya.
Maafkan aku, maafkan aku!
*
Pagi-pagi sekali Nadin nongkrong di depan kamarku. Matanya sembab, aku dapat melihatnya jelas meskipun ia menggunakan kacamata.
"Gue minta maaf. Gue tau lo gak suka ditertawakan yang menurut lo, itu sama aja dipermalukan, apalagi di kantin. Harusnya gue ngerti, tapi gue gak ada maksud malu-maluin elo. Gak ada. Gue gak sengaja!"
Aku menghela napas panjang. "Gue gak marah, gue cuma capek. Bener-bener capek," kataku sambil memeluk Nadin. Dia gak seharusnya terlalu peduli padaku. Toh, aku pasti akan meninggalkannya. Aku hanya butuh teman yang sekedar teman.
"Berangkat yuk!" ajakku.
Nadin tersenyum. Dan kamipun pergi.
*