"APA!!!" Dani teriak memecah keheningan.
Aku hanya menutup mataku. Aku sudah menduga hal ini. Kejadian demi kejadian yang tertulis dalam diary Ais tenyata benar. Sebenarnya bukan Ayu yeng kecanduan narkotika, tapi Ais. Sejak memasuki sekolah menengah Ais mulai kecanduan narkoba dan jarum suntik. Ia melakukan semua itu hanya untuk lari dari kehancuran keluarganya.
*
Flashback, 2 Tahun Silam
Aku mendapat libur sekolah sebelum melanjutkan kuliah ke Jepang. Dan aku pulang ke Semarang berniat mengunjungi Ayu dan Ais. Aku membawa banyak oleh-oleh untuk dua cewek centil itu. Baju, boneka, pernak-pernik semua untuk kedua Fera-ku. Betapa bahagianya aku saat itu.
Tapi kebahagiaanku menguap saat menemukan rumah Ais yang kosong. Segala perabotan rumah tangga pecah di sana sini. Bukan rahasia lagi bila keluarga Adi Maulana selalu dipenuhi kekacauan. Aku berlari menuju kamar Ais, kosong. Aku berlari lagi ke seluruh ruangan, tetap tak kutemukan apapun. Aku terduduk lemas di taman belakang. Tempat di mana aku selalu menghabiskan waktu bersama Ais, Ayu dan Dani.
Aku kembali menuju kamar Ais. Mencoba mencari petunjuk di mana Ais kini. Kubongkar seluruh lemari, laci dan ranjang. Semua hanya barang-barang cewek. Hingga aku menemukan sebuah jarum suntik, serbuk dan pil dengan berbagai macam bentuk. Narkoba? Aku bergetar memegang benda haram ini. Pasti ini milik Ais, tidak salah lagi. Aku kembali mengacak-acak kamar Ais. Satu lagi yang kutemukan, diary yang bergambar anime wajah kami -Aku,Ais,Ayu dan Dani- disampulnya. Buku ini sudah sangat kusut. Kertasnya kusam dan lecek. Aku mendekapnya lalu membawanya pergi.
Aku menuju rumah Ferayu yang tak jauh dari rumah Ais. Cukup berjalan kaki. Karena saat itu aku diantar oleh supir pribadi ayahku. Dengan gontai aku mengetuk pintu rumah Ayu. Tidak lama kemudian kudengar langkah kaki. Secercah cahaya masuk ke dalam hatiku.
"Mas Tio, cari siapa?" ucap Bibi Santi.
"Ferayu ada, Bik?"
Bibi Santi terlihat gelisah. Ia menunduk. Hatiku kembali sesak. Ada apa lagi? Ada apa dengan Ayu. "Bibi?" panggilku.
"Masuk dulu yuk, Mas," ajak Bik Santi.
Aku mengangguk. Kemudian masuk dan duduk di sofa beludru merah. Sofa kesayangan Ayu.
"Non Ayu pergi, Mas!" kata Bik Santi.
"Pergi? Kemana?"
"Bibi gak tau mas."
Tubuhku kembali lemas. Aku menyandarkan punggungku pada sofa. Setelah Ais, sekarang Ayu.
"Kenapa Bibi bisa gak tau?"
"Non Ayu Cuma bilang mau nerusin kuliah."
"Di mana, Bik?"
Bik Santi menggeleng. Hilang sudah harapanku. Kepalaku pusing karena menghilangnya kedua sahabatku. Seketika aku ingat sesuatu.
"Ais kemana, Bik?"
Tiba-tiba Bik Santi menangis. Aku benar-benar kebingungan.
"Loh? Kenapa menangis, Bik? Ada apa?"
"Non Ais ... Non Ais meninggal Mas. Dia overdosis."
JGR!!! Jantungku serasa meloncat melalui tenggorokan. Ais overdosis? Tidak mungkin. Jadi, jarum suntik dan narkoba itu benar-benar milik Ais.
"K-kapan?"
"Sudah tiga tahun yang lalu."
Aku tersentak. Selama itu? Mengapa aku tidak mengetahuinya. Oh, benar-benar aku kehilangan kontak dengan Ayu, Ais maupun Dani. Ponselku rusak, hingga sulit memberi kabar sahabat-sahabatku. Bodohnya aku! Tolol!
"Tante Reni dan Om Adi?"
"Nyonya Reni bunuh diri sebelum kematian Non Ais, dan Tuan Adi pergi, Mas."
"Apa? T-tante bunuh diri?"
Bik santi mengangguk. Aku semakin menutup mukaku. Kejadian-kejadian besar menimpa sahabatku. Sungguh keterlaluan hidup ini! Tidak adil! Seandainya aku tau. Lengkap sudah alur hidup sahabatku. Ais overdosis karena kehilangan Mamanya, dan Ayu pergi untuk meninggalkan kenyataan hidup sahabatnya.
Flashback Off.Dani menghajarku dari segala arah. Perut, wajah, kaki, semua dipukulnya habis-habisan. Bukan hanya pukulan marah menurutku, tapi juga segala emosi yang tertahan sejak tadi. Aku membiarkan ia melampiaskan padaku. Dani yang biasanya tenang, kini membabi buta. Ini benar-benar kejutan untuk Dani. Aku tak yakin ia akan memaafkanku.
"Kenapa lo gak pernah cerita ke gue kalo Ayu sakit?! Kenapa!!"
Dani masih terus menghajarku. Meskipun sudut bibirku berdarah dan perutku sakit, aku tidak peduli. Ini memang balasan untukku. Setelah Dani lemas, ia terduduk tak berdaya. Keringat mengalir deras di wajahnya. Aku pun ikut terduduk lemas. Tulang-tulangku terasa remuk.
"Jadi, kenapa?" tanyanya lemah.
"Gue pengen ngasih tau lo. Tapi gue gak bisa. Karena lo tau, gimana frustasinya Ayu kalo gue dan lo tau tentang rahasia kelamnya. Dia pasti bakalan pergi. Gue juga gak mau kehilangan Ayu, sahabat gue."
"Kapan lo tau Ayu punya penyakit brengsek itu?"
"Dua tahun lalu. Gue ke Semarang, gue pergi ke rumah Ayu dan Ais. Tapi gue gak ketemu dengan Ayu ataupun Ais. Gue malah dapat kabar buruk tentang meninggalnya Ais dan perginya Ayu. Gue cuma nemuin buku harian Ais."
"Jadi-"
"Iya Dan, gue tau semuanya dari buku harian Ais. Bukan Ayu yang kecanduan narkoba, tapi Ais. Dia mengkonsumsi barang haram itu sampai ... sampai overdosis, Dan!" Aku menjambak rambutku frustasi.
"Lo tau janji Ayu ke Ais?"
Aku mengangguk. "Menurut gue itu janji konyol. Janji anak SD. Tapi Ais dan Ayu selalu berpegang teguh dengan janji mereka. 'Ayu gak boleh cinta sama cowok yang dicintai Ais' begitulah isinya. Gue rada' lupa."
"Jadi, Miko itu?"
"Apaan Miko?" tanyaku.
"Lo tau bocah yang dulu dikagumi Ais semasa SD?"
Aku mencoba mengingat. Tentang curhatan Ais mengenai cowok yang disukainya membuatku bosan untuk didengar. "Anak basket itu?"
Dani mengangguk. "Miko itu kapten basket di kampusnya?"
Aku menganga. Sekarang aku mengerti tujuan ucapan Dani. Tapi apa mungkin? Seseorang yang dielu-elukan Ais dulunya satu sekolah menengah atas denganku.
"Namanya Dika, Dan."
Dani memandangiku heran. "Maksud lo?"
"Orang yang dipuja Ais namanya Dika. Gue gak tau nama lengkapnya siapa. Tapi teman-temannya manggil dia, Dika."
Dani mengacak-acak rambutnya frustasi. Begitupun denganku.
*
"Sayang, bangun! Bangun!" seseorang menepuk pundakku.
Aku mengerjapkan mata berkali-kali. Oh ternyata kekasihku. Nadin. Ya Ampun! Betapa aku merindukan gadisku ini. Aku memeluknya tapi dia malah mendorongku pelan.
"Kenapa sih?" ucapku sedikit sebal.
"Kamu bau. Mandi dulu sana. Ini nih bajunya!"
Aku menatapnya mesra. "Ya ampun, sayang. Perhatian banget sih!"
Nadin terlihat salah tingkah. "Udah, mandi sana. Aku juga bawain baju Dani!"
"Kenapa kamu juga perhatian sama Dani sih?"
Nadin memutar bola matanya, membuatnya semakin cantik. "Sudah sana! Ngomong terus!"
Aku mencubit pipinya gemas kemudian mengacak-acak rambut lurusnya. Ia sempat melototiku tapi aku kabur duluan ke kamar mandi.
Setelah mandi aku langsung menemui Ayu. Keadaannya sudah lebih baik meskipun ia belum sadarkan diri. Kulihat Nadin memegang tangan Ayu, tubuhnya bergetar karena terisak. Meskipun Nadin membelakangiku tapi aku tau ia menangis.
Aku menghampirinya, kemudian mengusap bahunya pelan. Ia menatapku sendu. Apakah Nadin menyayangi Ayu seperti halnya aku dan Dani menjaga Ayu?
"Dia koma," ucapku.
"Kenapa Fera jadi begini?"
Aku menghela napas. "Dia-" tiba-tiba tenggorokanku tercekat. Apa aku harus menceritakan semuanya pada Nadin.
Nadin mengusap air matanya. Lalu mengeluarkan sebuah botol dari dalam tasnya. Ia memberikan botol tersebut padaku. Aku mengambilnya lalu membaca sebuah tulisan yang tertempel pada mulut botol.
"ARV," ucapku.
"Botol itu dari kamar Fera. Emm ... itu obat untuk apa?"
Fix! Tidak ada alasan lagi untuk menahan kebenaran Ayu. Nadin memandangku heran. Ia menunggu jawaban dariku. Aku menghela napas, lalu mengajaknya keluar. Aku takut tiba-tiba ia menjerit tak terkendali. Terpaksa, aku membawanya ke taman belakang rumah sakit.
"Sayang, sebelum aku cerita. Aku pengen kamu janji?"
Nadin mengerutkan kening lalu berkata, "Janji apa?"
"Janji untuk tidak meninggalkan Ayu. Janji untuk selalu menjaga Ayu!"
"Maksud kamu apa?"
"Kamu mau kan janji?"
Nadin langsung mengangguk tanpa berpikir. "Iya, aku janji."
Aku menghela napas sebelum menceritakan segalanya tentang Ayu. Berkali-kali aku memandang Nadin khawatir. Tapi tekadku bulat, aku harus menitipkan Ayu pada kekasihku.
"Lima tahun lalu .... "
*
Nadin menangis tersedu-sedu. Aku memeluknya erat. Setiap kata yang kuucapkan pada Nadin selalu diiringi air mata. Hatiku sebenarnya juga terasa sakit. Tapi aku masih bisa menahan air mataku, karena tentu saja aku laki-laki tulen. Aku terus mengusap punggung Nadin. Sedikit demi sedikit isakannya mereda. Aku mengurai pelukannya. Ia mengangkat wajahnya untuk menatapku. Matanya yang sembap menjadi jawaban dari pertanyaanku bahwa Nadin benar-benar menyayangi Ayu.
"Kenapa? Kenapa harus Fera?"
Aku menggeleng pelan. "Tidak ada yang menyangka, Sayang. Aku juga begitu. Aku selalu berharap Ayu baik-baik saja. Aku selalu berdoa Ayu tetap menjadi Ayu-ku yang kecil."
"Ais jahat! Dia udah bikin Fera menderita. Harusnya dia gak bikin Fera begini kalau dia benar-benar menyayangi sahabatnya!"
Aku memegang bahunya. "Nadin, aku mohon, jangan ucapkan itu pada Ayu. Ayu selalu membela Ais. Ayu sangat kehilangan Ais. Kita tidak pernah tau apakah Ayu menyuntiknya sendiri? Ataukah Ais yang menyuntikkan barang haram itu pada Ayu? Kita tidak pernah tau jawabannya!"
Nadin membuang muka. "Tapi tetap saja, Ais salah. Harusnya Ais lebih tegar. Harusnya Ais bisa menghadapi kenyataan tanpa mengenal barang-barang menjijikkan seperti itu!"
"Iya Nadin, harusnya memang begitu. Tapi kita tidak bisa mengubah masa lalu. Nadin, kamu masih ... masih mau menepati janjimu?"
Nadin memincingkan matanya padaku. Aku takut kalau-kalau Nadin berubah pikiran. Karena aku tau, mayoritas orang akan menjauhi Ayu karena penyakitnya. Apalagi wanita, mereka terkadang mementingkan perasaannya sendiri tanpa bermain logika.
"Tentu saja aku menepati janjiku. Fera sudah kuanggap saudaraku. Aku menyayanginya."
Aku menghela napas lega kemudian memeluk Nadin dengan sepenuh jiwa. Ternyata aku tidak salah memilih kekasih. Kekasih yang lembut hatinya meskipun bawelnya gak ketulungan. Karena dasarnya manusia tidak ada yang sempurna.
"Tapi kita masih punya PR," ucap Nadin.
"Apa?"
"Miko."
Miko? Oh, seseorang yang dicintai Ayu. Tapi bukannya Miko punya pacar saat ini. Siapa sih namanya? Lin ... Linda. Ya itu namanya. Tiba-tiba perbincanganku dengan Dani malam itu mengingatkanku pada satu hal.
"Sayang, kamu tau dengan Dika? Teman SMA dulu."
"Dika? Dika yang mana?"
Aku sulit menggambarkannya. Karena jujur saja, aku tidak mengenalnya apalagi memperhatikan setiap inci tubuhnya. Yang aku ingat hanya satu, basket.
"Kalau gak salah kapten basket."
Nadin mengerutkan kening. "Kalau dia tentu saja aku tau. Dia juga kapten basket di kampusku."
"Apa?"
"Dika itu ya Miko. Nama lengkap Miko adalah Miko Ferdika!"
JGR!!! Jadi benar, dugaan Dani benar! Miko adalah laki-laki yang dipuja-puja Ais. Sekarang aku tau mengapa Ayu meninggalkan Miko. Ya Tuhan, mengapa dunia sesempit ini. Ayu pasti sudah mengetahuinya. Dan bodohnya, Ayu meninggalkan Miko demi janji. Janji konyol pada Ais.
Aku mengacak-acak rambutku sendiri. Nadin menatapku bingung. Dalam hati aku mengumpat ketololan Ayu. Saat-saat seperti ini saja dia masih memikirkan masa lalunya. Seharusnya ia memikirkan keadaannya, tapi malah sebaliknya.
"Kenapa?" tanya Nadin cemas.
"Apakah Ayu benar-benar mencintai Miko?"
Nadin mengangguk kuat. "Aku bertaruh kuat dengan perasaan itu."
"Miko? Apa dia mencintai Ayu sebaliknya?"
Nadin menghela napas panjang. "Aku tidak tau. Sulit membaca Miko. Saat Fera bersamanya, Miko tidak henti-hentinya tersenyum dan memandang Fera penuh cinta. Tapi sekarang dia memilih orang lain. Aku pikir, Miko hanya butuh pelampiasan. Tapi Fera, semua salah Fera karena memainkan sandiwara konyolnya di depan Miko!"
"Sayang, Miko adalah janji Ayu pada Ais. Dulunya Ais memuja Miko, Ayu tahu betul tentang itu begitupun dengan aku dan Dani. Ayu tidak boleh mencintai seseorang yang dicintai Ais."
"APA!!!" jerit Nadin.
Ya, kejutan lagi bukan. Aku tidak menyangka kehidupan Ayu terlalu banyak kejutan. Tapi sungguh, janji-janji mereka konyol. Hanya sebuah janji siswi SD. Yang tidak mengerti cinta. Dan tidak bisa membedakan antara memuja dan mencintai.