14. TINGGAL

135 10 0
                                    

FERAYU'S POV.
Sinar matahari menusuk manik mataku. Berkali-kali aku mengerjapkannya untuk menyesuaikan keadaan. Langitnya putih, oh bukan! Itu dinding bukan langit. Aku berdiri menuju monitor jantung, infus dan slang. Kemana arah saluran alat-alat medis ini? Dan, di mana aku?
Aku membalikkan badan, kemudian berbalik lagi cepat. Tidak! ini tidak benar. Ini tidak nyata. Aku pasti sedang bermimpi. Aku membalikkan badan untuk yang kedua kalinya lalu berjalan mendekati ranjang. Wajah itu, mengapa wajahku di sana dengan kepala berbalut perban? Ujung bibirku membiru dan pipiku lebam. Aku menyentuhnya tapi tak bisa, tanganku menembus wajahku sendiri. Kakiku reflek mundur selangkah. Tidak! komohon stop! Jangan bermimpi lagi. Aku mencubit lenganku sendiri.
Aku tidak merasakan apa-apa!
Apakah aku sudah mati? Tapi mengapa monitor jantung yang terhubung ke tubuhku masih berbunyi. Apa yang sebenarnya terjadi pada diriku? Aku mencoba berpikir mundur. Samar-samar aku mengingatnya. Warteg, aspal, saat itu aku merasa pusing lalu truk buah dan kecelakaan. Ya, aku mengalami kecelakaan. Aku memeriksa tubuhku. Tidak ada yang terluka, mulutku dan pipiku merasa baik-baik saja. Tapi tubuhku di atas ranjang terlihat mengenaskan.
Aku mendengar derap kaki mendekat. Perlahan pintu terbuka. Dokter dan suster masuk untuk memeriksa keadaanku.
"Tidak ada perkembangan, Dokter."
Aku mendekati dokter dan melambaikan tangan di wajahnya. Mengapa dia tak menghiraukanku?
"Hey!" aku menepuk bahunya, lagi-lagi tak bisa.
Argh! Rasanya aku ingin menjerit. Ada apa dengan diriku sebenarnya? Mengapa aku terpisah dengan tubuhku? Apa aku hantu? Aku mengetuk kepalaku sendiri lalu melangkah lebih jauh mencoba menembus dinding. Tapi nyatanya tak bisa, kepalaku membentur tembok dan aku juga merasakan sakit di dahiku. Ya, setidaknya aku bukan hantu seperti di film-film mengerikan itu.
Suster dan dokter pergi dari ruang perawatanku. Aku mengikutinya keluar ruangan. Ternyata aku berada di ruang ICU. Apakah aku begitu kritis? Sepertinya, iya. Aku menghela napas berat. Aku melangkah menuju ruang tunggu dan melihat Kak Dani dengan Tio yang terlihat cemas. Penampilannya berantakan. Papaku bersama Om Adi juga tak kalah berantakan. Papa? Aku rindu papa. Bisakah aku memeluk Papa?
Tante Tiara dan Om Robi datang membawa segelas teh. Lalu diberikan ke Papa. Papa menengguknya hingga tandas Tapi, raut sedih dan khawatir belum hilang dari wajahnya. Tak lama kemudian Nadin datang bersama Miko. Apa! Miko? Kenapa dia ada di sini?
Tio memeluk Nadin yang menangis tanpa suara. Matanya sembap, tapi air mata masih mengucur deras. Dan, Miko bersama Kak Dani menatap tubuhku melalui jendela ruang ICU.
"Lo pengen liat dia dari dekat kan?" tanya Kak Dani.
Mata Miko tak lepas dari tubuhku yang lemah. Tiba-tiba ia pergi tanpa menjawab pertanyaan Kak Dani. Aku tak menyangka. Mengapa Miko pergi? Apa dia tak ingin bertemu denganku. Aku menghempaskan tubuhku ke dinding. Miko pasti masih membenciku karena aku membohonginya. Aku tak tau harus bagaimana lagi. Kuputuskan untuk pergi menjauhi mereka.
Aku berjalan di area rumah sakit tanpa arah. Aku hanya berharap bisa bertemu dengan seseorang yang bernasib sama denganku, atau seseorang yang bisa melihatku. Aku punya berbagai pertanyaan, terutama cara untuk kembali bersatu dengan tubuhku.
Aku lelah. Kakiku mulai malas berjalan serta tanganku yang tiada henti melambai ke setiap orang yang berpapasan denganku. Rasanya aku menyerah. Aku kembali ke ruangan di mana tubuhku berada.

Hatiku kembali pilu saat melihat Papa melamun dan Nadin masih terisak. Hidungnya merah dan pipinya sangat pucat. Tio merengkuh bahu Nadin. Mata Tio sedikit bengkak. Apakah cungkring menangis? Aku manatap tak percaya. Tio jarang sekali menangis bahkan semasa kecil. Jadi, mengapa dia menangisiku?
Tante Tiara dan Om Robi telah pergi, sedangkan Kak Dani mondar-mandir di depan jendela kamarku. Sesekali melirik ke dalam. Aku mengikuti lirikannya. Tubuhku masih terbujur lemah. Ya Tuhan, mengapa aku menyiksa orang-orang yang menyayangiku?
Miko datang. Senyumku mulai mengembang. Lalu Kak Dani membukakan pintu ruang ICU dan Miko masuk. Aku mengikutinya. Miko berdiri di ujung pintu. Matanya terlihat terluka. Dengan langkah pelan ia mendekati tubuhku kemudian duduk. Ia menggenggam tanganku. Aku membuka mata lebar-lebar dan duduk setegak mungkin di kursi.
"Kenapa lo lakuin ini?" gumamnya lirih.
Tangan kanannya mengusap pipinya. Miko menangis. Jangan! Jangan menangis untukku. Aku pernah melihat Miko menangis meskipun hanya sekali. Saat Mamanya meninggal. Dan sekarang dia menangis untukku. Apa dia pikir aku akan meninggalkannya juga? Tidak! Aku ingin hidup bersamanya, walau hanya untuk beberapa tahun saja.
"Harusnya lo jujur tentang penyakit lo. Gue tau, lo cinta sama gue."
Aku menarik napas untuk menenangkan diri. Miko tau segalanya. Tentang penyakitku, tentang masa laluku. Aku memalingkan muka. Sudah pasti ia mengetahui. Tak ada yang bisa disembunyikan. Semua pasti tahu. Aku meringkuk dan menenggelamkan wajah di antara kedua lututku.
"Gue mohon, buka mata lo. Gue butuh elo. Gue pengen denger suara elo."
Miko mengusap tanganku yang terpasang jarum infus. Aku rindu tangan Miko. aku ingin menyentuhnya, membalas genggamannya. Aku ingin.
"Gue tau, kalaupun lo sadar, mungkin lo bakal kesakitan. Tapi, gue gak mau kehilangan elo, Fer. Gue gak mau! Gue janji bakal jaga elo."
Aku memejamkan mata serta kututup telingaku dengan kedua tangan. Aku tidak sanggup. Aku tidak bisa mendengarnya begitu terluka. Aku tak ingin menyakitinya.
"Gue maafin elo, karena lo bohongin gue. Gue gak tau gimana caranya hidup tanpa elo. Mungkin, kehidupan gue bakalan sangat menyebalkan atau menyakitkan. Kalaupun lo akhirnya pergi, gue gak sanggup ngelupain elo, Fer."
Hatiku mulai teriris. Mengapa dia berbicara begitu? Aku tak bisa melihatnya menderita begini. Aku mohon tegarlah Miko. Aku tidak tau, aku akan pergi atau tidak. Jelasnya, aku tidak ingin pergi, sekalipun aku pergi, aku tidak ingin dalam kondisi seperti ini. Aku ingin pergi dalam dekapanmu. Ah, lebay sekali. Tapi itu wajar bukan. Air mataku mulai meleleh di wajahku begitupun juga di wajahku yang terbalut perban.
"Gue tau, lo denger semua ucapan gue. Gue yakin! Lo jangan nangis!"

Miko mengusap air mata di pipiku yang lebam. Ia terus mengusapnya tak peduli dengan air matanya sendiri yang lebih deras dariku. Ya Tuhan, seandainya aku dapat mengusap air mata itu.
"Gue ... gue cinta sama lo, Fer. Gue cinta lo apa adanya. Gue gak peduli penyakit elo. Gue cuma butuh elo. Suara lo, napas lo, senyum lo dan tingkah lo. Gue kangen sama elo, Fer. Gue mohon tetaplah tinggal, jangan pergi! Jangan pergi!"
Air mata Miko menetes di tanganku. Ia menangis hingga sesenggukan. Ia berkali-kali mencium tanganku. Pipinya sudah kelewat basah, matanya juga mulai membengkak.
"Berhentilah menangis!" kataku.
Miko mencium bibirku lama sekali.
Tiba-tiba aku merasakan sakit di kepalaku, tanganku, kakiku dan sekujur tubuhku. Pandanganku mulai gelap. Kenangan-kenangan mulai bermain silih berganti di otakku. Argh! Cukup, aku tak tahan. Kemudian, gelap sempurna.
*
Mataku terbuka pelan, sinar menyerang begitu tajam tepat ke dalam pupil mataku. Tapi kemudian, aku merasakan bibirku basah, dan sebuah genggaman hangat di tanganku. Aku tak lagi duduk meringkuk di kursi. Aku berbaring terlentang di ranjang. Aku kembali menyatu dengan tubuhku.
"Mi ... ko!"
Miko melepas ciumannya. Ia menatapku tak percaya. "Lo ... lo sadar! Lo sadar!"
Spontan, Miko memelukku. Aku megap-megap hingga tak bisa bernapas. Ia segera mengurai pelukannya lalu mencium tanganku lembut.
"Terima kasih, Fer. Gue ... gue lega!" katanya.
Aku mencoba tersenyum tapi bibirku perih. Air mataku menetes lagi, aku terlalu bahagia. Aku kembali hidup. Papa, Kak Dani, Tio, Nadin, Om Adi, Tante Tiara dan Om Robi menyerbu ruanganku disusul dokter dan suster.
Dokter memeriksa tubuhku kemudian tersenyum. Infus di hidungku di buka perlahan. Aku sempat mengernyit saat sehelai rambutku tertarik.
"Pa ... pa!" kataku.
Papa mendekat. Ia menyentuh keningku. "Ayu, anakku!"
Kelegaan dan kebahagian nampak di wajah Papa. Ia tersenyum manis sekali seakan-akan aku ingin menguncinya. Mata Papa berkaca-kaca. Air mata mulai menetes menyentuh bahuku.
"Ja ... ngan m-mena ... ngis, Pa!"
Papa menggeleng. "Papa tidak menangis karena sedih, Nak. Papa bahagia Ayu bertahan. Papa yakin Ayu kuat. Papa gak ingin Ayu terlalu cepat ninggalin Papa."
"Ayu sa ....yang Papa."
Air mata Papa semakin deras. Tetapi, mata Papa bersinar hingga terharu. Tidak pernah aku sebahagia ini.
"Papa, Papa juga sayang sama Ayu." Bibir Papa terus tersenyum. Tangan kasarnya mengusap lembut keningku.
"Ayu, maafin gue!"
Aku menoleh ke Tio. Bibirku tersenyum dan mengangguk. "Aku ... sayang kalian semua!"

Suasana penuh dengan kebahagiaan. Seperti bunga matahari yang mekar di bawah sinar sang mentari. Air mata tak dapat di tahan di setiap sepasang mata, tapi percayalah air mata ini kebahagiaan. Kebahagiaan yang tak bisa diucapkan melalui mulut. Kebahagiaan yang tak bisa diungkapkan melalui kata-kata. Hanya air mata yang bisa berbicara. Aku sadar, banyak orang-orang yang menyayangiku. Aku janji, aku akan berjuang hidup untuk mereka.

My DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang