Hujan kembali menemani pagiku. Seharusnya aku kuliah, tapi aku tak ingin. Semangatku surut dan hampir sirna. Sudahlah, tak ada yang memaksaku. Aku ingin sendiri. Bertemankan hampa dan sesal.
Aku berdiri di balkon kamar. Air hujan menghujam wajahku. Biarlah! Biar hujan melakukan tugasnya. Aku mengulurkan tanganku. Tetes demi tetes berjatuhan di telapak tanganku. Seandainya masa lalu itu seperti hujan. Airnya turun silih berganti, bermuara lalu lepas ke lautan. Menyedihkan. Apalagi yang tersisa dari hidupku. Hanya seutas cinta yang tak seharusnya kumiliki. Atau, hanya sebuah penyakit yang terus menjeratku.
"Dek, ngapain kamu di situ? Nanti kamu sakit!!"
Aku menurunkan pandanganku. Kak Dani berdiri di tengah derasnya hujan dengan tangan menggamit payung. Walaupun begitu, setengah bajunya basah kuyup dan badannya hampir menggigil. Aku menatapnya nanar tanpa bergerak sedikitpun.
Merasa terabaikan, Kak Dani berlari memasuki rumahku. Tak lama, kudengar derap kaki mendekat. Aku tetap bergeming hingga sebuah tangan menarikku ke dalam pelukannya.
"Kenapa kamu berdiri di situ?" tanya Kak Dani khawatir.
Aku membisu.
"Kalo kamu sakit bagaimana?"
Air mataku menetes seraya lirih berkata, "Aku udah sakit, Kak!"
Tangan kuat Kak Dani mengusap air mataku. "Bukan begitu caranya lari dari kenyataan," ujarnya.
"Aku capek, Kak!"
"Apa delapan tahun mengubahmu seperti ini?"
"Sampai kapan aku harus berpura-pura kuat? Aku bosan!"
"Sudahlah, kamu ganti baju dulu. Kakak mau ajak kamu ke suatu tempat."
Kak Dani menggiringku menuju kamar. Awalnya aku diam, tapi Kak Dani terus mendesakku. Hingga akhirnya aku menyerah, dan Kak Dani memberiku waktu untuk sekedar ganti baju.
Hujan telah berhenti. Samar-samar aku mendengar seseorang yang beradu mulut. Perlahan aku membuka pintu kamarku lalu menuruni tangga. Suara itu semakin jelas saat aku mendekati ruang tamu. Ternyata, Kak Dani sedang beradu mulut dengan Miko. Yang kulakukan hanya diam dan menyaksikan.
"Lo gak perlu peluk-peluk dia!" bentak Miko.
"Dia hujan-hujan, dan gue harus diem aja gitu!"
"Lo cukup bawa dia ke kamarnya!"
"Dengar! Ayu sahabat gue. Gue juga jagain Ayu, bukan cuma lo yang khawatir sama Ayu. Gue juga-"
"Tapi lo peluk dia di depan mata gue!"
Kak Dani mendorong Miko mundur. "Gue tau lo sakit hati gara-gara sandiwara pertunangan itu. Berapa kali gue bilang kalo semua itu pura-pura! Berapa kali!!"
Miko mengepalkan tangannya lalu tak sengaja matanya menatapku yang tengah berdiri dengan bercucuran air mata. Kalian pasti tau rasanya bagaimana jika dua orang yang kita sayang bertengkar? Apalagi titik masalahnya ada padaku. Bukan sekedar menyakitkan, tapi ... entahlah! Aku tak bisa menggambar perasaan yang berkecamuk dalam dadaku.
"Fe ... ra," ucap Miko lirih.
Kak Dani mengikuti arah pandangan Miko. Ia tersentak melihatku. Ingin rasanya aku beranjak, tapi kakiku rasanya kaku. Tatapan mata dari kedua pasang mata itu seakan menghipnotisku.
"Sejak kapan kamu berdiri di situ?" tanya Kak Dani sembari berjalan ke arahku.
Aku hanya mengusap air mataku. Lidahku kelu. Tenggorokanku sakit seakan menelan bongkahan batu besar.
"Sudahlah, sekarang kita pergi," ajak Kak Dani sambil menarik tanganku.
Aku hanya bisa menurut tanpa menoleh pada Miko. Tanpa mempedulikan keberadaannya. Sakit hati atau cemburu pasti memuncak dalam dada Miko. Ah sudahlah! Rasanya tak penting.
Setengah jam kemudian, Aku dan Kak Dani berada di sebuah padang ilalang yang luas. Dan benar, sejauh mata memandang, aku hanya menatap ilalang yang berliuk-liuk dalam gulatan angin. Kak Dani meletakkan karpet di tengah-tengah padang ilalang, lalu menyuruhku duduk, sedangkan Kak Dani sendiri berbaring.
"Gimana perasaan kamu?" tanya Kak Dani sambil memejamkan mata.
Aku meliriknya tanpa minat menjawab.
"Aku merasakan bebas dan lepas. Aku merasa berada di tengah-tengah kehidupan yang menyenangkan," kata Kak Dani.
Kedua mata Kak Dani terbuka lalu menatapku sambil memiringkan kepalanya. "Sini deh, ikutan baring. Kamu bisa memandang langit yang luas," katanyAku menurut lalu membaringkan tubuhku berbantal tasku sendiri. "Langitnya tertutup awan," ucapku.
Kak dani terkekeh. "Sama kayak kamu, Dek. Senyuman kamu tertutup awan. Kebahagiaanmu tertutup awan. Seandainya aku bisa menghapus awan-awan itu, sayangnya gak bisa. Satu-satunya orang yang bisa menghapus awan-awan, kamu acuhkan."
Aku memincingkan mata. "Apa maksud-"
"Kamu tau maksud Kakak, hanya saja kamu malu mengakui atau memang gak mau mengakui," timpalnya.
Yah, pikiranku cuma pada Miko, dan Miko. Mungkin itu maksud Kak Dani, dan tentu saja aku segera menepisnya. Karena aku tak mau mengakui.
"Dek, kamu pernah liat pelangi?"
Aku mengangguk. "Tentu saja."
"Kamu tau kan pelangi terjadi karena kombinasi antara air dan sinar?"
"Ya, lalu?"
"Gambarkan satu kata tentang pelangi."
"Emm ... indah," ucapku asal.
"Bayangkan kalo air adalah kesedihan, sinar adalah kebahagiaan dan pelangi adalah keindahan."
Aku mengerutkan kening sambil berkata, "Keindahan terjadi karena kombinasi kesedihan dan kebahagiaan."
Tiba-tiba Kak Dani duduk lalu menatapku lurus. "Jadi, untuk mencapai keindahan hidup kita harus tangguh menghadapi rasa sedih dan bahagia. Jika kita terpuruk dalam kesedihan terus menerus, maka keindahan hidup tak akan muncul."
Aku mengerti arah pembicaraan Kak Dani. Rencana Tuhan pasti indah. Seindah pelangi yang membentang luas menembus cakrawala. Sinarnya yang memanjakan mata. Siapapun yang melihatnya, pasti akan merasa bahagia.
Aku tersenyum lalu memeluk Kak Dani.
"Jangan sedih lagi ya," katanya.
