11. GETIR

128 7 0
                                    

Kami bertiga makan malam di sebuah restoran cepat saji. Aku terpaksa memakai kacamata. Mataku bengkak karena terus menerus menangis. Tio tak henti-hentinya menertawaiku. Aku tau ini bukan hal yang lucu. Tio hanya menghiburku, makanya aku tidak marah cuma tetap saja aku kesal. Semakin aku melototinya, ia semakin menjadi-jadi.
"Lo mirip banget sama tikus. Matanya gede," olok Tio.
Aku mengernyitkan kening. Emang tikus matanya besar ya? Ngayalnya benar-benar keterlaluan si cungkring ini. Aku geleng-geleng kepala. Telingaku akan budek kalau saja tetap meladeninya.
"Udah deh lo mau pesan apa?"
"Apa aja, yang penting bukan makanan tikus."
Tuh kan! Nyebelin lagi. Aku melempar tasku pada Tio. Bukannya kesal, dia malah semakin tertawa. Aku rasa dia kesambet dari pemakaman tadi.
"Lo kesambet ya?" tanyaku pedas sambil membolak-balikkan menu mekanan.
"Iya, kesambet mata lo yang kayak tikus."
Argh! Aku benar-benar sebal. Kulemparkan buku menu itu tapat di wajahnya. Tio tertawa lagi. Aku memohon pada Kak Dani. Tapi, dia mengangkat bahu dan rasanya Kak Dani juga menahan tawa.
Aku malu. Sangat malu. Kudengar pelayan di sebelahku juga terkikik.
Argh! Dasar Tio cungkring. Awas lo nanti. Tunggu pembalasan gue!
Aku bangkit dari tempat dudukku. Kemudian dengan menghentakkan kaki keras. Masa bodo dengan orang-orang yang memandangku heran.
"Ayu, mau kemana lo? Diluar gak ada lubang tikus," ucap Tio.
Aku pergi tapi Tio tetap mengolokku. Aku semakin menghentakkan kaki.
"Dek, mau kemana? Ini bukan Surabaya."
Ucapan Kak Dani menghentikanku. Bodoh betul aku ini. Aku lupa kalau kami masih di Semarang. Satu-satunya yang harus kulakukan yaitu kembali ke meja makan. Tapi tidak! Harga diri dong. Masa' sih aku kalah sama si cungkring Tio. Gak bakalan. Liat aja. Aku membalikkan badan lalu menatap tajam Tio.
"Aku mau ke warteg," ucapku asal. Aku membalikkan badan lagi dan pergi.
Ah! Sialan! Tio benar-benar menyebalkan. Padahal dulu aku yang selalu mengolok dia, tapi sekarang Tio malah mengolokku. Balas dendam ternyata dia. Oke! Aku tidak mau tinggal diam. Liat saja nanti. Dia akan memdapat perlawan yang seseungguhnya dariku.
Perutku benar-benar keroncongan. Aku berjalan gontai mencari warteg. Sialan! Aku menepuk dahiku. Aku tidak membawa tas. Jelas-jelas tadi aku melemparnya pada Tio. Argh! Dasar cungkring! Aku merogoh saku celanaku. Mungkin saja ada uang terselip.
"Nah ada. Lima puluh ribu. Wah lumayan, setidaknya gue bisa makan dan minum. Awas lo cungkring. Gue bakal bikin lo minta ampun sampe sujud-sujud ke gue." aku terkekeh membayangkan.
Aku menoleh ke kanan kiri. Mencari warteg terdekat. Ketemu, warteg itu ada di seberang jalan. Aku segera memposisikan diri untuk menyebrang. Huh! tak ada zebra cross. Setelah lumayan sepi aku menyebrang dengan sangat hati-hati.
Namun, tiba-tiba kepalaku terasa pusing. Aduh! Jangan dulu! Gak bisa liat lagi nyebrang nih. Argh! Semua berasa berputar-putar hingga akhrinya terdengar dentuman keras menghantam tubuhku. Tubuhku serasa melayang. Kini bukan hanya kepalaku yang pusing, tapi seluruh tubuhku terasa sakit yang amat hebat.
Aku mencoba memanggil Kak Dani dan Tio tapi lidahku kaku. Dalam celah mataku yang setengah tertutup, aku melihat Kak Dani dan Tio berlari ke arahku. Aku tersenyum lalu gelap.
*
TIO'S POV.

Aku benar-benar bodoh. Aku keterlaluan. Sejak makan tadi aku mengkhawatirkan Ayu. Dia benar-benar kesal padaku. Tapi aku yakin dia tidak marah. Aku sengaja menggodanya, karena sejujurnya aku tidak tega melihat sahabatku menangis. Aku lebih suka melihat Ayu tertawa atau sebal. Karena hatiku juga terasa pedih. Ditambah lagi, alasan Ayu menangis adalah Ais. Salah satu sahabatku juga.
Aku segera menyelesaikan makan malamku kemudian berlari untuk mencari Ayu. Perasaanku benar-benar tidak enak. Apalagi Ayu pergi dengan emosi kesal. Dani segera mengikutiku. Bukannya dia bilang akan pergi ke warteg. Aku menolehkan kepala ke segala arah. Warteg terlihat di seberang jalan. Tapi Ayu tidak ada di sana. Aku kembali mencari Ayu. Ya ampun! Anak itu sedang menyebrang jalan. Aku mencoba menyusulnya tapi tiba-tiba beberapa kendaraan melaju begitu cepat. Aku melihat Ayu gelisah, dan kenapa dia berhenti ditengah jalan begitu. Ada apa dengannya? Mengapa dia memegang kepalanya. Jangan-jangan!
Aku segera berlari dengan hati-hati tapi terlambat. Tubuh Ayu dihantam oleh truk buah. Ayu terlempar sejauh lima meter. Tubuhnya bersimbah darah. Darahku serasa berhenti. Dani berlari mendahuluiku, sedetik kemudian aku menyusulnya. Terlambat! Ayu tak sadarkan diri. Dani mengguncang-guncang tubuh Ayu sambil memanggilnya.
"Tio, panggil ambulans. Cepat!"
Aku segera mengambil ponselku dari saku. Jariku bergetar hebat saat memutar nomor ambulans. Pada nada pertama, terdengar suara halo dari seberang telepon.
"Pak, ada kecelakaan di depan Restoran Cepat Saji Hidayah."
Klik. Aku mengakhiri panggilanku. Aku duduk di samping tubuh Ayu. Memeriksa denyut nadinya. Ayu masih hidup. Ya Tuhan! Hamba mohon selamatkan Ayu.
Beberapa menit kemudian ambulans datang. Tubuh lemah Ayu langsung di bawa masuk dalam ambulans. Aku bersamanya. Dani mengikuti kami bersama mobilnya. Tak henti-hentinya aku memanjatkan doa hingga sampai di rumah sakit terdekat. Ayu diturunkan dari ambulans lalu di bawa ke UGD. Aku mengumpat saat suster melarangku masuk.
Tidak lama kemudian Dani datang dengan napas terengah-engah. Saat itu aku duduk dengan mengusap kepalaku. Ini salahku membuat Ayu kesal. Kalau saja aku menghentikan leluconku, Ayu tidak akan pergi dari restoran. Dan, tidak akan terjadi kecelakaan yang menimpa Ayu. Dani menghubungi Papa Ayu dan kedua orang tuanya. Aku juga menghubungi Nadin.
"Semua salah gue, Dan!" ucapku.
Dani terlihat memejamkan mata seraya berkata, "Bukan. Ini bukan salah lo!"
Aku menghela napas. Dani terlihat menahan amarah. Tidak biasanya dia menggunakan lo-gue kecuali saat ia menahan emosi.
"Lo mau pukul gue, gue terima Dan!"
"Setelah gue mukul lo, apa Ayu bakal kembali seperti semula?"
Aku memejamkan mata. Aku benar-benar bodoh! Kenapa aku sampai hilang kendali begini Tuhan.
"Gue udah kehilangan satu sahabat. Gue gak mau kehilangan Ayu!"
Sama Dan. Aku juga tidak menginginkan Ayu pergi. Ingin rasanya aku mengatakan ucapan hatiku itu. Tapi semua tercekat di tenggorakanku semata.
Dokter dan suster keluar dari ruangan UGD. Aku dan Dani langsung menghampirinya. Dokter itu mengernyit melihat kami.
"Bagaimana keadaan Ayu, Dok?" tanyaku.
"Keadaan pasien saat ini kritis. Kami harus memindahkan pasien ke ruang operasi. Operasi akan dilaksanakan sebentar lagi. Limpa pasien sobek. Dan dia kehilangan banyak darah. Tapi tenang saja beberapa hari yang lalu rumah sakit ini mengadakan donor darah. Kemungkinan besar pasien akan mendapat donor darah secepatnya. Hanya saja ada yang mengganjal di sini tentang-"
"Operasi, Dok?" Dani memotong ucapan dokter.
"Iya, kami harus melaksanakan secepatnya."
Kakiku lemas. Ya Tuhan! Selamatkanlah sahabatku.

"Lakukan yang terbaik untuk Ayu, Dok," ucapku.
Dokter tersenyum lalu memandangiku dan Dani bergantian. "Di mana orang tua pasien?"
"Dia sedang perjalanan menuju ke sini, Dok. Kemungkinan besok sampai karena saat ini beliau ada di Medan."
"Baiklah, adakah salah satu kalian keluarga pasien?"
Aku dan Dani saling memandang. "Saya saudaranya, Dok!" ucap Dani.
Dokter itu mengangguk. "Baiklah, anda sekarang ikut ke ruangan saya. Ada hal yang harus dibicarakan."
"Saya boleh ikut, Dok. Saya ... saya sahabat pasien."
Dokter tersebut menimbang-nimbang sebentar lalu mengangguk. "Baiklah. Semoga kalian dapat memberi saya sebuah informasi mengenai pasien."
Aku dan Dani memasuki ruangan pribadi seorang dokter yang baru kutau bernama dr. Rian. Aku duduk canggung bersama Dani, dr. Rian sendiri mengetuk-etuk bulpoinnya di atas catatan-catatan yang baru saja diberikan suster.
"Ternyata benar dugaan saya." dr. Rian mengangkat mukanya menghadapku dan Dani, "sedekat apa kalian dengan pasien?" tanyanya.
"Saya selama ini berada di Medan, Dok. Sedangkan Ayu tinggal di Surabaya untuk kuliah," terang Dani.
"Kalau anda?"
"Saya baru saja datang dari Jepang. Sekitar seminggu yang lalu."
"Sejak kapan anda bersahabat dengan pasien?"
"Sejak kecil, Dok."
"Ah! Apakah pasien pernah kecanduan narkotika, jarum suntik atau sejenisnya?"
Aku mengernyit. "Tentu saja tidak, Dok."
"Apakah pasien pernah berhubungan seksual?"
"Saya yakin tidak, Dok," jawabku yakin.
"Sebenarnya ada apa, Dok?" tanya Dani.
Dokter terlihat menghela napas. "Pasien bernama Ferayu Lianda Fiko, positif terkena ... HIV!"
*

My DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang