Setahun telah berlalu. Aku kembali ke aktivitas seperti biasa tanpa kuliah. Aku berhenti kuliah karena, kalian pasti tau lah gimana rasanya divonis penyakit menjijikkan. Aku pun tidak tinggal di kosan lagi. Papa tak lagi berpergian dan ia membelikanku rumah dekat dengan kampusku. Nadin juga tinggal bersamaku. Kak Dani resign dari pekerjaannya di Medan, ia pindah kerja di Surabaya. Begitupun dengan Tio, ia resmi bekerja sebagai head-production di salah satu pabrik makanan ternama Surabaya. Mereka tak ingin jauh dariku. Mereka ingin menjagaku.
Miko, aku masih tidak dapat menerima cintanya. Janjiku masih tertanam kuat di hatiku. Aku tidak ingin mengkhianati Ais, walaupun harus mengorbankan perasaanku sendiri. Karena aku tidak ingin egois. Munafik kan aku?
"Sayang, Papa kerja dulu ya. Nanti kalau ada apa-apa langsung hubungin Papa. Janji?" kata Papa.
Aku mengangguk seraya berkata, "Janji."
Papa bekerja di bank swasta daerah Surabaya. Hidupku terasa lebih baik. Perasaanku tenang, setidaknya kalau aku sakit, sudah pasti ada yang memperhatikanku. Aku beranjak menuju ruang keluarga untuk menonton Tv. Berita siang masih gempar dengan jatuhnya pesawat dari Chicago tujuan Indonesia.
"Daftar sementara korban tewas yang berhasil ditemukan oleh Tim Sar tadi malam yakni 2 wanita, 4 laki-laki dan 1 anak-anak berjenis kelamin perempuan. Saat ini para korban sudah diantar ke rumah duka. Berikut foto-foto korban."
Jack Marga
Alysia Fahuji
Robert Sindawa
Daren Louis Michael
Gretha Alvais
Rachel Amanda Lubis
Farthur Bram
Setengah mati aku mencoba tetap sadar saat melihat foto-foto korban. Dadaku sesak dan air mata berlinang tanpa komando. Sungguh, ini sungguh tidak mungkin. Tante Rachel. Rachel Amanda Lubis. Tidak mungkin.
Aku segera berlari menuju kamar untuk mengambil ponsel. Jari-jariku bergetar hebat saat memutar nomor telepon Tante Rachel. Tidak tersambung. Tidak aktif. Seketika kakiku lemas, tubuhku lunglai. Kepalaku serasa di hantam oleh baja berkekuatan besar. Darah mengalir dari hidungku.
"Ayu, kenapa-"
"Nad, Tante Rachel! Tante Rachel!" ucapku histeris.
Nadin segera membersihkan darah di hidungku dengan tisu. Ia membawaku ke ranjang lalu memberiku minum.
"Sekarang cerita, ada apa?"
Aku kembali menangis. Nadin merengkuhku. Ia mengusap punggungku lembut membuatku sedikit lebih tenang. "Tante Rachel meninggal, Nad! Dia ... dia yang selama ini bikin gue tegar! Dia-"
"Udah! Cukup! Semua cuma bikin lo sedih, Fer! Lo gak perlu bicara!" kata Nadin.
Nadin terisak melihatku menangis. Hatiku hancur. Kenapa Tuhan merenggut orang-orang yang kusayang? Kenapa?! Apa aku begitu berdosa? Sungguh kehilangan Tante Rachel sama dengan kehilangan ibuku sendiri. Dia yang selalu memberiku semangat. Membuatku tabah. Meyakinkan kesembuhanku. Tapi, pesawat itu, pesawat itu merenggut nyawa Tante Rachel.
"Gue ... gue mau ke rumah Tante Rachel!"
"Tapi Fer! Lo-"
"Gue gak peduli! Gue pengen liat Tante Rachel ... untuk yang terakhir kalinya!"
Untuk yang terakhir kalinya. Kata-kata itu. Apa benar yang terakhir kalinya? Dan, artinya aku takkan bertemu Tante Rachel lagi. Ya Tuhan, betapa luar biasanya rencanamu.
Akhirnya Papa, Nadin, Kak Dani dan Tio mengantarkanku ke kediaman duka Tante Rachel. Bendera berwarna kuning dan baju berwarna hitam menyadaranku, bahwa Tante Rachel benar-benar meninggalkanku. Keadaan memang sangat ramai, tapi hatiku terasa hampa. Terasa kosong. Sosok ibu telah pergi. Pergi untuk selamanya.
Orang melayat datang silih berganti. Aku menatap jasad Tante Rachel yang tertutupi kain putih. Aku mendekat, perlahan tanganku membuka penutup wajah Tante Rachel. Wajah itu, senyum itu. Sungguh! Hatiku kembali sakit. Air mata menggenang di pelupuk mataku. Sekuat tenaga aku menahannya karena tak ingin menangis di depan Tante Rachel. Tanganku mengusap lembut wajah Tante Rachel yang kini terasa dingin, sedingin es. Tak ada lagi kehangatan dari Tante Rachel. Tubuh kakunya kini tak mampu memelukku erat. Tangannya tak mampu mengusap setiap air mataku yang jatuh.Senyum menawan itu tak mampu meneduhkan hatiku lagi. Kemana perginya orang-orang yang sudah mati?
Aku ikut serta dalam pengantaran jasad Tante Rachel menuju makam. Tangis dan doa mengiringi. Tak ada lagi yang bisa kuperbuat. Aku hanya menatap jasad Tante Rachel yang mulai tertutup tanah. Aku duduk tepat di sebelah batu nisan. Kuusap lembut lalu kucium pelan bersamaan dengan keihklasan hatiku.
Terima kasih Tante. Terima kasih karena pernah menjadi seorang ibu untukku. Terima kasih karena pernah membuatku tabah. Terima kasih karena pernah menghapus segala keluh kesahku. Dan kini, selamat jalan Tante. Selamat jalan. Semoga Tante selalu dalam Lindungan Tuhan. Semoga Tante selalu bahagia di sana. Ayu sayang Tante Rachel.