Tubuhku menggigil. Sejak kemarin sore tubuhku merasa lelah, gelisah dan gugup sekaligus. Membuatku terjaga semalaman. Pikiranku semakin kacau, gara-gara pertanyaan Miko yang hanya kujawab cengiran. Jujur saja, aku tidak tau harus menjawab apa, karena tiba-tiba saja aku lupa cara kerjasama antara hati dan lidah. Miko benar-benar membuatku mati kutu.
Tiba-tiba pintu kosku diketuk. Argh! Siapa sih sepagi ini yang bertamu. Apa orang itu tak punya jam dirumahnya. Dengan rambut acak-acakan aku menghampiri pintu untuk membukanya. Muka kesalku siap memaki-maki siapapun orang yang ada di depan pintu kosku.
Namun niatku kabur ketika melihat Miko sedang tersenyum manis. "Lo ... ngapain?" tanyaku heran.
"Selamat pagi juga. Ikut yuk, nanti keburu siang," ucapnya sembari melihat arlojinya.
Aku mengernyit. Apa? Sepagi ini dia mengajakku pergi. Yang benar saja! Sambil mengulur waktu, aku mencari alasan. Aduh! Ada-ada saja.
"Halo," Miko melambaikan tangan di depan wajahku.
"Eh, tapi gue belum mandi, belum sarapan, belum ..."
Cup! Satu kecupan mendarat di pipiku. Dengan perasaan malu dan berdebar, aku melototi Miko yang tertawa renyah.
"Ya udah, buruan, cerewet amat sih. Gue setia kok nunggu calon bini gue."
"Calon bini? Ngaco aja lo," omelku sambil berlalu.
Sejam kemudian aku sudah berada di taman bersama Miko. Duduk menghadap danau dengan menyantap ice cream kesukaanku. Sedangkan Miko asyik melempar kerikil-kerikil kecil ke arah danau.
"Fer," panggilnya. Aku hanya berdekhem. "Ferayu!!" kali ini nadanya naik satu oktaf.
"Apaan sih?" aku membasuh tangan dan mulut dengan tissu.
"Lo makan kayak bayi ya?" Miko mengambil selembar tissu lalu mengusapnya ke pipi dan sudut bibirku.
Aku gelagapan saat Miko melakukannya. Pipiku panas dan jantungku berdegup kencang. Aku menatap lurus manik matanya yang serius membersihkan bekas ice cream yang masih menempel. Baru kutau, kalo sebenarnya mata Miko berwarna coklat dengan bulu mata lentik. Alisnya tebal dan dahinya sedikit lebar.
"Nah selesai!" ucapnya kemudian membuang bekas tisuku.Aduh! Kenapa aku mengamati sedetail itu. Tanpa sadar aku mengambil kesempatan dalam kesempitan. Eh, tapi gak apa-apa deh. Lumayan bisa memandang muka Miko sedekat tadi.
"Emang gue ganteng ya, Ay?"
"Lo manggil gue apa?"
Dia tertawa kecil. "Ay? Kan artinya sayang, ya?"
Aku semakin tersipu malu. Bisa-bisanya Miko mengucapkan hal itu dengan santai. Padahal dalam hatiku seperti ada perang. Apa dia tidak mendengar? Oh no, dia tidak boleh dengar.
"Lo ... lo seneng tempat ini?" alihku.
"Harusnya gue yang tanya gitu."
Aku hanya meringis.
"Gue berasa damai di sini," katanya
Tiba-tiba Miko terlentang di sebelahku sambil memejamkan mata. Kedua tangannya dilipat di atas kepala sebagai bantal. Dia terlihat lelah, entah karena apa sebabnya. Aku terpaku melihat wajahnya yang tenang. Senyum mengembang di wajahnya. Rahangnya yang tegas, serta kokoh.
"Gue ternyata bener-bener ganteng ya, Ay. Meskipun lo ngeliat gue sampai besok, kegantengan gue gak bakalan berkurang kok, Ay."
Aku mendengus sambil membuang muka. Sudah pasti pipiku merona karena malu tertangkap basah memandanginya.
"Gak usah aneh-aneh deh panggil gue Ay."
"Tapi lo suka kan?"
Aku menatapnya sebal. "Nggak!"
Miko tertawa kecil sambil kembali duduk disampingku. Dia mengambil sesuatu dari tasnya yang tak lain sebuah handycam. Ia menyorot ke arah danau dan sekelilingnya.
"Gue suka tempat ini. Tempat di mana gue ngerasa damai dan tenang. Setiap kesedihan gue akan hilang di sini, di danau ini. Gue berterima kasih banget kepada Tuhan yang udah ngizinin pemerintah setempat buat ngindahin nih danau."
Aku terkekeh geli. Tiba-tiba kamera handycam mengarah padaku. "Tapi gue lebih berterimakasih pada Tuhan. Karena udah ngirim bidadari ke dalam hidup gue."
Aku membuang muka. "Apa-apaan sih lo"
Miko tertawa kecil, kemudian mengangkat handycam tinggi-tinggi menyorot diriku dan dirinya sendiri. "Gue Miko. Dia Ferayu, gue manggilnya Ay. Romantis kan."
Aku mencubit pinggangnya.
"Aduh! Dia galak ya!"
Aku pura-pura marah.
"Tapi, dia bikin gue tergila-gila. Dia bikin gue gak bisa hidup tanpa kehadirannya."
Kemudian diletakkannya handycam di depan kami berdua. Ia tersenyum menatapku. Entah siapa yang memulai, bibirnya telah mendarat di bibirku. Ia memejamkan mata. Tiba-tiba aku teringat masa lalu. Teringat ... itu.
Spontan, aku mendorongnya hingga ia terlentang. Tubuhku menggigil. Hampir saja! Hampir! Kontrol dirimu Fera, kontrol! Dasar bodoh!
"Gue ... gue minta maaf," ucapnya gelagapan.
Aku melihat Miko merasa bersalah. Ia memandangku sayu. Seandainya ia tahu, bukan salahnya melakukan ciuman itu.
"Bukan ... bukan salah lo!" ucapku berat.
*
-
Nadin menggedor pintu kosku. Seketika pula tidur malamku terganggu. Aduh, apa-apaan si tengil itu. Biasanya juga langsung masuk. Oh baru kuingat, ternyata pintu kosku terkunci. Dan aku sengaja melakukannya agar tidak terganggu. Tapi rasanya gagal, Nadin punya seribu kekuatan untuk menggedor pintu bahkan hingga ambruk. Mungkin.
"Apaan sih-"