MIKO'S POV.
Aku menunggu Linda. Beberapa menit lagi ia akan keluar ruangan. Aku menarik sudut bibirku. Tiba-tiba ponselku berdering. Aku mengambilnya dari saku bajuku.
Nadin.
Keningku berkerut. Mau apalagi dia. Pasti nantinya akan berujung pada masalahku dengan Fera. Menyebalkan. Aku segera mereject panggilannya.
Pikiranku melayang pada seorang wanita berparas lugu. Ia selalu berwajah pucat. Menurutku, dia imut dan menyenangkan. Dia juga yang membangkitkan semangatku kembali saat aku terpuruk kehilangan Mama.
Ya, aku memikirkan Ferayu. Gadis itu selalu menjungkir balikkan perasaanku. Sedetik ia membuatku merasa bahagia, sedetik kemudian ia menyobek hebat hatiku. Apalagi saat ia mengenalkan tunangannya di kantin. Cih, tunangan. Dengan santainya ia mengenalkan seseorang yang kini aku benci karena merebut Fera dariku. Apa maksud dia mengenalkannya padaku? Pamer! Ck, aku tidak menyangka Fera semunafik itu.
"Siang Sayang, lama ya nunggu," sapa Linda.
Aku tersenyum. Bahkan kehadiran Linda tak dapat mengubahku untuk tetap mencintai Fera. "Nggak kok. Baru duduk."
Ponselku kembali berdering. Nadin. Ah! Mau apa lagi sih dia?
"Siapa?" tanya Linda.
"Nadin."
"Kenapa gak dijawab?"
"Gak penting."
Linda manggut-manggut. "Ya sudah yuk. Kita-"
Ucapan Linda terpotong dengan bunyi ponselku lagi. Aku hendak mereject tapi Linda menahanku.
"Jawab aja dulu. Siapa tau penting," ucap Linda.
Aku mengangguk kemudian pergi.
"Halo," jawabku.
"Dari mana sih lo. Gue telfon dari tadi baru diangkat!"
"Lo kok jadi bawel sih. Udah buruan, ada apa?"
"Fera, dia-"
"Stop! Jangan lo sebut tentang dia lagi. Gue gak peduli sama dia. Kenapa lo laporan sama gue! Dia udah punya tunangan. Dan, ck! Kalo lo cuma mau nyampein apapun tentang dia, bilang aja gue gak kenal!"
"Tapi, Mik ini-"
Klik. Telepon kumatikan. Segera kucabut baterai ponselku. Darahku benar-benar mendidih. Kenapa Nadin repot-repot menghubungiku cuma karena Fera. Argh! Anak itu gak pernah bisa bikin hidupku tenang. Aku mengacak-acak rambutku frustasi.
"Kenapa?" tanya Linda. Ia berdiri di sebelahku.
"Gak apa-apa. Aku kan udah bilang gak penting."
"Iya, tapi kenapa-"
"Udah deh sayang, kita mau makan siang kan?" potongku.
Linda mengangguk. Ia tersenyum lalu melingkarkan tangannya di lenganku. Begini lebih baik.
BRUK!!!
Tiba-tiba seseorang memukul keras pipiku. Darah menetes dari sudut bibirku. Aku terjerembap, untungnya Linda sempat menghindar. Dona.
Aku mencoba berdiri tapi Dona kembali memukuliku. Aku tak sempat menghindar. Pukulannya mulai membabi buta ke seluruh tubuhku. Bagaimana pun, tenaga Dona lebih kuat dariku. Jelas saja, ia atlet Judo di kampusku. Aku mengerang kesakitan. Untung saja beberapa mahasiswa berhasil melerai Dona."Apa-apan lo!" bentakku.
Mata Dona membara. "Bangsat! Lo pengecut! Lo brengsek! Gue udah kasih peringatan ke Fera, kalo lo nyakitin dia sedikit saja! Lo bakalan berhadapan sama gue!"
"Gue gak nyakitin Fera! Apa maksud lo nuduh gue!"
"Lo nyakitin dia, brengsek! Gue diem aja saat lo pilih anak bawang ini," Dona melirik Linda, "dari pada Fera! Tapi sekarang lo sok gak peduli saat Fera cinta sama lo. Dan lo tau, sekarang dia terkapar di rumah sakit, setan! Dia kritis lo tau!"
"APA!!!"
Aku tersentak. Tenggorokanku tercekat. Tidak mungkin. Tapi tadi Nadin, pasti tadi dia mau mengatakan hal itu padaku. Tapi apa yang kulakukan. Argh! Bodoh!
"Kaget kan lo, tolol! Gue gak habis pikir kenapa Fera lebih milih lo daripada gue! Fera lebih mencintai cowok brengsek kayak lo!"
Aku tak bisa berkata-kata. Lidahku kelu. Aku bodoh! Tolol! Aku egois. Fera mencintaiku? Tapi kini dia ... di rumah sakit. Dia kritis. Bagaimana bisa? Napasku memburu. Aku takut. Bagaimana kalau Fera meninggalkanku? Bagaimana?! Tidak. Aku tidak sanggup.
Aku tak lagi mendengar segala perkataan Dona hingga kemudian dia pergi. Linda membantuku berdiri lalu membawaku ke ruang kesehatan. Ruang kesehatan? Aku mengingat Fera lagi. Fera membawaku dulu karena Dona memukuliku. Argh! Dan kini dalam sebab yang sama namun kini Linda yang membawaku bukan Fera. Rasanya, aku benar-benar merindukan Fera.
"Aku tau, kamu gak pernah cinta sama aku," kata Linda.
Aku menatapnya. Ia memalingkan muka saat mata kami bertemu. Dia terluka. Maafkan aku. Sekarang aku benar-benar orang jahat. Aku menyakiti orang-orang yang menyayangiku.
"Maafin aku, Lin!"
Linda menggeleng. "Gak perlu minta maaf!"
"Tapi Lin-"
"Kamu gak pernah sayang sama aku!"
"Aku sayang sama kamu, Lin!"
"Tapi, kamu lebih sayang sama ... Kak Fera!"
Air mata Linda meleleh. Pipinya mulai basah. Aku mencoba mengusapnya tapi tangan Linda menolak halus.
"Aku benar-benar minta maaf," ucapku lirih.
"Sudahlah. Seharusnya aku menyadarinya dari dulu. Kamu memang mencintai Kak Fera!"
"Lin-"
"Kamu cinta sama Kak Fera, kan?"
"Lin-"
"Jawab aku Miko! Kamu cinta sama Kak Ferayu kan?" bentak Linda.
Aku menghela napas panjang. "Ya. Aku cinta sama Ferayu!"
Air mata Linda semakin deras. Menyakitkan bukan. Tapi itulah kenyataan hatiku. Aku mencintai Fera. Aku gak bisa membohongi perasaanku.
"Pergilah! Kak Fera lebih membutuhkanmu daripada aku!"