9. BERANTAKAN -

121 7 0
                                    

Kembali ke kampus. Aku tak bisa menahan tawa saat Tio diseret paksa oleh Nadin agar mau menemaninya. Tio terlihat menahan malu. Tidak sedikit mahasiswi kampusku meliriknya. Nadin malah semakin mempererat genggamannya pada Tio. Berkali-kali aku dan Kak Dani kelepasan tawa membuat wajah Tio semakin merah.
Sampai akhirnya mataku berhenti pada satu titik. Titik di mana aku merasa lemah, rapuh kemudian hancur. Sepasang mata itu menatapku dingin, tapi dibalik itu ada luka yang menganga begitu dalam. Aku membuang muka. Mataku sudah berkaca-kaca tinggal mengerjapkannya sekali saja maka air mataku akan jatuh.
Kami berempat berada di kafe setelah kuliah. Aku butuh penyegar, karena otakku sedang mendidih. Selama kuliah berlangsung, aku sama sekali tidak berkonsentrasi. Pikiranku melayang ke Miko. Ia bergandengan tangan dengan Linda. Miko kembali pada Linda. Dan hatiku serasa di siram air jeruk. Berkali-kali aku harus menahan air mataku agar tidak meleleh hingga terasa amat sakit. Aku benci perasaan ini.
"Fera, halo Fera. Lo masih hidup kan?" Nadin melambaikan tangan di depan wajahku.
Aku tersentak. Kak Dani dan Tio menatapku. Aku mulai salah tingkah. Sudah berapa lama aku melamun? Menyebalkan sekali. Pasti sebentar lagi mereka akan memberondongiku pertanyaan.
"Gue ... ke toilet dulu!"
Aku menghindar. Biar saja mereka menyangkaku aneh hari ini. Tapi jujur, aku tak kuasa. Aku menangis sejadinya di toliet. Membiarkan air mataku tumpah. Membiarkan luka ini kembali menganga. Dalam hati, aku menyesal. Tetapi, keputusanku tak berubah. Dan, aku tidak bisa kembali ke masa lalu.
Merasa sedikit lebih baik aku keluar dari toilet. Tapi belum selesai, mataku bengkak. Bodoh sekali diriku! Kalau sudah begini mau bagaimana lagi? Hadapi kenyataan dengan seluruh jiwa yang tersisa.
Herannya mereka diam saat aku kembali. Namun Nadin dan Tio saling lirik. Kini aku yang mulai curiga.
"Kenapa kamu lakuin ini, Dek?" tanya Kak Dani begitu lirih. Ia menatapku heran bercampur sedih.
Aku mengerutkan kening. "Ngelakuin apa?"
"Miko."
Aku tersentak lalu menoleh ke arah Nadin yang memandangku tak percaya. Apa mereka tau? Pasti semua gara-gara Nadin.
"Sudahlah, lupain. Semua udah berlalu." aku mencoba tenang.
"Lo ngeliat Miko gandengan bareng Linda kan, Fer? Karena itu lo diem dan aneh. Lo nangisin dia kan?" ucap Nadin.
Aku menggeleng. "Nggak! Kalian ... kalian-"
"Aku gak percaya kalo kamu ngelakuin hal bodoh, Dek. Sebenarnya apa maksud tentang janji? Dan, masa lalu?"
Aku membuang muka. Air mataku mengalir di pipi. Ternyata Nadin menceritakan semuanya. Semua yang ia ketahui. Pasti ia tahu tentang sandiwaraku dengan Kak Dian. Ah sial! Semua berantakan.

"Apa tentang Ais?" tanya Tio.
Aku memandangnya tajam. "Jangan lo bawa-bawa Ais dalam hal ini!"
Tio menghela napas lalu menyandarkan punggungnya. "Gue tau pasti tentang Ais. Gue tau semuanya, Yu. Gue tau tentang lo dan ... kematian Ais."
Aku terdiam. Pasti Tio bercanda. Tidak ada yang tau kebenaran masa itu. Tidak ada selain aku dan Ais. Pasti dia ngaco atau hanya menggertakku saja.
"Sebaiknya lo nyesel dari sekarang, nikmatin hidup lo. Lupain janji-janji konyol antara lo dan Ais. Dan ... jaga kesehatan lo!"
*
Apa maksud Tio? Argh! Semua berputar-putar di otakku. Aku berjalan mondar-mandir di kamar. Aku takut, benar-benar takut. Kebenaran tentang kehidupanku, kebenaran tentang kematian Ais. Ayolah Ferayu, berpikir! Apa mungkin Tio tau? Lalu, bagaimana dia tau? Apa Ais pernah menceritakannya pada Tio? Kurasa tidak. Aku yakin itu. Ais pandai menjaga rahasia sama denganku. Ais tidak cablak seperti Tio. Ataukah Ais datang ke mimpi Tio, lalu menceritakan segalanya pada Tio? Tidak mungkin. Lalu bagaimana Tio tau?
Kepalaku kembali pusing. Menyedihkan sekali hidupku ini. Otakku mulai berjalan lambat, walaupun tubuhku tetap terasa sehat. Aku duduk di bibir ranjang. Menarik sebuah laci kecil. Aku mengeluarkan sebuah botol yang berisi pil. Tanpa babibu lagi, aku segera menengguknya. Kemudian menyimpannya kembali dan tidur. Ya, begini lebih baik.
*
Kampus serasa neraka bagiku. Kenapa tidak? Di gerbang tadi, lagi-lagi aku melihat Miko bermesraan dengan Linda. Tangannya bergelayut manja pada lengan Miko. Dan Miko, ia tertawa renyah. Rasanya aku ingin pindah kuliah, tapi bagaimana menjelaskannya pada Papa. Aku tidak ingin jadi anak durhaka karena menghamburkan uang hasil jerih payah Papa, hanya gara-gara mementingkan urusanku sendiri.
Tiba-tiba sebuah suara berat menghentikan langkahku. Dona bersandar di tembok tidak jauh dariku. Ia mengusap-usap dagunya.
"Gue baru tau ya kalo Miko itu playboy. Gue nyesel udah nyerah. Gue nyesel banget. Padahal gue yakin kalo Miko bisa bahagiain elo, Fer. Tapi dia malah milih anak ingusan seperti Linda daripada elo."
"Bukan urusan lo!" ucapku tajam.
Dona mengangkat bahu lalu berjalan menghampiriku. Ia berdiri menyilangkan tangan tepat di depanku.

My DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang