Hujan mengguyur bumi bersamaan dengan kilat yang menyambar kejam. Begitu juga dengan hatiku. Basah dan pelik. Aku menjalani kemoterapiku yang pertama. Mengerikan. Tak pernah kubayangkan tubuhku tersambung dengan kabel-kabel yang siap menyengat kulitku. Beberapa saat sebelum keasadaranku hilang, aku sempat melihat orang-orang yang kusayang tersenyum padaku.
Tubuhku lemas. Syaraf-syaraf dalam tubuhku rasanya mati seketika. Kepalaku pusing dan berkunang-kunang. Perutku mual sekaligus lapar. Berapa lama lagi aku harus merasakan efek kemo? Setahun, dua tahun, lima tahun atau sewindu. Saking lemasnya, Aku sempat digendong Miko menuju mobil saat hendak pulang. Menyedihkan.
Miko menyuapiku makan di kamar. Kak Dani dan Tio berduel game di komputerku. Papa diharuskan kembali ke kantor karena ada hal penting yang diurus. Nadin tidur di sebelahku, wajahnya benar-benar lelah. Sedangkan diriku terbujur lemah di atas ranjang, benar-benar lemah. Tragis.
"Lo gak bosen nyuapin gue mulu?" tanyaku.
Miko menggeleng. "Gue gak bakalan bosen, asalkan lo sembuh."
"Kalo gue gak sembuh?"
Miko terdiam. Kak Dani dan Tio saling melempar pandang. "Kalo lo gak sembuh, gue bakal cekik tuh dokter karena gagal nyelametin sahabat terbaik gue!" kata Tio.
Aku tertawa garing. Sumpah, gak lucu!
"Kayaknya lo harus sering-sering liat stand up comedy deh, Kring!" ujarku.
"Lo juga harus sering-sering periksa ingatan lo deh, Yu!"
"Kenapa?"
"Soalnya lo lupa terus sama nama beken gue!"
Nah loh, jayus lagi kan!
Aku geleng-geleng kepala. "Sayangnya, gue cuma punya sahabat cungkring bukan Tio."
"Oh, jadi gitu, nih. Kita end sampai di sini, nih!"
Aku mencibir. "Whatever!"
"Oke, gue pergi!" sentaknya.
Tio melangkahkan kaki. Tepat di dekat pintu, ia memutar badannya sambil menatapku masam.
"Kok berhenti?" tanya Kak Dani.
"Kalo capek, duduk aja. Kursinya dua langkah dari tempat lo berdiri," ujar Miko seraya menunjuk sofa merah di dekat Tio.
Tio bergeming. Matanya menatap kami satu persatu.
"Lo gak pantes jadi pajangan! Gak bakalan laku kali," celetukku.
Tio menghela napas panjang lalu duduk di tempat yang ditunjuk Miko seraya berkata, "Untung gue cowok, tulen lagi! Untung hati gue buka made in china!" omelnya.
Aku tertawa bersamaan dengan Miko dan Kak Dani.
*
Hari-hari selanjutnya menjalani kemoterapi semakin buruk. Maksudku, buruk bukan untuk kesehatanku, tapi penampilanku. Bukan rahasia khusus lagi, bila kemo mengakibatkan rambut rontok hingga gundul. Akankah aku mengalami hal demikian? Pasti.
"Aku ndak tahan dikemo terus, Kak!"
"Kakak tau. Tapi semua untuk kebaikan kamu."
"Kebaikan apa? Aku semakin tersiksa! Dan janji-janji tentang kesembuhanku, rasanya, semua bullshit!"
Kak Dani menghela napas. Aku menimang-nimang jawaban apa yang akan Kak Dani lontarkan. Mengingat harapan kesembuhanku, rasanya hatiku tersayat. Jemariku saling bertaut. Batinku berteriak semakin menjadi-jadi. Kenapa Kak Dani diam? Apa memang tak ada harapan untuk kesembuhanku? Aku tertawa miris.
"Gue gak nyangka, Ferayu selemah ini."
Aku tersentak mendengar suara di belakangku. Dona menatapku getir namun seulas senyum tersungging di bibirnya.
"Dona? Lo-""Apa kabar?" tanya Dona.
"Gue ... gue baik-baik ... aja," jawabku terbata-bata.
"Aku tunggu kamu di mobil," pamit Kak Dani seraya menepuk bahuku pelan.
Aku menjawabnya dengan senyum sambil mengangguk lemah.
Setelah kepergian Kak Dani, Dona mendekat membuatku gugup. Kuselipkan poni yang menutupi wajahku ke belakang telinga.
"Syukurlah, tapi hari ini lo harus menjalani kemo lagi kan?" tanyanya.
Aku tertegun. Ternyata Dona mengetahuinya. Aku menundukkan kepala dalam-dalam. Mataku mulai berkaca-kaca. Tanganku sudah basah karena keringat yang muncul tiba-tiba. Kenyataan, aku harus menelan bulat-bulat sebuah kenyataan. Dona memelukku lembut.
"Menghilang dari hidup lo bukan berarti gue gak tau apa-apa. Gue tetep peduli sama elo ... dalam diam. Karena gue tau, ada Miko, Papa elo, sahabat-sahabat elo yang siap berkorban buat elo. Tapi, hari ini gue mencoba tampil di depan elo. Walaupun gue harus mentata kembali hati gue."
"Maafin gue, gue-"
Sebutir air mata meleleh ke pipiku. Sesuatu di dalam hatiku remuk, dan pecahan-pecahannya seolah menyebar ke puing-puing pertahananku. Tanpa kusadari, Dona tersakiti. Ia menyeka air mataku.
"Lo gak boleh nangis di dada gue. Lo gak kasian, nanti muka gue bonyok gara-gara di tonjok Miko. Kalo cuma lecet sih biasa, tapi kalo sampe hancur, kan bisa turun investasi kepopuleran gue di kampus. Bisa-bisa cewek-cewek lebay itu gak muja-muja gue lagi, mau tanggung jawab lo?"
Aku terkekeh lalu meninju bahunya keras. Tak seburuk yang kupikirkan, Dona mampu menghiburku dalam keadaan genting begini. Bibirku tersenyum, tulus dari dalam hatiku. Aku beruntung, dicintai oleh orang sebaik Dona. Kepopuleran tidak membuatnya sombong.
"Narsis lo!" umpatku.
Dona nyengir lebar. "Gitu dong ketawa, kan tambah cantik. Ya udah yuk, katanya mau kemo." Aku mengangguk.
*
Aku duduk termangu di dalam mobil. Mataku menembus kaca menatap hiruk-pikuknya metropolitan. Ada suasana mendung yang menaungi wajahku. Ya, aku harus menjalani kemo lagi.
"Miko," panggilku.
"Hmm ...."
Aku mendengus. "Gue libur kemo, hari ini aja," rengekku.
Alis Miko bertaut, namun tatapannya masih lurus ke jalanan. "Kenapa? Lo harus rutin, Fer."
"Lo gak tau sakitnya dikemo!" ucapku sengit.
"Semua untuk kesembuhan elo, Fer."
"Bohong!" bentakku, "kemo cuma buat memperpanjang umur gue aja. Bukan buat nyembuhin penyakit gue."
"Fer-"
"Gue tau kalian bohong! Apa perlu gue jelasin, kanker gue udah naik stadium 3 dan lo bilang buat nyembuhin gue!" aku tertawa miris, "gue gak bodoh!"
Miko menepikan mobil. Ia menggenggam erat tanganku. Matanya menatapku serius. "Nggak! Lo pasti sembuh."
"Keajaiban. Hanya keajaiban yang bisa bikin gue sembuh!"
"Bukan-"
"Lo lupa penyakit awal gue? HIV dan kanker! Dan lo masih berharap gue sembuh?"
"Iya!" jawab Miko tegas, "gue selalu berdoa untuk kesembuhan elo, meskipun kemungkinan itu sangat kecil. Gue percaya keajaiban. Keajaiban untuk kesembuhan elo."
"Padahal gue ngerasa detik-detik kematian gue udah di depan mata."
"FERA!" bentak Miko, "bisa gak lo lebih tegar!"
Sebutir air mata lolos dari sudut mataku. "Gue gak bisa! Lo gak pernah jadi gue yang ... yang penyakitan. Gue menderita, dan udah lama gue putus asa. Gue nyerahin hidup gue ke takdir," ucapku lirih.Miko memelukku. Dadaku mulai sesak. Bahuku bergetar hebat karena isakan. "Oke, sekarang mau lo apa?" tanya Miko seraya mengusap air mataku.
"Gue pengen jalan hari ini."
"Kemana?"
"Danau."
Miko mengurai pelukannya lalu menangkup kedua pipiku. "Oke. Hari ini aja, janji?"
Mataku berbinar. "Janji!" ucapku.
Mobil berputar arah menuju danau. Hatiku melambung. Tak ada yang bisa mengukur kebahagiaanku selain lolos dari kemo. Senyum tak lepas dari bibirku.
"Seandainya senyum lo bisa diabadikan, pasti udah gue masukin ke dalam botol. Terus gue tutup rapat, kalo perlu gue gembok, kuncinya gue buang ke laut. Biar senyum lo gak kabur dari botol," cerocos Miko.
Aku hanya tersenyum geli melihat wajah Miko. Tapi, entah mengapa ada sesuatu yang berdengung dalam perkataan Miko.
